Ramadhan di Masa Pandemi; Menjaga Hati, Mencegah Provokasi

Ramadhan di Masa Pandemi; Menjaga Hati, Mencegah Provokasi

- in Narasi
1341
0
Ramadhan di Masa Pandemi; Menjaga Hati, Mencegah Provokasi

Ramadhan tahun ini datang di tengah kondisi umat muslim sedang menghadapi pandemi Corona yang telah menyebar di 181 negara dan menginfeksi lebih dari 1 juta orang. Pandemi ini telah mengubah cara hidup manusia, termasuk dalam aspek keagamaan. Dalam konteks Islam, wabah Corona mengharuskan umat Islam menjalani ibadah dari rumah serta menunda kegiatan keagamaan yang melibatkan orang banyak.

Sejak virus ini menyebar di China, pemerintah Arab Saudi sebagai penanggung jawab dua tempat suci umat Islam, yakni Makkah dan Madinah segera mengambil keputusan tegas. Mekkah, kiblat umat Islam sekaligus tempat ibadah haji dan umrah ditutup sampai batas waktu yang tidak ditentukan.

Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar sedunia pun kondisinya tidak jauh berbeda. Wabah Corona membuat pemerintah menerapkan kebijakan Pembatasan osial Berskala Besar (PSBB) di sejumlah wilayah. Salah satu aturan dalam PSBB ialah anjuran agar masyarakat beribadah di rumah.

Sayangnya, anjuran beribadah di rumah yang digaungkan pemerintah itu belum sepenuhnya dilaksanakan seluruh masyarakat. Ada sebagian masyarakat yang belum memahami tujuan anjuran tersebut, bahkan berpandangan negatif dengan menganggap pemerintah melarang aktivitas ibadah umat muslim.

Tidak sedikit pula penceramah dan tokoh agama yang mengemukakan pernyataan bernada provokatif. Hal yang demikian ini tentu sangat tidak bijak dan patut disayangkan, mengingat perang melawan Corona adalah perang semesta yang membutuhkan peran aktif semua kalangan, tidak terkecuali para tokoh agama.

Ujian Berat

Datangnya bulan Ramadhan yang berbarengan dengan pandemi Corona adalah ujian berat bagi umat muslim. Kebijakan pembatasan sosial baik berskala besar maupun tidak tentu akan berpengaruh pada cara umat muslim dalam menjalani ibadah selama bulan Ramadhan. Seperti telah menjadi tradisi selama ini, bulan Ramadhan selalu menjadi momen yang dirayakan oleh umat Islam dengan memperbanyak ibadah di masjid, mulai sholat jamaah, sholat tarawih, tadarus al Quran, hingga i’tikaf selama 10 hari terakhir Ramadhan.

Baca Juga : Pandemi, Paradoks, dan Provokasi

Seperti dianjurkan oleh pemerintah, serta lembaga-lembaga keagamaan seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI), rangkaian ibadah bulan Ramadhan tahun ini agar dilakukan di rumah. Sholat jamaah, tarawih dan tadarus Quran yang biasanya digelar di masjid agar dilaksanakan di rumah. Sedangkan I’tikaf sepuluh hari terakhir serta sholat Ied diputuskan agar ditiadakan. Sebuah keputusan yang tentu berat, namun harus diambil untuk mencegah penyebaran Covid-19.

Sebagai makhluk beriman, kita harus meyakini bahwa tidak ada peristiwa di dunia ini yang tidak mengandung hikmah. Termasuk kondisi Ramadhan tahun ini yang berlangsung di tengah pandemi Corona. Salah satu hikmah dari situasi yang penuh keprihatinan ini ialah berkurangnya fenomena festivalisme keagamaan yang seolah sudah menjadi tradisi di setiap datangnya bulan Ramadhan.

Festivalisme keagamaan ialah frase yang diperkenalkan oleh pakar studi agama Fabio L. Carregas sebagai sebuah istilah untuk mengkritik kecenderungan umat beragama yang menjalani ritual dan perayaan keagamaan secara gegap-gempita, ramai, dan lebih menonjolkan unsur selebrasi ketimbang subtansi dari ibadah tersebut.

Carregas mengkritik dengan tajam praktik peribadatan di kalangan umat beragama yang kerap mengabaikan nilai spiritualitas dari ritual ibadah, alih-alih hanya berorientasi pada aspek sensasionalitas. Carregas melihat praktik peribadatan yang seharusnya bersifat sakral atau suci mulai tercemari oleh unsur profanitas-keduniawian.

Ia mencontohkan, acara ceramah keagamaan di televisi yang disusupi iklan berbagai produk yang sebenarnya tidak ada kaitannya dengan ajaran agama. Juga kegiatan keagamaan berkskala gigantis yang kerapkali dilakukan bukan demi menjalankan ajaran agama, namun lebih sebagai sebuah selebrasi alias perayaan.

Fenomena festivalisme keagamaan ini juga mengemuka di Indonesia belakangan ini. Dalam beberapa tahun belakangan, aktivitas keagaman terutama Islam telah banyak dicemari oleh kepentingan ekonomi dan politik. Agama kerapkali kehilangan elan vitalnya sebagai ajaran moral dan diposisikan tidak lebih dari komoditas ekonomi dan politik yang dimanfaatkan demi keuntungan pragmatis pihak tertentu. Festivalisme keagamaan di Indonesia ini salah satunya mewujud ke dalam perilaku keagamaan yang lebih menonjolkan sikap eksklusif bahkan provokatif.

Seperti kita lihat di masa pandemi ini banyak bermunculan narasi keagamaan provokatif yang mengajak masyarakat membangkang pada kebijakan pemerintah tentang pembatasan sosial. Narasi provokatif itu pun diamplifikasi oleh pihak-pihak tertentu untuk mendelegitimasi kinerja pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19 ini.

Mengendalikan Nafsu

Seperti diketahui, Ramadhan memiliki kedudukan mulia di antara bulan lainnya dalam Islam. Ramadhan disebut sebagai bulan suci yang penuh rahmat. Allah menjanjikan ampunan dan pahala berlipat bagi umat Islam yang mengisi Ramadhan dengan amal kebaikan.

Oleh karena itu, puasa Ramadhan idealnya tidak hanya diartikan sebagai menahan nafsu makan, amarah dan seksual semata. Lebih dari itu, puasa Ramadhan idealnya juga kita maknai sebagai sarana melatih pengendalian hawa nafsu, emosi dan sifat-sifat negatif yang menggerogoti kesehatan jiwa kita.

Terlebih di masa pandemi ini, Ramadhan kiranya bisa menjadi momentum kita untuk memperbaiki dan membersihkan jiwa dari semua sifat negatif. Di saat yang sama, Ramadhan kali ini hendaknya kita lalui dengan tetap mentaati kebijakan pembatasan sosial. Selain melakukan pembatan sosial dengan tetap beribadah di rumah, kita juga diwajibkan untuk membatasi perilaku negatif, salah satunya dengan tidak menyebarkan narasi provokatif di tengah masyarakat terkait penanganan pandemi Corona.

Wakil Presiden KH. Ma’ruf Amin dalam acara doa dan dzikir nasioal beberapa hari lalu menyebutkan bahwa kunci menghadapi Covid-19 ini, terutama bagi umat Islam ialah iman, imun, aman dan amin. Di tengah pandemi ini, umat Islam diharapkan meningkatkan kualitas iman masing-masing.

Selain itu, masyarakat juga harus menjaga sistem imun tubuh serta memastikan diri dan keluarga aman dengan tetap mentaati aturan pemerintah. Tidak kalah pentingnya ialah senantiasa memanjatkan doa pada Allah agar wabah ini segera berlalu.

Perpaduan iman, imun, aman dan amin ini kiranya relevan dengan datangnya bulan Ramadhan. Ramadhan adalah waktu ideal untuk bermuhasabah, beribadah dan meningkatkan keimanan. Ibadah puasa dengan menahan makan dan minum dari subuh hingga magrib juga diakui bisa menyehatkan dan memperkuat imunitas tubuh. Tidak hanya itu, bulan Ramadhan juga dikenal sebagai waktu yang mustajab untuk memanjatkan doa pada Allah.

Maka dari itu, seluruh umat muslim hendaknya menyambut bulan suci Ramadhan ini dengan sukacita sekaligus kerendahan hati di hadapan Allah. Di bulan suci Ramadhan, kita buang segala sikap jemawa, superior, dan arogan kita. Manusia wajib menyadari bahwa dirinya hanyalah makhluk lemah yang bahkan tidak berdaya menghadapi jasad renik tak kasat mata bernama virus Corona. Bulan Ramadhan ialah momen tepat untuk kita menghapus segala narasi kebencian, emosi dan provokasi yang selama ini mengotori hati dan pikiran kita.

Menahan lapar, haus, amarah dan nafsu seksual tentu bukan perkara mudah. Lebih tidak mudah lagi ialah menahan mulut serta jemari kita untuk tidak menyebar narasi dan opini provokatif yang potensial meresahkan publik. Maka, selain puasa dalam artian menahan tidak makan dan minum di siang hari, umat muslim idealnya juga membatasi emosi dan tidak menebarkan provokasi. Kiranya, kita berharap Ramadhan menjadi sarana untuk membebaskan hati kita dari sifat negatif, sekaligus membersihkan dunia dari virus Corona.

Facebook Comments