Reinterpretasi Jihad Akbar di Bulan Ramadan dalam Konteks Keindonesiaan

Reinterpretasi Jihad Akbar di Bulan Ramadan dalam Konteks Keindonesiaan

- in Narasi
355
0
Reinterpretasi Jihad Akbar di Bulan Ramadan dalam Konteks Keindonesiaan

Ramadan memiliki banyak julukan. Salah satunya ialah syahru jihad alias bulan jihad. Julukan itu merujuk pada sejumlah peristiwa peperangan yang terjadi di bulan Ramadan. Antara lain, Perang Badar. Dalam catatan sejarah, Badar ialah perang yang pertama kali terjadi antara kaum muslim dan kafir. Kala itu, 300 tentara muslim menghadapi seribuan lebih tentara kafir. Hasilnya, umat Islam meraih kemenangan telak.

Selain perang badar, momentum Fatkhul Makkah alias kembali dikuasainya Mekkah oleh Rasulullah juga terjadi di bulan Ramadan. Selain dua peristiwa besar itu, masih banyak peristiwa penting yang terjadi di bulan Ramadan. Antara lain, perang Tabuk, Ain Jalut, dan sebagainya. Meski demikian, adalah hal yang salah kaprah jika mengidentikkan bulan Ramadan sebagai bulan perang (syahrul qital), apalagi mengidentikkan jihad semata sebagai perang fisik.

Di dalam sebuah kisah, diriwayatkan bahwa ketika Rasulullah pulang dari peperangan beliau berkata, “kita baru saja kembali dari jihad kecil, dan menuju jihad besar”. Lalu ada sahabat bertanya “Apa itu jihad besar ya Rasulullah?”. Rasul pun menjawab “Jihad hati atau jihad nafsu”. Beberapa ulama memang menilai hadist itu dhaif, bahkan ada yang menyebutnya sebagai atsar (ucapan sahabat). Namun demikian, ada pelajaran penting terkait riwayat tersebut.

Yakni bahwa peperangan fisik melawan musuh yang mengancam ialah jihad kecil (jihad asghar). Jihad besar (jihad akbar) yang sesungguhnya ialah melawan diri sendiri. Yakni hawa nafsu negatif yang mengotori hati-nurani, merusak pikiran, dan menjerumuskan perilaku pada kemunkaran terhadap sesama. Jihad akbar ini lebih sulit karena melawan musuh yang nisbi tidak tampak, dan justru terinternalisasi dalam pikiran dan jiwa manusia itu sendiri.

Implementasi Jihad Akbar Ramadan dalam Konteks Kekinian

Dalam konteks keindonesiaan kontemporer, konsepsi jihad akbar ini kiranya relevan untuk diaplikasikan dalam kehidupan umat Islam. Seperti kita lihat saat ini, ancaman atau musuh umat Islam Indonesia saat ini lebih banyak berasal dari individu atau umat Islam sendiri. Sejauh ini tidak ada kekuatan dari luar Islam yang mengarah pada ancaman serius terhadap umat Islam Indonesia.

Ancaman internal itu antara lain mewujud pada perpecahan sesama umat Islam karena perbedaan mazhab/aliran, tingginya angka kemiskinan, ketertinggalan dalam pendidikan dan ilmu pengetahuan, keterbelakangan sosial, serta fanatisme politik yang membabi-buta. Beragam persoalan sosial itulah yang justru menjadi ancaman serius bagi umat Islam khususnya di Indonesia saat ini.

Artinya, dari sisi keamanan, umat Islam di Indonesia bisa dibilang tidak ada kekurangan sama sekali. Umat Islam bebas beribadah, mendirikan masjid, pergi haji atau umrah, membangun sekolah atau pesantren, mengembangkan ekonomi Islam, dan mengaplikasikan gaya hidup islami lainnya. Di titik ini, Indonesia lebih cocok disebut sebagai darussalam ketimbang darulkufur.

Aplikasi konsep jihad dalam konteks darussalam tentu berbeda dengan darulkufur. Di negara darulkufur dimana umat Islam ditindas dan diperangi, jihad kiranya bisa dimaknai sebagai perjuangan fisik melawan penindasan musuh. Sebaliknya, di dalam konteks darussalam, jihad kiranya bisa dimaknai dalam tafsiran lain, alias tidak semata perang fisik (qital).

Jihad Akbar Mengatasi Problem Kebangsaan

Di negara darussalam seperti Indonesia, jihad akbar yang relevan ialah mengatasi persoalan mendasar dalam kehidupan sosial sebagaimana telah diidentifikasi di atas. Maka, di bulan suci Ramadan ini umat Islam Indonesia idealnya berjuang sungguh-sungguh dalam mengatasi persoalan terkiat kemiskinan, pendidikan dan ilmu pengetahuan, serta fanatisme politik dan keagamaan.

Pertama, dalam konteks kemiskinan, jihad akbar yang sesungguhnya ialah menggulirkan gerakan pemberdayaan umat. Dalam konteks Ramadan, zakat fitrah dan mal kiranya bisa menjadi semacam monumen simbolik untuk menggagas pembedayaan sosial. Jika dikelola dengan baik, zakat kiranya mampu menjadi sarana pemerataan kesejahteraan di kalangan umat.

Kedua, dalam konteks pendidikan dan ilmu pengetahuan, implementasi jihad akbar kiranya bisa mewujud ke dalam aktivitas yang bisa meningkatkan pengetahuan umat. Makna tadarus yang identik dengan bulan Ramadan tentu bukan hanya sekadar membaca Alquran, namun juga mengkaji tafsirnya dan menggali dimensi intelektualisme di dalamnya. Etos inilah yang harus digiatkan selama bulan Ramadan. Sehingga bulan suci ini tidak hanya diisi dengan ibadah formal, namun juga aktivitas-aktivitas ilmiah lainnya.

Ketiga, dalam konteks fanatisme politik dan keagamaan, jihad akbar di bulan Ramadan ialah menahan diri dari perilaku irasional seperti mendewakan figur atau pemikiran tertentu secara membabi-buta. Puasa Ramadan ialah latihan fisik sekaligus spiritual untuk menghindarkan diri dari perilaku idolatry (pengidolaan), kultus idividu, dan taklid buta. Ramadan ialah madrasah yang mengajarkan pentingnya berpikir rasional dan kritis.

Facebook Comments