Review Film 13 Bom di Jakarta; Potret Realisme Kekerasan dan Tantangan Pencegahan Terorisme di Indonesia

Review Film 13 Bom di Jakarta; Potret Realisme Kekerasan dan Tantangan Pencegahan Terorisme di Indonesia

- in Faktual
399
0
Review Film 13 Bom di Jakarta; Potret Realisme Kekerasan dan Tantangan Pencegahan Terorisme di Indonesia

Tak banyak film ber-genre action muncul di tahun kalender 2023. Gantinya, genre sinema didominasi oleh film horor dan drama. Hingga akhirnya film 13 Bom di Jakarta tayang di layar lebar sekaligus memperkenalkan genre terbaru, yaitu action-spionage. Ide gila Angga Dwimas Sasongko ini membawa membawa angin segar bagi sinema Indonesia. IMDb sampai mengganjar rating 8,4/10 dalam review film ini.

Film ini terinspirasi dari salah satu serangan teror paling tragis di Indonesia tahun 2016 lalu. Adalah rangkaian serangan teror berupa serentetan ledakan bom beruntun di Jakarta yang diwarnai dengan enam ledakan, dan juga penembakan di daerah sekitar Plaza Sarinah, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, pada tanggal 14 Januari 2016.

Berbekal tragedi itu, Angga Dwimas Sasongko mengemas 13 Bom di Jakarta dengan lebih epic dan dramatis. Dalam membangun konflik cerita, Angga merancang dua kubu utama, yaitu elit pemerintah melalui Badan Kontra Terorisme Indonesia (ICTA) dan gembong terorisme yang dipimpin oleh Arok (Rio Dewanto). Arok mengancam akan meledakkan bom setiap delapan jam sekali demi mewujudkan kepentingannya. ICTA melalui agennya Emil (Ganindra Bimo) dan Karin (Putri Ayudya) bergegas mencari Arok untuk menggagalkan teror dan menstabilkan keamanan negeri.

Namun, hasil penelusuran mereka justru mengarah pada Oscar (Chicco Kurniawan) dan William (Ardhito Pramono), dua orang pengusaha muda sekaligus pendiri perusahan financial technology, Indodax. Penampilan Agnes (Lutesha) juga mencuri perhatian karena berhasil menguatkan karakter dua pengusaha fintech tersebut.

Seperti yang telah disinggung, 13 Bom di Jakarta terinspirasi dari satu kisah nyata. Hanya ia dimodifikasi agar melahirkan tontonan yang lebih dramatis, epic, dan entertaining. Salah satu yang kentara adalah absennya identitas agama dalam film ini. Secara tersirat, film ini mengindikasikan dua hal; pertama, terorisme tidak mempunyai agama; kedua, agama bukanlah dasar prinsipil mengapa orang menjadi teroris. Secara tidak langsung, film ini mendekonstruksi stereotipe masyarakat yang terbiasa melihat agama sebagai justifikasi aksi teror.

Angga Dwimas Sasongko memilih untuk menggunakan isu ketidakadilan ekonomi akibat sistem negara yang tidak berpihak kepada rakyat sipil. Pilihannya ini justru valid. Salah satu narasi dominan yang digunakan kelompok radikal terorisme adalah isu oligarki, sistem yang korup, dan kapitalisme yang kemudian dikelola lebih jauh menggunakan teks teologis sehingga lahirlah teroris berbaju agama. Melalui sosok Arok, film tersebut menegaskan bahwa teroris sejatinya tidak dibentuk semata melalui jalur teologis, namun isu yang lebih esensial yaitu kesejahteraan dan kesetaraan.

Menurut Steph Lawyer dalam bukunya Identity: Sociological Perspectives (2013), kelahiran teroris akan selalu bersinggungan dengan problem identitas. Isu ini kemudian dikelola secara politis melalui beberapa tahapan; (1) suatu kelompok sosial merasakan pengalaman sebagai korban ‘ketidakadilan’. Pengalaman ketidakadilan ini muncul dari represi pihak penguasa yang otoriter; (2) Ketidakadilan ini dianggap mengancam identitas dan akan menyingkirkan eksistensikelompok tersebut; (3) Atas dasar itu, suatu kelompok sosial menghimpun sumber daya baik secara ekonomi, sosial maupun politik untuk melakukan resistensi terhadap situasi yang menekan mereka; (4) Resistensi tersebut dilakukan sebagai bagian dari mekanisme resiliensikelompok. Dalam 13 Bom di Jakarta, Arok dan kelompok terorisnya sukses memerankan agenda perlawanan ini.

‘Gimmick’ yang ditawarkan dalam film juga cukup elegan, yakni menghadirkan start up fintech dalam wujud Indodax. Sebetulnya, tanpa Indodax pun, film ini sudah memiliki premis yang cukup untuk menghadirkan cerita aksi-spionase antara Badan Kontra Terorisme Indonesia (protagonis) dan kelompok teroris Arok (antagonis). Indodax ditampilkan untuk menegaskan lemahnya sistem intelijen siber milik Badan Kontra Terorisme Indonesia (ICTA). ICTA diceritakan tidak mempunyai literasi digital yang baik soal financial technology sehingga terlihat kepayahan dalam mengikuti pergerakan kelompok teroris yang cenderung melek digitalisasi.

Secara implisit, ini menjadi catatan bagi para pemangku kepentingan terkait pencegahan terorisme di Indonesia untuk waspada terhadap instrumen dan metode baru yang digunakan oleh kelompok radikal terorisme. Bisa jadi masifnya aksi terorisme dan bangkitnya sel-sel ekstremisme bukan karena pemerintah yang tidak melakukan pengawasan, namun karena metode kelompok radikal terorisme saja yang selangkah lebih maju.

Terlebih, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menemukan bahwa sepanjang tahun 2023 kelompok teroris yang terafiliasi ISIS dan Al-Qaeda masih terus aktif memperluas jangkauan rekrutmen, fund raising, dan propaganda. Terutama soal fund-raising, para pemangku kepentingan perlu meningkatkan kerja sama dalam dan luar negeri guna mengoptimalkan capacity building melalui transfer pengetahuan dan teknologi. Upaya ini untuk mengantisipasi ‘kecolongan’ yang mungkin saja terjadi karena pemerintah yang ‘kalah cekatan’ dari pada kelompok teror.

Upaya ini sudah dilakukan ketika Indonesia diterima sebagai anggota Financial Action Task Force (FATF) ke-40. FATF adalah organisasi internasional yang berfokus pada upaya global dalam pemberantasan pencucian uang, pendanaan terorisme, dan pendanaan proliferasi senjata pemusnah massal. Dengan menjadi anggota penuh FATF maka kedudukan Indonesia sejajar dengan negara anggota G20 lainnya sebagai negara dengan integritas sistem keuangan. Upaya ini krusial dalam rangka mencegah pendanaan terorisme yang tak terdeteksi secara ‘kasat mata’.

Identifikasi latar belakang teroris juga menjadi catatan kontra terorisme di Indonesia. Terlalu menitikberatkan faktor agama sebagai faktor lahirnya teroris bisa mengaburkan motif lain yang sejatinya lebih esensial dibanding unsur agama itu sendiri. Hal ini juga akan berkorelasi dengan bagaimana kontra narasi radikal terorisme diproduksi. Salah mendiagnosa problem justru akan membuka ruang bagi mereka untuk bergerak. Hal ini justru kontra produktif dengan misi penanggulangan terorisme yang digalakkan oleh Pemerintah melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia (Perpres) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN PE) Tahun 2020-2024.

Terorisme bukanlah fenomena yang dapat dijelaskan atau dipahami hanya melalui lensa agama semata. Terorisme sering kali merupakan hasil dari faktor-faktor yang kompleks dan bervariasi, termasuk politik, ekonomi, dan sosial. Memusatkan perhatian hanya pada motif agama dapat mengabaikan dinamika yang lebih luas, yang kemudian dapat menghambat upaya pencegahan yang efektif.

Pada akhirnya, film ini berhasil mengungkap ruang rentan konflik yang sering dimanfaatkan kelompok radikal terorisme di Indonesia. Secara garis besar, problem sosial di akar rumput sama berbobotnya dengan isu teknis dan birokrasi yang ada di level elit. Absennya atribut agama dalam film ini meruntuhkan stereotip di benak masyarakat bahwa terorisme selalu beririsan dengan satu agama. Atau lebih spesifik lagi, mengaburkan stereotip Islam sebagai agama yang memotivasi kekerasan.

Film 13 Bom di Jakarta sangat relevan baik sebagai film aksi heroik maupun media edukasi terutama dalam hal penanggulangan aksi terorisme di Indonesia. Audiens diajak untuk menyaksikan bagaimana prinsip kemanusiaan dibenturkan dengan prinsip keadilan sosial yang pada akhirnya memunculkan militansi pada diri seseorang. Penonton juga diajak untuk berpacu dengan waktu untuk berusaha menggagalkan bom tersebut dan mengungkap jaringan di balik rangkaian aksi teror.

Facebook Comments