RUU HIP dan Proteksi Terhadap Ideologi Transnasional

RUU HIP dan Proteksi Terhadap Ideologi Transnasional

- in Narasi
1757
0
RUU HIP dan Proteksi Terhadap Ideologi Transnasional

Saat ini sebuah Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) telah masuk ke dalam Prolegnas 2020 dan akan segara dibahas oleh DPR bersama pemerintah. Undang-undang ini nantinya akan menjadi payung hukum Pembinaan Ideologi Pancasila kepada rakyat dan bangsa Indonesia.

RUU juga dijadikan sebagai pedoman bagi penyelanggara negara dalam menyusun dan menetapkan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi dalam setiap kebijakan. Selaian itu, ia juga sebagai sarana untuk melindungi Pancasila dari kepentingan ideologi bangsa lain serta sebagai wadah untuk membumikan nilai-nilai Pancasila.

Pendek kata, RUU HIP berfungsi sebagai sebagai karangka berpikir dan bertindak bagi penyelenggara negara dan masyarakat. Dengan demikian, Pancasila diharapkan tidak saja aktual secara horizontal saja (masyarakat), melainkan juga harus aktual secara vertikal (pemerintah).

Di tengah arus informasi dan globalisasi, kita memang memerlukan satu pedoman nasional sebagai acuan dalam bersikap, bertindak, dan berpikir. Akan tetapi, tentu undang-undang itu juga harus mempertimbangkan kebutuhan serta situasi dan kondisi masyarakat. Bagi sebagian kalangan, justru inilah yang hilang dari RUU ini.

Kita sekarang lagi fokus berhadapan dengan Pandemi. Hampir semua sektor kena imbasnya. Ekonomi, pendidikan, keagamaan, dan setrusnya –merasakan dampak langsung dari pendemi ini. Di saat seperti ini, tentu ada sebagain pihak yang merasa kurang proporsional mengajukan rancangan undang-undang sebagai Prolegnas. Kita seharusnya fokus kepada perang malawan pandemi.

Yang Absen dari RUU HIP

Selain itu, berbgai pihak juga merasa keberatan dengan RUU ini yang kurang antisipasi terhadap ideologi transnasional. Penetrasi idelogi impor sangat nyata di depan mata. Berkat internet dan kemudahan komunikasi, setiap orang bisa dengan sangat mudah mengakses konten-kontens yang itu bertolak belakang dengan Pancasila.

Baca Juga : Pancasila; Soekarno dan Perbincangan tentang Transnasionalisme

Bahaya ideologi ekstrim seharusnya menjadi perhatian RUU ini. Nyatanya semangat untuk memproteksi anak bangsa dari virus idelogi trannasional dan kepentingan idelogi ekstrim sangat minim dalam RUU ini.

GP Anshor, beberapa fraksi di DPR, serta sebagian kalangan masyarakat mempunyai beberapa keberatan terhadap rancangan undang-undang ini. Pertama,bagi sebagai pihak adanya undang-undang ini, justru akan menurunkan derajat Pancasila yang semula sudah termaktub dalam Konstitusi Negara –dan itu final, tak boleh diubah –menjadi sebuah undang-undang yang derajatnya lebih rendah. Ini dinilai mendegrdasi Pancasila.

Kedua, tak dicantunkannya TAP MPRS Nomor XXV Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme, sebagai landasan RUU HIP.

Ketiga, tak disertakannya PERPU Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Oasyarakat sebagai konsideren. Sebab, Perpu inilah yang jadi landasan untuk Pembubaran Hizbut Tahriri Indeonsia (HTI). Sebagian pihak merasa khawatir jikalau nantinya undang-undang ini menjadi amnusi bagi kelompok pengusung khilafah untuk bangkit lagi.

Menangkal Transnasionalisme

Absennya RUU ini dari semangat memproteksi masyarakat dari kepentingan ideologi impor serta ideologi ekstrim patut menjadi perhatian DPR dan Pemerintah. Sebagai undang haluan dalam pembinaan Pancasila sudah seharusnya bahaya trasnnasionalisme harus diantisipasi.

Sebab, penetrasi ideologi trans-nasional (impor), yang sering diklaim sebagai solusi-alternatif –seperti ideologi khilafah –sejatinya terjadi sebab ideologi Pancasila “kurang” aktual lagi di kehidupan kita. Pancasila hanya sering dijadikan pajangan, seremonial, formalitas, upacara, tetapi tidak membumi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Nilai-nilai Pancasila yang penuh gotong-royong, persatuan, toleran, dan menghargai keberagaman sudah tercerabut dalam kehidupan anak bangsa.Tak berhenti di sini, kebijakan dalam menjalankan Negara sering dilakukan salah arah dan jauh dari semangat Pancasila.

Menjauhnya kita dari Pancasila berakibat mendekatnya ideologi impor kepada masyarakat. Para pengasong khilafah serta pengusung paham radikal dengan lihai menyasar para anak muda, masyarakat, dan generasi bangsa pada umumnya.

Target utama mereka adalah para anak muda, anak-anak, dan rumah tangga. Sebab ketiga unsur inilah yang jadi pilar tegak tidaknya suatu bangsa nantinya.

Anak muda yang masih punya semangat bergejolak, anak-anak yang masih polos, institusi keluarga yang steril dari pengawasan pemerintah, menjadi sasaran empuk ideologi khilafah.

Pola penyebaran dilakukan lewat pengajian, halaqah, mesjid, mushalla, organisasi, dan paling efektif adalah lewat media sosial. Khusus yang terakhir dilakukan dengan umpan pancing.

Ideologi transnasional dipasarkan begitu aja ke lini massa medsos laiknya seorang pemancing lagi menebarkan umpannya di lautan luas. Siapa yang merespons, itulah yang diindoktrinasi, dan diincar secara massif dan rapi.

Bentuk ajakan dan doktrin yang disebarkan kepada masyarakat antara lain. Pertama, dukungan dan ajakan bergabung dengan khilafah. Ini dengan mudah kita temui –baik secara tersurat maupun tersirat – di sekeliling kita. Para pengusung dan simpatisan khilafah dengan bagus bisa memasarkan khilafaisme itu kepada khalayak umum.

Kedua,anti-demokrasi dan Pancasila. Gerakan ini dilakukan, sebab bagi kelompok radikal, keduanya adalah berhala ciptaan manusia yang tidak mungkin bisa menciptakan kesejahteraan dan keadilan. Yang bisa menciptakan itu, hanyalah sistem Islam yang diambil dari kedua sumber Islam.

Ketiga,mengkafirkan orang lain yang tidak sesuai dengan golongannya. Dalam istilahnya disebut kaum takfirisme. Beda dikit kafir. Tidak sesuai manhaj, kafir. Bertolak belakang dengan tokoh mereka, sesat. Ada pendapat yang tidak mainstream, dibilang perusak akidah.

Keempat,kekerasan atas nama agama yang teraktualasi ke dalam terror yang diklaim sebagai jihad dan panggilan syahid. Inilah puncak dari radikalisme. Bermula dari intoleransi, tidak mau menerima orang lain. Kemudian jadi radikal, ingin mengganti sistem yang ada, dan ujungnya teroris, ingin mengubah itu dengan cara kekerasan. RUU HIP seharusnya menjadi modal bagi Pemerintah dan masyarakat agar lebih ansipatif terhadap bahahaya langsung dari ideologi transnasionalisme. Layak sebagai Haluan dalam pembinaan, ia seharusnya bersifat komprehensif. Kita tak boleh lengah. Undang ini nantinya harus menjadi salah satu sarana untuk memproteksi masyarakat dari bahaya infiltrasi ideologi ekstrim.

Facebook Comments