Semangat Ramadan adalah Pancasila

Semangat Ramadan adalah Pancasila

- in Narasi
1280
0

Puasa, Sholat Tarawih bersama serta pasar Ramadhan adalah sejumlah hal yang akan rutin kita jumpai tatkala Bulan Ramadhan datang. Untuk memeriahkan bulan tersebut terkadang diikuti atau didahului oleh sejumlah tradisi tertentu yang dilakukan di sejumlah daerah di Indonesia. Sebut saja seperti Padusan dan Nyadran di sejumlah wilayah di pulau Jawa, Dugderan di Semarang, Balimau di daerah Padang dan lain sebagainya. Tanpa kita sadari, keragaman tradisi dalam menyambut bulan Puasa telah menjadi sebuah keragaman yang indah yang niscaya sulit untuk kita temui di belahan bumi lainnya. Spirit lokalitas yang berpadu dengan nilai-nilai agama menunjukkan bahwa nilai-nilai luhur Pancasila bukanlah gagasan utopis yang tidak bisa diwujudkan. Justru sebaliknya, hal-hal tersebut merupakan bagian utuh dari jati diri bangsa ini. Sehingga bila jati diri tersebut harus dipisah-pisah atau tragisnya malah harus dikoyak, maka sama saja mengoyak Ke-Indonesiaan itu sendiri.

Indonesia merupakan sebuah wilayah kesatuan nusantara yang berasal dari suku, bangsa, bahasa, agama serta tentunya tradisi yang beragam. Tak heran bila kemudian negeri yang mayoritas muslim ini, kemudian memiliki ragam tradisi yang berbeda dalam menyambut bulan tersebut. Persoalannya adalah terdapatnya sejumlah pihak yang menunggangi momen ramadhan ini untuk memperkuat paradigma radikalisme yang akhirnya bermuara pada terorisme. Contohnya adalah turunnya segerombolan orang yang mengatasnamakan Islam dan melakukan aksi “sweeping” terhadap beberapa tempat tertentu. Mereka melakukan ini dengan mengatasnamakan upaya menghormati bulan puasa. Berikutnya bahkan lebih sadis. Para kaum radikal tersebut tak segan untuk menunggangi fikiran anak-anak untuk hal-hal semacam ini. Pawai obor yang dilakukan anak-anak, sedianya bertujuan menyambut bulan Ramadhan malah harus berjalan dengan sangat mengerikan sekaligus menyedihkan. Sebab para anak-anak yang berpawai tersebut serempak berteriak yel-yel seruan untuk membunuh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).

Jelas hal tersebut terjadi karena adanya tunggangan pihak yang ingin mengikis tatanan harmoni keberagaman di Indonesia. Sebab secara sederhana saja kita berfikir, apakah mungkin semua anak-anak itu sudah cukup paham dengan kondisi sosial dan politik yang terjadi? Tentulah jawabannya tidak. Sedikit banyak penggiringan informasi diperoleh dari keluarga dan/atau pihak-pihak terdekatlah yang potensial membentuk hal-hal yang demikian. Penanaman hal semcam ini sebenarnya semakin mengasah tajamnya perselisihan sekaligus mempertebal partisi pemisah karena perbedaan yang ada.

Dari dua contoh di atas sebenanarnya kita bisa melihat adanya pola pergeseran paradigma kesalehan. Hadirnya agama di ruang publik, tanpa disadari membawa ekses pada pengutamaan pentingnya kesalehan dalam penampilan ketimbang kesalehan batin. Kesalehan penampilan dapat digambarkan dengan keadaan di mana banyak orang berlomba untuk menjadi saleh dengan apa yang mereka gunakan secara instan, semisal berlomba memakai baju Gamis, Surban, semua hal berhungan dengan agama hingga mengikuti pengajian yang diikuti artis atau pun Ustad selebriti tertentu. Kebanyakan dari masyarakat semacam ini, lebih memilih cara instan yang tujuannya untuk dapat menaikkan pamor di masyarakat serta memperoleh jalan pintas untuk mengikuti perintah agama. Mereka seolah meyakini bahwa dengan menunjukkan kesalehan penampilan, mereka telah mengamalkan perintah agama sekaligus melakukan syi’ar.

Kesalehan dalam penampilan inilah yang kemudian menemukan elemen penguatnya dan bahkan paling gampang ditunggangi oleh fenomena Islam Radikal/terorisme di tingkatan internasional. Sebab penggiringan kepada “ajaran yang paling benar” dewasa ini jelas dapat dilakukan dengan beragama media baik offline maupun online. Banyak dari mereka yang kemudian menaruh empati atas perjuangan kelompok teroris yang mengatasnamakan Islam karena melihat politik yang terjadi hanya dari satu sudut pandang, yaitu “ajaran yang paling benar”. Lalu, acap kali suara yang digaungkan dalam konteks internasional adalah suara melawan penindasan yang terjadi terhadap umat Islam. Politik identitas yang menganggap dirinya sebagai bagian dari umat Islam yang harus dibela menemukan resonansi yang pas, ketika kita memilih bersikap ahistoris terhadap perjuangan para leluhur, budayawan, ulama, santri, rohaniwan, serta semua founding fathers/mothers dalam mengupayakan kemerdekaan Indonesia.

Pengkhianatan karena sikap ahistoris pun akhirnya terjadi dengan memaksakan pandangan keagamaan yang mereka miliki melalui rongrongan terhadap Pancasila sebagai pemersatu kebhinekaan. Mereka sungguh telah mengabaikan kenyataan bahwa kemerdekaan dan alam kebebasan yang dihirup saat ini adalah hasil perjuangan dan pengorbanan para founding fathers/mother negeri ini. Bila Pancasila sebagai pemersatu kebhinekaan telah dikoyak dan dipisah-pisah, apakah yang harus kita jawab kepada para pejuang terdahulu dan anak cucu kita nantinya tatkala mereka bertanya apa itu Indonesia?

Facebook Comments