Ulama dan Pendidikan Politik Kebangsaan

Ulama dan Pendidikan Politik Kebangsaan

- in Narasi
620
0
Ulama dan Pendidikan Politik Kebangsaan

Ulama memiliki posisi strategis dalam konteks kebangsaan. Mereka tidak hanya berperan dalam mendidik umat dalam ruang lingkup pemahaman agama, melainkan juga dalam mengarahkan masyarakat sehari-hari. Segala perkataan dan perbuatannya adalah teladan yang perlu ditiru oleh pengikutnya. Termasuk komitmennya dalam menjaga Indonesia agar tetap aman, damai, dan sejahtera.

Sejarah panjang bangsa ini menunjukkan, besarnya kontribusi ulama dalam merebut kemerdekaan. Ulama bahkan turun langsung mengangkat senjata bersama santri-santrinya. Perjuangan fisik dilalui dengan satu tujuan: menjadi bangsa yang berdaulat. Setelah bangsa ini merdeka, kiprah ulama semakin signifikan. Petuah dan arahan ulama masih terus dinantikan sebagai pedoman dalam mengaruhi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tetapi ini, banyak yang memanfaatkan ulama untuk kepentingan politik praktis. Ulama dibawa-bawa untuk mewujudkan ambisi pribadi, dan bukan kepentingan seluruh bangsa ini. Kondisi ini semakin diperparah dengan mudahnya masyarakat memberi stempel ‘alim kepada seseorang.

Akibatnya, bermunculan ulama yang belum terbukti kontribusinya di masyarakat. Mereka inilah yang akhirnya sering dimanfaatkan oleh para politisi yang ingin meraih kekuasaan. Tentu saja, menjadi hak setiap warga negara (termasuk ulama) untuk mengekspresikan pandangan politiknya.

Tetapi harus diingat, ulama adalah pengayom seluruh masyarakat. Mereka harus berdiri di tengah dan tidak boleh mudah diombang-ambingkan oleh kepentingan pragmatis. Jika itu yang terjadi, maka derajat keulamaannya akan semakin luntur dan akhrinya hilang. Mereka tidak lagi dipandang sebagai juru dakwah, melainkan sekedar juru kampanye.

Baca juga :Mengembalikan Khitah Sekolah

Fenomena di atas bisa dilihat dari beberapa agenda yang menggunakan ulama sebagai tamengnya. Salah satunya adalah Ijtima Ulama III yang baru digelar pada Rabu, 1 Mei 2019. Ada lima keputusan dari hasil pertemuan tersebut. Pertama, menyatakan telah terjadi berbagai kecurangan dan kejahatan yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masih dalam penyelenggaraan Pemilu 2019. Kedua, mendorong kepada BPN mengajukan keberatan melalui mekanisme legal prosedural tentang terjadinya kecurangan dan kejahatan dalam Pemilihan Presiden 2019. Ketiga, mendesak Bawaslu dan KPU untuk membatalkan atau mendiskualifikasi paslon capres-cawapres 01. Keempat, mengajak umat dan seluruh anak bangsa untuk mengawal dan mendampingi perjuangan penegakan hukum dengan cara syari dan legal konstitusional dalam melawan kecurangan dan kejahatan dalam Pilpres 2019. Kelima, memutuskan bahwa perjuangan melawan kecurangan dan kejahatan serta ketidakadilan adalah bentuk amar maruf dan nahi munkar konstitusional dan sah secara hukum.

Peristiwa di atas menunjukkan terjadinya degradasi posisi ulama. Para tokoh agama ini, semestinya berada di posisi sentral dan terhormat. Bukan tunduk dan patuh terhadap kepentingan segelintir politisi saja. Apalagi hingga mendukung pasangan calon tertentu.

Ironisnya, banyak masyarakat yang akhirnya mengikuti dan menganggap rekomendasi yang dikeluarkan adaah hal yang memiliki nilai agama, sehingga harus diperjuangkan dengan sekuat tenaga. Padahal, justru rekomendasi tersebut sangat bersifat profan. Tidak ada hubungannya dengan urusan agama dan kesalehan seseorang. Terkait hal ini, ulama seharusnya melakukan introspeksi. Mereka tidak boleh merendahkan diri dan menurunkan derajat mereka demi kekuasaan. Biarkanlah para politisi bertarung dengan caranya masing-masing. Ulama tidak perlu ikut-ikutan bertarung dalam ring yang sama dengan para pencari kekuasaan.

Ulama pun harus menjaga marwahnya. Mereka perlu menyadari kembali tugasnya sebagai pendidik bangsa ini. Termasuk melakukan pendidikan politik kebangsaan tingkat tinggi. Apalagi kini, bangsa ini baru memperingati Hari Pendidikan Nasional yang jatuh pada 2 Mei 2019. Maka sangat relevan menuntut ulama untuk melakukan pendidikan yang mencerdaskan. Bukan justru melihat ulama melakukan akrobat politik yang makin membingungkan umatnya.

Pendidikan politik kebangsaan adalah upaya untuk merekatkan masyarakat agar merasa menjadi bangsa yang satu. Berjuang dan bergerak untuk kemajuan bersama. Pendidikan politik kebangsaan juga mencegah hadirnya paham-paham yang merusak dan memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa.

Bukan merupakan pendidikan politik kebangsaan jika mengarahkan masyarakat untuk terpecah-belah menjadi kubu-kubuan. Saling menyerang pilihan politik dan berteriak-teriak tentang kecurangan dan kejahatan tanpa disertai bukti yang memadai. Hingga membawa-bawa agama sebagai legitimasi agar semakin orang percaya dengan hasrat politiknya. Dan hal inilah yang menjadi kewaspadaan kita bersama. Agar Indonesia selalu berada dalam kondisi persaudaraan yang utuh.

Facebook Comments