Urgensitas Menangkal Budaya Kematian Lewat Pendidikan Literasi

Urgensitas Menangkal Budaya Kematian Lewat Pendidikan Literasi

- in Narasi
730
0
Urgensitas Menangkal Budaya Kematian Lewat Pendidikan Literasi

Budaya Kematian merupakan sebuah istilah yang lahir dari salah satu dokumen gereja Katolik, yaitu Ensiklik Evangelium Vitae (1995). Istilah budaya kematian merupakan sebuah ungkapan yang dihadirkan berhadapan dengan ungkapan budaya kehidupan. Dalam penjelasannya, kemunculan budaya kematian memiliki kaitan dengan teknologi yang berkembang sehingga manusia pun memandang dirinya tidak lebih dari sekedar objek.

Manusia tidak lagi memandang dirinya sebagai subjek yang memiliki kuasa untuk melindungi martabatnya dan martabat manusia lainnya-yang sedari awal telah ada bersama kehidupan itu sendiri. Akibatnya hak hidup manusia pun terabaikan, berganti dengan moralitas lainnya yang dianggap penting.

Kehidupan yang sebelumnya merupakan anugrah terpenting dari sang Ilahi sudah tidak dipandang hakiki lagi. Ego, politik identitas, radikalisme hingga terorisme yang terbungkus oleh moralitas tertentu, seperti agama, menjadikan manusia cenderung berpaling dari anugrah kehidupan yang telah diberikan kepadanya. Manusia seolah sangat terpesona mengagumi dan mencintai budaya kematian. Bila sudah ada pada bagian ini, maka sulit untuk menolak kenyataan bahwa kemanusiaan seolah-olah telah tercabut dari akarnya.

Dalam konteks dunia dalam jaringan internet (daring), awalnya memang banyak dari para milenial yang mampu menciptakan sebentuk simbiosis mutualisme dengan wilayah daring sebagai penyokong kehidupan. Namun dalam perjalannya hingga kini banyak pula yang telah mengalami pergeseran. Pergeseran tersebut bisa dilihat pada banyaknya milenial yang ternyata perlahan memasuki wilayah budaya kematian.

Baca juga :Pendidikan Karakter Dan Potensi Radikalisme Di Dunia Pendidikan

Melalui kecanggihan teknologi, banyak dari milenial yang ada semakin menggandrungi segala hal yang berbau kekerasan. Mungkin pada awalnya banyak dari milenial tersebut yang tidak menyadari embrio-embrionya. Namun sadarkah kita semua bahwa segala hal yang bergaung dengan nada politik identitas, populisme hingga post-truth mampu membuat nalar sehat kemanusiaan kita terpapas, sementara yang mengemuka dalam fikiran dan mungkin juga tindakan hanyalah narasi mengenai perjuangan identitas kelompok tertentu saja.

Hal demikian kerap terjadi dalam cara berfikir milenial hari ini yang identik dengan kerentanan letupan emosi, terlebih bila mesti bersentuhan dengan isu-isu yang identitas SARA yang gampang diakses melalui media daring. Tidak heran bila dalam beberapa kasus, kita mendapati tindakan tidak berprikemanusiaan dilakukan untuk itu. Contohnya banyak sekali, mulai dari kasus penembakan di New Zealand, sejumlah kasus terorisme di Indonesia hingga teror kemanusiaan yang terakhir terjadi di Sri Lanka

Banyak dari milenial yang telah terpapar budaya kematian dan kemudian mengesampingkan nalar penghargaan terhadap hidup manusia. Sejumlah media dan peneliti bahkan pada 2018 lalu banyak yang merilis temuannya terkait kerentanan milenial terhadap budaya kematian, seperti isu radikalisme dan terorisme. Banyak dari milenial tersebut yang berpihak pada aksi kekerasan, karena mereka menganggap bahwa hal tersebut merupakan solusi cepat guna menyelesaikan persoalan atau pun perbedaan.

Lewat sentuhan yang tepat pada sisi emosional para milenial, segala macam hal yang dirasa tidak mungkin bisa saja diwujudkannya di dunia nyata. Contohnya menjadi pelaku bom bunuh diri atau pun aksi kekerasan lainnya. Inilah ancaman yang sebenarnya cukup mengkhawatirkan kita semua. Realitas kemanusiaan yang bersifat kosmopolitan semakin terpinggirkan akibat kuatnya narasi politik identitas, populisme dan radikalisme yang tidak canggung untuk berelasi mesra dengan budaya kematian. Salah dalam mencermati realitas yang ada, menjadikan milenial akan terjebak dalam budaya kematian, yang pada gilirannya memunculkan habitus kematian pula dalam peradaban kita.

Literasi Jujur Mendorong Budaya Kehidupan

Para milenial kita sepertinya tengah terjebak dan tidak memiliki jalan keluar yang lain dari keadaan ini. Dengan derasnya intrusi budaya kematian yang terbungkus dengan berbagai kemasan seperti tersebut di atas – dan ditambah lagi dengan semangat puber milenial yang gampang meletup, seolah memupus kemungkinan mereka lepas dari keadaan yang ada.

Namun demikian, dalam kencangnya arus yang menerpa sebenarnya kita masih memiliki peluang untuk bisa keluardari belenggu. Langkah yang paling sederhana bisa dimulai bersama adalah dengan kembali mendekatkan masing-masing diri milenial dengan semangat literasi. Semangat literasi adalah semangat untuk membebaskan diri dari kegelapan (ketidak-tahuan) dengan membaca banyak hal.

Melalui semangat pendidikan literasi yang jujur, kita dipaksa untuk banyak membaca banyak literatur sebelum berkomentar atau mengeluarkan sikap. Bacaan yang menghadirkan beragam pandangan dan moralitas, merupakan keniscayaan bila kita sungguh-sungguh ingin menjunjung martabat kita sebagai mahluk yang memiliki akal fikiran dan mengutamakan kehidupan.

Dengan pembacaan terhadap sejumlah literatur, kita dipaksa untuk berfikir keras terlebih dahulu sebelum menentukan pilihan. Setidaknya sejumlah moralitas yang berangkat dari bacaan kita akan hadir mewarnai fikiran, tatkala sebuah persoalan hadir. Bila kita sebagai manusia sungguh menghargai martabat kita sebagai mahluk yang memiliki anugrah dan kemampuan berfikir, maka semestinya hal ini yang kita lakukan pertama sebelum melakukan tindakan apa pun.

Menutup mata terhadap beragam literasi sama saja melecehkan martabat hakiki manusia. Tidak salah bila kemudian pemikiran kita mengantarkan pada kesimpulan bahwa pelecehan tersebut sama saja seperti pengkhianatan terhadap anugrah dari sang Ilahi.

Facebook Comments