Ulama dan Mereka yang Mengaku Ulama

Ulama dan Mereka yang Mengaku Ulama

- in Narasi
2141
0

Mungkin tidak sedikit kita melihat majelis-majelis taklim yang dijadikan ajang untuk mencela, menjelekkan, menuduh, dan bahkan mengkafirkan pihak lain. Lebih parahnya obyek sasarannya adalah ulama, tokoh, kiayi yang selama ini dikenal memiliki kedalaman ilmu yang sudah tidak diragukan. Saya menjadi khawatir dengan kondisi ini ketika mengingat peringatan Nabi:

“Allah tidak mencabut ilmu begitu saja dari dada para ulama, tetapi mencabut ilmu dengan mencabut nyawa para ulama, dan apabila sudah tidak tersisa lagi orang alim, orang-orang mengangkat pemimpin (agama) bodoh, sehingga apabila ditanya akan berfatwa tanpa ilmu, makan sesat menyesatkan” (HR Ahmad).

Sejatinya hari ini kita bukan sedang krisis ulama, tetapi krisis penghormatan terhadap ulama. Sejalan dengan itu, berjamuran publik figur dan tokoh kemaren sore yang dielu-elukan seolah menggantikan ulama yang sudah mengakar kuat di tengah masyarakat. Tokoh idola baru muncul dan mendadak tenar dengan menggelar pengajian, tetapi senang menghambur-hamburkan fatwa yang menjelekkan kebiasaan, tradisi, bahkan keilmuan tokoh ulama dan masyarakat umum.

Selain karena munculnya aktor yang menganggap dirinya mampu dan mirip ulama, masyarakat juga belum bisa membedakan antara ulama dan muballig dan antara mufti dan da’i. Kenapa ini menjadi penting? Prof. Dr. Ali Jum’ah, ulama besar al-Azhar, Kairo, mengingatkan salah satu ciri kelompok ekstrimis yang mengedepankan aksi dari pada ilmu dan mencampuradukkan pengajian dengan ceramah ilmiah. Banyak sekali idola baru di tengah masyarakat yang hanya dilihat pada kemampuan pidato dan ceramahnya, tetapi tidak pada subtansi dan kemampuan ilmunya. Masyarakat awam tertipu dengan menjadikan mereka panutan dan idola dengan mengenyampingkan ulama dan lebih memilih menemui muballigh.

Ibnu Mas’ud pernah memprediksi kondisi ini dengan sangat lugas; “ Anda semua hidup pada masa yang banyak fuqahanya dan sedikit ahli pidatonya… dan nanti akan datang suatu masa setelahmu yang sedikit fuqahanya dan banyak ahli pidatonya” (HR Bukhari). Apakah prediksi ini bermasalah? Apakah menjamurnya para ahli pidato dan bermasalah?

Sebenarnya prediksi Ibnu Mas’ud ini harus dibaca dalam konteks bahwa akan banyak ahli pidato dan da’i yang akan menjadi panutan dan penuntun umat yang tidak mempunyai kompetensi keilmuan seperti ulama dan fuaqaha’. Mereka lebih banyak mengandalkan retorika dan mungkin sedikit mendongeng dan melempar humor. Inilah yang akan menjadi idola baru masyarakat sambil lalu meninggalkan ulama yang sudah memumpuni.

Prof. Dr Ali Jum’ah mengingatkan bahwa sebenarnya tidak persoalan jika para muballig menyampaikan pengajian pada umat dengan modal keilmuan yang pas-pasan. Menjadi persoalan adalah para muballigh itu mengaku memiliki ilmu sehingga berani mengeluarkan fatwa dan tidak sedikit menimbulkan fitnah di kalangan masyarakat. Jika para muballigh ini mempunyai kapasitas keilmuan yang cukup dan kedalaman ilmu seperti ulama tentu saja mereka jauh dari perangai yang menjelek-jelekkan, menuduh kafir dan sesat, membid’ahkan ulama dan masyarakat.

Tidak mengertinya masyarakat dalam memilih panutan dan idola keagamaan tentu menjadi persoalan tersendiri. Akibatnya banyak orang-orang yang tidak memiliki kompetensi menyampaikan pengajian, kajian, penafsiran keagamaan lebih percaya diri maju ke atas mimbar dan podium bahkan berani mengeluarkan fatwa. Menurut Ali Jum’ah biasanya kelompok ini tidak mengerti akhlak menghormati guru, membodoh-bodohkan ulama, dan bersikap kasar pada penuntut ilmu. Akibatnya, masyarakat yang menyimak tidak sepenuhnya menuntut ilmu, tetapi hanya merekam pidato kebencian, hasutan, fitnah dan adu domba di tengah masyarakat.

Saya ingin mengutip kata bijak Imam Al-Ghazali : “jika orang yang tidak tahu itu diam, maka tidak akan ada perselisihan”. Artinya fitnah, keributan dan perselisihan muncul karena banyak sekali orang yang tidak tahu tentang agama tetapi ramai menggunjingkan agama yang lain bahkan mencela kapasitas keilmuan yang lain.

Selayaknya kita harus bersikap arif, bijak dan menampilkan perangai yang baik dalam menyampaikan ajaran, penafisran dan pendidikan keagamaan. Kemuliaan kita tidak akan muncul dengan cara merendahkan kemulian orang lain. Waspadailah untuk tidak masuk dalam kategori yang disampaikan Nabi : “Dua sifat yang tidak mungkin terkumpul dalam diri seorang munafik; perangai yang baik dan pemahaman agama yang mendalam”(HR: Tirmizi).

Facebook Comments