Idulfitri telah berlalu. Sebagian masyarakat yang mudik telah kembali ke perantauan masing-masing. Namun di Indonesia sebenarnya lebaran masih berlanjut, yakni Lebaran Ketupat. Kendati tidak resmi dan hanya tradisi lokal belaka, Lebaran Ketupat yang digelar pada 8 Syawal memiliki peran penting bagi umat Islam tanah air. Lalu, apa itu Lebaran Ketupat dan bagaimana eksistensinya dalam keberagamaan di Indonesia?
Sebelum menelaah jawaban atas pertanyaan tersebut, menarik dicatat bahwa dalam beberapa dekade terakhir, iklim keberagaman di tanah air terancam oleh sentimen radikal. Wahabisme, misalnya, telah mempersempit makna Islam, menolak tradisi lokal sebagai bid’ah, dan memprovokasi umat Islam untuk antipati pada kulturnya sendiri. Mereka melihat ketupat tidak sebagai lokalitas islami, melainkan sebagai penyimpangan Islam.
Wahabisme dengan ajarannya yang rigid-eksklusif menjadi antitesis moderasi, wasathiyah, yang notabene esensi ajaran Islam ihwal pentingnya menghormati pluralitas dan memelihara kebhinekaan. Dalam konteks itulah, Lebaran Ketupat menemukan perannya sebagai katalisator wasatiah Islam. Masyarakat Muslim harus merayakan keberagaman budaya, etnis, dan sosial mereka, sembari tetap mempertahankan esensi universal Islam itu sendiri.
Karena itu, sebagai Muslim, menjaga tradisi Lebaran Ketupat merupakan tanggung jawab merayakan esensi Islam yang sejati: kasih sayang, kebersamaan, dan toleransi. Memelihara simbolisasi wasatiah Islam sambil memperkokoh kebersamaan dalam keragaman merupakan sesuatu yang niscaya. Hanya dengan cara tersebut, Wahabisme dapat diminimalisir dan moderasi akan menjadi prototipe keberagamaan arus utama di NKRI.
Reaktualisasi Filosofis “Ketupat”
Genealogi Lebaran Ketupat dapat ditelusuri pada abad keenam belas di masa Kesultanan Demak. Sebagai tradisi, ia berkaitan erat dengan strategi dakwah Sunan Kalijaga. Kendati tidak ditemukan nas Al-Qur’an dan hadis tentangnya, Lebaran Ketupat menjadi euforia islami sejak era Walisongo hingga sekarang. Pada masa Walisongo, perayaannya bersamaan dengan tradisi selamatan. Hari ini, tradisi Lebaran Ketupat menjadi wadah silaturahmi pasca-Idulfitri.
Kata “ketupat” sendiri berasal bahasa Jawa ‘papat’ yang bermakna ‘empat’, juga berkaitan dengan rukun Islam keempat: puasa. Kata lainnya, yakni ‘kupat’, juga berasal dari bahasa Jawa ‘laku papat’ yang berarti ‘empat tindakan’, yakni lebaran, luberan, leburan, dan laburan. Lebaran ialah berakhirnya Ramadan, luberan berarti saling berbagi rezeki. Sementara leburan berarti hilangnya dosa berkat saling maaf-maafan, dan laburan ialah kejernihan lahir-batin.
Tidak hanya itu, ketupat juga memiliki makna filosofis lainnya. Janur, daun kelapa muda yang jadi bungkus, disinyalir berasal dari Bahasa Arab jā’a al-nūr yang artinya ‘telah datang seberkas cahaya’—yakni cahaya fitrah keberislaman. Intinya, secara filosofis, Lebaran Ketupat merupakan momen penyucian dan saling memaafkan antarsesama. Namun, bagaimana mereaktualisasi maknanya dalam konteks hari ini? Sedikitnya ada tiga hal.
Pertama, khazanah keislaman lokal Nusantara. Lebaran Ketupat bukan tradisi yang baru. Ia inheren sebagai identitas keindonesiaan itu sendiri. Posisi demikian dapat menjadi titik tolak penguatan Islam Nusantara yang semakin hari kian tergerus oleh puritanisme dan Wahabisasi. Kedua, katalisator moderasi beragama atau wasatiah Islam. Lebaran Ketupat sebagai manifestasi lokalitas Islam memantik satu spirit, yaitu iklim keberislaman yang moderat.
Ketiga, antitesis Wahabisme. Mengaktualisasi kembali Lebaran Ketupat setali tiga uang dengan mengonter maraknya Wahabisme. Bagaimana pun, puritanisasi di Indonesia tidak hanya membuat Islam khilangan ruh, tetapi juga membuat masyarakat antipati terhadap tradisinya sendiri. Padahal, Lebaran Ketupat tidak memuat unsur kesyirikan sama sekali. Justru ia simbol wasatiah, sekaligus conter-balance terhadap Wahabisasi itu sendiri.
Moderasi vis-à-vis Wahabisme
Penting untuk dicatat, bahwa hari-hari ini, Indonesia tengah berada di titik nadir Wahabisasi. Masuknya paham Wahabi di satu sisi dan masifnya dai Wahabi di sisi lainnya meniscayakan satu hal yang sangat meresahkan: hilangnya identitas Islam yang moderat, tergerusnya keberagamaan yang inklusif, dan matinya toleransi. Identitas keislaman masyarakat terkontaminasi Wahabisme secara akut, sehingga moderasi pun perlahan tinggal nama.
Sebagai contoh, tradisi tahlil sudah semakin banyak yang membid’ahkan. Zikir setelah salah juga demikian, banyak yang tidak lagi mau mengamalkannya. Apalagi pemberian sesajen yang diniatkan sedekah, bahkan pembacaan surah Al-Fatihah pun dianggap bid’ah karena tak ada dalil nasnya. Padahal, semua itu merupakan warisan akulturasi Islam yang tidak bertentangan dengan syariat. Sayang sekali, iklim keberislaman masyarakat semakin eksklusif, rigid, dan tidak ramah pluralitas.
Dengan kata lain, Wahabisme kian menggeser iklim moderasi beragama di tanah air. Para dai Wahabi telah sukses mengindoktrinasi masyarakat, dan membuat mereka kehilangan lokalitas dan esensi Islam itu sendiri. Karena itu, Lebaran Ketupat mesti disambut khidmat dan dilestarikan, sebab ia merupakan katalisator wasatiah alias mainstreaming moderasi beragama. Mengarusutamakan moderasi sama halnya dengan mengonter eskalasi Wahabisme.
Moderasi vis-à-vis Wahabisme adalah realitas yang mesti disadari bersama. Jika Wahabisasi berhasil memengaruhi masyarakat luas, maka tidak hanya tradisi Lebaran Ketupat yang hilang tetapi juga seluruh anasir moderasi beragama itu sendiri. Karena itu, masyarakat harus memiliki kesadaran kolektif tentang Lebaran Ketupat sebagai lokalitas Islam dan katalisator moderasi beragama, kemudian bersama-sama mengonter Wahabisme yang mendestruksi Islam dan NKRI.
Wallahu A’lam bi ash-Shawab…