Pemuda otentik adalah pemuda yang mau menjadi dirinya sendiri. Asli, tidak dilumuri kemunafikan, dan tidak mau diintervensi apalagi disetir oleh pihak lain. Tujuan hidup manusia seperti ini adalah kebahagiaan. Hati nuraninya adalah patokan dalam bersikap, bertindak dan berperilaku.
Persis inilah yang dilakukan oleh para pemuda pada Kongres Pemuda 1928. Dengan ikrar satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air, dengan gelora yang tak bisa dibendung, para pemuda ini ingin menjadi diri mereka sendiri, tanpa ada campur tangan dan intervensi dari penjajah.
Otentisitas dengan sendirinya bukan hanya melahirkan obsesi dan imajinasi tentang tanah air Indonesia, melainkan juga kesadaran dan kerinduan akan suatu identitas bangsa yang merdeka. Sebab hanya dengan menjadi diri sendiri (baca: merdeka), kebahagiaan itu bisa dinikmati.
Menjadi diri sendiri secara sungguh adalah modal utama sekaligus anti-bodi terhadap virus-virus dari luar. Di antara virus berbahaya itu adalah radikalisme dan terorisme.
Kedua virus ini bukan hanya menjauhkan manusia dari dirinya sendiri, melainkan juga mengajak manusia lain supaya tidak menjadi diri mereka sendiri. Dengan kata lain, keduanya berbahaya bagi diri-ku juga bagi diri mereka.
Mandiri dan Bahagia
Ciri pokok manusia otentik adalah mandiri dan bahagia. Di tengah arus politik, ekonomi, sosial, dan pendidikan, yang memproyeksikan manusia laiknya robot, seragam, dan bukan menjadi diri sendiri, otentisitas merupakan sesuatu yang sangat mahal.
Baca Juga :Instropeksi Diri, Bukankah Nabi diutus untuk Menyempurnakan Akhlak?
Banyak buku-buku self-help, film, acara motivasi, talk-show di tv, pengajian, ceramah dan seterusnya, yang masih mengajarkan orang untuk tidak menjadi dirinya sendiri. Para pemuda ini didoktrin agar menjadi seperti tokoh ini, dicetak agar menjadi manusia dengan kriteria tertentu, dilatih supaya menjadi pemuda tetapi dengan standar di luar dirinya.
Orang seperti ini sejatinya tidak mempunyai kebahagiaan. Sebab ia adalah manusia palsu yang mau –baik sukarela maupun dipaksa –untuk menjadi apa yang bukan dirinya sendiri. Manusia seperti inilah dalam bahasa David Riesmen disebut sebagai other-directed individual, individu yang terarah pada individu lain.
Senada dengan itu, Firtz Perls, ahli terapi eksistensialis, menyatakan bahwa orang yang tidak bisa menjadi dirinya sendiri (otententik), bisa dikategorikan sebagai orang yang mengidap penyakit neurosis. Neurosis adalah suatu kondisi seseorang berusaha melarikan diri dari dirinya sendiri.
Lari dari diri sendiri adalah sama dengan mengejar kebahagiaan palsu. Kebahagiaan yang tampak bagus dari luarnya yang berada jauh di luar sana. Padahal, kebahagiaan hakiki itu barada di sini, dalam diri ini. Dekat, melekat, dan selau mengikuti kita.
Kenyataan inilah yang dirasakan oleh para penggerak Sumpah Pemuda. Menjadi insan sesuai dengan kamauan penjajah ternyata tidak bahagia. Menjadi manusia yang tidak bebas, dikungkung oleh segala aturan diskriminatif dari kaum imperialis ternyata sangat menyakitkan.
Dengan tekat menjadi diri sendiri demi tergapainya kebahagiaan, satu bangsa, satu bahasa, dan satu tumpah darah, adalah cambuk kecil untuk menyadarkan semua lapisan masyarakat, bahwa kita harus mandiri, menjadi diri sendiri, dan bahagia.
Penangkal Radikalisme
Dengan begitu, radikalisme dan segala turunannya adalah penyakit neurosis, yakni penyakit yang tidak menjadikan manusia menjadi dirinya sendiri. Penyakit ini tentu harus ditanggulangi secara cepat dan cermat. Sebab, radikalisme bukan hanya menjadikan manusia teralienasi, melainkan juga membuat manusia tidak bisa menggapai masa depannya.
Sikap intoleran sebagai bibit awal radikalisme sejatinya muncul bukan dari otentisitas manusia. Ia muncul sebab ada faktor luar. Faktor luar itu bisa jadi doktrin agama, pengajian, ceramah ustad, kebijakan negara, kondisi sosial-politik, yang membuat manusia tidak bisa menghargai manusia lain. Tidak menghargai manusia lain bukan cerminan dari otentisitas manusia.
Ajaran radikalisme bertolak belakang dengan otentisitas manusia. Radikalisme mengajarkan sikap tertutup, efeknya tidak ada kreativitas. Radikalisme menanamkan sikap anti-kebinekaan, akibatnya manusia menjadi terisolasi. Radikalisme pada tahap yang ekstrem terjerumus pada tindakan kekerasan, teror, menyebar ketakutan, dan pengeboman, konsekuensinya manusia mengorbankan dirinya untuk hal-hal yang sia-sia.
Doktrin radikalisme untuk menjadi orang seperti ini dan seperti itu, tidak mungkin bisa menciptakan kebahagiaan sejati. Meskipun para teroris mendaku, bahwa para jihadis yang mati melakukan tugas bomo bunuh diri disebut syuhada, nantinya masuk surga dan mendapat imbalan tak terhingga, itu adalah omong-kosong.
Kebahagiaan yang dinarasikan kaum radikalis-teroris itu adalah kebahagiaan palsu. Sebab, bagaimana mungkin kita bahagia dengan merenggut kebahagiaan orang lain. Membunuh, menebar ketakutan, membuat hura-hara, pengeboman adalah sederet tindakan yang merenggut kebahagiaan orang lain.
Berani menjadi diri sendiri, baik sebagai bangsa, sebagai anak manusia, maupun sebagai anggota keluarga, adalah sumber kebahagiaan sejati.
“Ikuti kata hatimu!” begitu ungkapan terkenal Nabi. Sebab di sanalah sumber kebahagiaan sejati. Para pelaku teror, kaum intoleran, adalah manusia-manusia yang tidak bisa menguti suara hati mereka sendiri. Mereka lebih suka mengikuti bisikan dan suara dari luar.
Tidak ada cara paling efektif untuk menangkal radikalisme selain kembali kepada otentisitas diri manusia. Yakni menjadi pemuda yang mengikuti hati nuraninya demi terwujudnya kebahagiaan sejati. Para pemuda 91 tahun yang lalu sudah membuktikan, bahwa mereka bisa menjadi diri mereka sendiri. Sikap ini pada akhirnya melahirkan kebahagiaan sejati, yakni kemerdekaan negeri ini dari belenggu pihak lain.
Saat ini tugas para pemuda adalah terlepas dari belenggu radikalisme. Kembali kepada jati diri bangsa. Tidak mau disetir oleh pihak luar yang bertentangan dengan hati nurani. Jika ada refleksi yang paling pas untuk memperingati Hari Sumpah Pemuda 2019, refleksi itu adalah: “Mari kita menjadi pemuda otentik!”