Peralihan teknologi analog ke digital berpengaruh ke seluruh lini kehidupan, termasuk aktivitas dakwah. Di era analog, dakwah dilakukan melalui platformmedia dan teknologi yang sederhana. Dai mendatangi jamaahnya untuk mendakwahkan Islam. Di era analog, dakwah umumnya dilakukan oleh figur yang benar-benar pantas menyandang gelar dai. Yakni mereka yang berfigur kharismatik, ‘alim, dan memiliki tingkat ketakwaan dan kesalehan tinggi.
Mereka umumnya ialah kiai atau ulama yang memimpin pesantren. Sosok dai seperti ini jelas memiliki rekam jejak dan latar belakang yang tidak diragukan. Mereka lahir dari keluarga kiai, dibesarkan di lingkungan pesantren, besar dan tumbuh dengan tradisi pembelajaran keagamaan yang ketat dan kelak mewarisi ilmu dan kharisma keulamaan dari leluhurnya. Martin van Bruinessen dalam bukunya Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat menyebut setidaknya tiga syarat untuk bisa disebut ulama atau kiai di Indonesia.
Pertama, menguasai Bahasa Arab dan dapat menelaah kitab kuning yang merupakan referensi penting dalam khazanah keilmuan Islam Nusantara. Kedua, memiliki silsilah atau nasab dari keluarga kiai atawa ulama. Jika pun tidak, biasanya kiai atau ulama dulunya merupakan santri dari kalangan keluarga biasa yang diambil menantu oleh kiai. Terakhir, kemampuan menguasai ilmu spiritual dan supranatural yang berhubungan dengan hal metafisik. Kemampuan ini menjadi semacam legitimasi dan validasi atas status keulamaan dan kekiaian.
Belakangan, ketika teknologi bergeser ke digital, praktik dakwah pun mengalami pergeseran. Dakwah Islam pun mau tidak mau harus merambah ranah digital. Beralihnya dakwah ke platform digital ini ternyata membawa sejumlah konsekuensi. Salah satunya ialah munculnya fenomena yang diistilahkan oleh Gary R. Bunt sebagai dakwah Islam virtual oleh ustaz “digital friendly”. Dakwah di ranah digital memang beda dengan dakwah di ranah analog yang mengandalkan pola komunikasi sederhana dan searah. Di ranah digital, komunikasi dimungkinkan terjadi lebih dari dua arah, lantaran setiap individu saling terhubung dalam sebuah jaringan (online).
Pola dakwah pun lantas menyesuaikan karakter media digital yang dinamis dan lebih menonjolkan sisi pencitraan ketimbang esensi. Puncak perubahan dakwah dari analog ke digital itu ialah lahirnya para dai yang lebih mengandalkan popularitas, penampilan menarik, gaya komunikasi yang simpatik serta retorika keagamaan yang ramah pada kebutuhan publik. Inilah tipe ustaz sebagaimana disebut Bunt di atas sebagai ustaz digital friendly, yakni para pendakwah yang memahami betul karakter jamaah di media digital dan mampu membaca pola serta algoritma media digital sehingga mereka bisa menjangkau sebanyak mungkin jamaah. Fenomena munculnya para ustaz digital friendly yang mengandalkan popularitas ketimbang intelektualitas ini bukan tidak menyisakan residu persoalan.
James B. Hoesterey dalam makalah berjudul “Phropetic Cosmopolitanism: Islam, Pop Psychology and Civic Virtue in Indonesia” menyebut setidaknya tiga persoalan akibat fenomena ustaz populer tersebut. Pertama, munculnya dakwah yang menyajikan retorika keagamaan dangkal dan tidak sesuai dengan esensi Islam yang sesungguhnya. Hal ini terjadi lantaran para ustaz yang populer di media digital itu sebenarnya tidak memiliki pengetahuan Islam yang mumpuni. Sebagian besar dari mereka bahkan tidak pernah mengecap pendidikan Islam. Menjadi wajar jika banyak ustaz yang populer di media digital tidak lancar membaca Al Quran, salah mengutip hadist dan tidak memahami kitab-kitab klasik.
Kedua, munculnya dakwah Islam berkarakter konservatif, yang yang mengajarkan corak keislaman yang intoleran dan anti pada pluralitas budaya, suku, dan agama. Dakwah yang mengusung paradigma eksklusivisme ini banyak berkembang di media digital, karena para ustaz yang populer di media digital sebagian besarnya memang memiliki pandangan keislaman konservatif. Alhasil, dakwah di ranah digital didominasi oleh wajah Islam yang eksklusif dan intoleran sehingga kerap memicu kontroversi, meresahkan bahkan memecah belah masyarakat. Ketiga, munculnya dakwah yang bertentangan dengan prinsip keindonesiaan. Hal ini tampak pada maraknya ustaz di media digital yang rajin mengampanyekan sistem khilafah dalam ceramahnya. Propaganda khilafah dengan membajak mimbar dakwah di ranah digital ini telah menjadi ancaman bagi ketahanan bangsa dan negara.
Mengembalikan Ruang Dakwah yang Mencerdaskan
Disinilah pentingnya melakukan kaderisasi dai moderat. Kaderisasi merupakan proses pemberian nilai melalui sebuah institusi. Selain sebagai proses, kaderisasi juga merupakan sebuah sistem integral yang meliputi rekrutmen, pembinaan, pengkaryaan, penjagaan dan pemetaan. Sedangkan moderat bisa didefinikan dari sejumlah sisi.
Pertama, moderat dari segi pemahaman keislaman, yakni mampu menerjemahkan Islam secara kontekstual dan rasional sehingga relevan dengan situasi masyarakat Indonesia yang plural. Kedua, dari sisi kemampuan memaksimalkan media digital sebagai platform dakwah. Di era modern-lanjut ini, kecakapan menguasai materi dakwah saja tidak cukup. Seorang dai juga wajib menguasai karakteristik pengguna media digital sekaligus memahami pola serta algoritmanya. Terakhir, terma moderat juga bisa dipahami dari sisi pandangan keagamaan yang ramah pada perbedaan dan berkomitmen setia pada nilai-nilai kebangsaan.
Kaderisasi dai moderat urgen dilakukan untuk melahirkan dai yang tidak hanya digital friendly, namun juga berpandangan moderat dan memiliki wawasan kebangsaan. Untuk mewujudkannya, pemerintah perlu menjalin sinergi berkelanjutan dengan lembaga-lembaga pendidikan Islam, baik formal (sekolah atau perguruan tinggi) maupun semi-formal (pesantren). Pesantren yang sebagian besar berafiliasi dengan NU selama ini banyak menghasilkan dai dengan kualitas keilmuan yang mumpuni dan komitmen kebangsaan yang tidak diragukan.
Sayangnya, kebanyakan dai dari pesantren kurang bisa beradaptasi dengan media digital. Problem klasik ini perlahan mulai bisa teratasi dengan banyaknya kiai muda berlatar NU yang menjadi idola baru di jagad media digital. Untuk menyebut beberapa nama antara lain Gus Nadirsyah Hosen, Gus Bahaudin Nursalim dan Gus Ulil Abshar Abdalla. Ketiganya mampu memenuhi syarat tiga variabel sebagai dari moderat, yakni memiliki keilmuan Islam yang mendalam, berpadangan inklusif dan berwawasan kebangsaan serta bisa diterima oleh kalangan milenial yang akrab dengan media digital.
Dari lingkup perguruan tinggi islam baik negeri maupun swasta, problemnya ialah kurang membuminya gagasan para intelektual Islam. Gagasan mereka cenderung eksklusif dan hanya bisa dicerna oleh kalangan kelas menengah terdidik yang akrab dengan wacana-wacana akademik. Akibatnya, mereka kerap tersisih dari kontestasi dakwah Islam. Padahal, idealnya para intelektual Islam jebolan universitas itu bisa menyederhanakan pandangan-pandangannya agar lebih menjangkau khalayak luas. Dalam konteks ini, dai tentunya tidak harus dimakani secara sempit sebagai penceramah agama, namun bisa juga dimaknai sebagai opinion maker dalam konteks keagamaan.
Kaderisasi tentu merupakan solusi jangka panjang dari problem dakwah di media digital. Dalam konteks solusi jangka pendek, sudah kita sepatutnya mendukung program pemerintah dalam melakukan standarirasi dan sertifikasi dai. Standarisasi dan sertifikasi dai diperlukan untuk menata kembali ruang dakwah keislaman kita yang mulai ternodai oleh oknum-oknum yang menunggangi agama demi kepentingan pribadi dan kelompoknya. Standarisasi dan sertifikasi ulama atau dai juga diperlukan untuk memastikan aktivitas dakwah berada dalam koridor keislaman washatiyah (moderat), rahmatan lil alamin (universal) dan berorientasi pada prinsip kebangsaan.