Masyarakat Indonesia dalam banyak hal bisa dikategorikan sebagai “plural society”. Jika merujuk pada definisi J. S. Furnivall (2003), konsep plural society ialah sebuah tatanan sosial-kemasyarakatan yang heterogen alias beragam dari sisi ras, etnis, suku, agama, dan budaya. Kondisi plural society ini menurut Furnivall selalu memiliki dua sisi yang kontradiktif.
Di satu sisi, pluralitas dalam masyarakat bisa menjadi modal penting dalam melakukan perubahan atau transformasi sosial. Keragaman masyarakat ialah kekuatan utama untuk mewujudkan cita-cita kolektif. Dengan catatan, kita bisa memaksimalkan keragaman itu menjadi satu kekuatan.
Di sisi lain, keragaman dalam masyarakat juga bisa menghadirkan ancaman serius berupa perpecahan dan permusuhan. Dalam konteks ini, keragaman justru akan menjadi batu sandungan atau bahkan halangan bagi perubahan atau kemajuan sosial.
Sebagai negara plural society, Indonesia kiranya tidak lepas dari persoalan tersebut. Selama ini, pluralitas sosial kita masih tersandera oleh setidaknya dua persoalan besar. Pertama, adanya sentimen tribalisme yakni fanatisme pada identitas kesukuan. Merasa bahwa suku tertentu lebih unggul dan harus mendapat previlese ketimbang suku lain.
Nalar tribalisme inilah yang melatari munculnya segregasi sosial berbasis sentimen kesukuan yang tidak jarang berakhir menjadi konflik horisontal. Fenomena konflik sosial berbasis sentimen kesukuan ini pernah melanda sejumlah wilayah Indonesia di awal era Reformasi. Catatan kelam ini tentu tidak boleh terulang di masa depan.
Reproduksi Rasisme Terhadap Entis China
Kedua, masih kuatnya sindrom etnosetrisme yakni pandangan yang memandang tinggi etnis dan budaya sendiri sembari merendahkan kebudayaan etnis lain. Sindrom etnosentrisme ini biasanya muncul karena adanya perbedaan identitas fisik seperti warna kulit, bentuk wajah, tipe rambut dan sejenisnya sampai perbedaan budaya seperti bahasa, kebiasaan, dan tentunya agama.
Sindrom etnosentrisme merupakan persoalan serius dalam sebuah plural society. Pola pikir dan perilaku yang mengagungkan kelompok sendiri sembari merendahkan kelompok lain merupakan akar dari munculnya diskriminasi dan kekerasan berbasis etnis serta ras. Di Indonesia, sindrom etnosentrisme ini salah satunya mewujud ke fenomena sentimen anti-China yang langgeng sejak era pra-kolonial sampai sekarang.
Kebencian rasial terhadap etnis China merupakan sindrom etnosentrisme yang diwariskan dari generasi ke generasi. Rasisme yang menyasar etnis China seolah terus direproduksi dan didaur ulang oleh kelompok tertentu dengan beragam motif. Belakangan, sentimen anti-China ini kian menguat dengan bangkitnya politik identitas.
Dari uraian singkat di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa kondisi mengelola plural society bukanlah hal mudah. Jika meminjam analisa filosof Karl R. Popper, plural society akan terjaga manakala masyarakatnya menerapkan open society alias masyarakat terbuka. Apa itu masyarakat terbuka?
Dalam definisi Popper, open society adalah masyarakat yang menjunjung kesetaraan, keterbukaan pendapat, dan menentang segala bentuk ketidakadilan dan otoritarianisme. Gagasan open society ini sejalan dengan prinsip hak asasi manusia dan demokrasi dimana setiap individu memiliki kebebasan atas dirinya tanpa dibayangi oleh praktik diskriminasi, intimidasi, apalagi persekusi.
Bagaimana Mewujudkan Masyarakat Terbuka?
Konsep masyarakat terbuka ini kiranya relevan diterapkan di Indonesia yang multietnis dan multireliji. Setidaknya ada empat langkah untuk mewujudkan gagasan open society ala Popper ini. Pertama, negara harus hadir melalui regulasi atau undang-undang yang menjamin terpenuhinya hak dan kebebasan setiap kelompok etnis. Di titik ini, keberpihakan negara untuk menjamin rasa aman dan adil bagi tiap-tiap etnis ialah hal mutlak.
Di satu sisi, negara harus menunjukkan komitmen dan keberpihakannya pada pemenuhan hak asasi manusia tanpa melihat latar belakangnya. Di sisi lain, negara juga harus tegas dalam menindak siapa pun yang bertindak diskriminatif dan intoleran pada kelompok yang berbeda.
Kedua, membuka seluas mungkin ruang publik yang bebas, komunikatif, dan partisipatif. Keberadaan ruang publik itu akan menjadi semacam melting point yang mempertemukan dan meleburkan beragam identitas yang berbeda. Dengan adanya ruang publik ini, diharapkan terjadi proses asimilasi dan hibridasi identitas. Sehingga sekat-sekat rasial dan etnisitas itu bisa diminimalisasikan.
Ketiga, membangun imajinasi kolektif atau cita-cita bersama yang menyatukan kelompok masyarakat yang berbeda. Munculnya imajinasi kolektif atau cita-cita bersama ini penting agar masyarakat tidak fokus mencari perbedaan namun sibuk dalam membangun sinergi dan kerjasama. Adanya cita-cita bersama ini juga membuat masyarakat yang plural tidak mudah dibenturkan oleh kepentingan tertentu.
Keempat, mengembangkan budaya inklusivisme dan pluralism yakni sikap keterbukaan dan kesediaan dalam menerima perbedaan baik itu etnis, suku, ras, maupun agama. Sikap inklusif dan pluralis bukan sekadar toleransi palsu yang muncul di permukaan. Namun, komitmen untuk mau mengenal dan memberikan ruang yang setara bagi kelompok yang berbeda tanpa dibayangi oleh relasi mayoritas-minoritas.
Dengan terwujudnya open society kita patut optimistik bisa menghapus praktik sentimen kebencian rasial. Termasuk yang menyasar pada kelompok etnis China. Sehingga ke depan, tidak ada lagi diskriminasi, intimidasi, dan persekusi terhadap kelompok etnis China di Indonesia. Semoga!