“Agama ya Agama, Politik ya Politik.”Dua barang ini berbeda. Agama (dīn) bersifat sakral dan suci karena datang dari langit, sedangkan politik (siyāsah) bersifat profan, yang oleh sebagian orang dianggap penuh dengan intrik dan tipu daya. Mencampuradukkan keduanya merupakan perilaku yang kurang bijak.
Presiden Joko Widodo sudah menyampaikan pesan itu secara gamblang pada saat meresmikan Tugu Titik Nol Peradaban Islam Nusantara di Kecamatan Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, Jumat (24/3) lalu. “Dipisah betul, sehingga rakyat tahu yang mana yang agama, mana yang politik”. Kata Jokowi.
Pernyataan Presiden Indonesia ke-7 itu kontan saja menuai tanggapan beragam dari kalangan muslim, tokoh agama dan pengamat. Bagi yang kontra, itu dianggap sekular-liberal atau radikalisme sekuler, karena melarang agama ikut serta dalam politik. Bagi sebagian lain, pernyataan Presiden itu dianggap sebagai bentuk larangan politisasi agama untuk mencapai tujuan-tujuan kekuasaan yang justru mencederai nilai-nilai agama itu sendiri.
Kalau kita mau jujur, kegelisahan Presiden Joko Widodo atas situasi kebangsaan akhir-akhir ini merupakan warning atas perilaku umat dan sekelompok—meminjam istilah Buya Syafii Maarif—“preman berjubah” yang acap kali mencampuradukkan urusan agama dengan politik, terutama dalam konteks Pilkada DKI Jakarta, ditambah lagi pernyataan kontroversi Basuki Tjahaja Purnama di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, pada 27 September 2016 lalu, yang mengutip surat Al-Maidah ayat 51,—menjadi pemicu atas lahirnya berbagai aksi yang mengusung tema agama dan politik, mulai dari aksi 14 Oktober 2016, yang dikomandoi Habib Riziq Syihab dari FPI, “Aksi Damai 411”, “Aksi Damai 212”, “Aksi Bela Islam IV”, hingga “Aksi 313”, adalah bentuk nyata bahwa agama menjadi komoditas politik.
Ketika agama menjadi komoditas politik, maka benturan berjangka pendek tak dapat dihindari serta dapat menggoyahkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, karena masyarakat lebih suka menonjolkan identitas kelompok keagamaan, bukan lagi pada tujuan-tujuan bersama yang lebih produktif.
Fenomena semacam itu bukan hanya terjadi di dunia modern saat ini. Sejarah membuktikan, selang dua dasawarsa setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, perebutan kekuasaan yang ditopang dengan tumpah-ruah berbagai dalil yang dikutip melahirkan perang di antara kader inti Nabi sendiri, mulai Aisyah, Ali bin Abi Thalib, Muawiyah dan sebagainya. Menurut Buya Syafii Maarif, banyak unsur dari Islam sekarang ini merupakan hasil pertikaian elit politik Arab pada masa awal Islam. Berkat mereka sejarah awal Islam dipenuhi oleh bercak darah. (rimanews.com.24/3).
Dalam sejarah Kristen yang merentang dalam kurun waktu 2000 tahun lamanya juga memperlihatkan hal yang sama. Alexis de Tocqueville mencatat bahwa politisasi agama secara berlebihan di Eropa justru menimbulkan bencana. Orang-orang mulai muak dan gerah atas perilaku politisi dari kalangan pemuka agama yang menempatkan kepentingan duniawi secara berlebihan. (St. Sularto, (ed.), 2011, h. 261-262).
Kini, pada tahun 2016 lalu, 2017, 2018 (baca: Pilkada serentak) mendatang, bahkan mungkin pada Pilpres 2019, persaingan antar politisi dan pendukungnya di Republik ini tak ubahnya seperti taktik Niccolo Machiavelli (1469-1527), yang tak lagi mengindahkan mana wilayah agama dan mana wilayah politik. Para “pedagang” agama dan politik inipun rajin konsolidasi demi meraih dukungan dengan menghalalkan segara cara sembari berlindung di balik dalil suci untuk mendukung pendapat, argumen, pilihan dan sikap mereka. Sumanto Al Qurtuby (SP, 14/2/03), menengarai bahwa slogan: “agama dan politik dalam Islam adalah tak terpisahkan” hanya digunakan untuk menipu umat Islam sendiri.
Pada titik ini, hemat saya agama dan politik harus dipisah, dan perdebatan keduanya itu sesungguhnya sudah diselesaikan oleh parafounding fathers kita. (Baca: Sukarno Vs M. Natsir). John Stuart Mill (1806-1873) pada tahun 1861 juga telah mengingatkan kita bahwa mencampuradukkan agama dan politik itu bahaya. Jauh sebelumnya, John Locke (1632-1704) secara tegas menolak pencampuradukkan otoritas Tuhan dengan otoritas Manusia. Jean-Jacques Rousseau (1712-1778) juga secara tandas menyatakan bahwa jika setiap saat kita benar-benar sanggup membaca kehendak Tuhan, hukum dan pemerintahan tak diperlukan lagi. (St. Sularto, h. 260).
Kisah lain di belahan dunia tentang pemanfaatan simbol agama sebagai komoditas politik sejak zaman Mesir Kuno hingga era modern ini justru hanya membawa malapetaka. Berlindung di balik doktrin-doktrin suci membuat masyarakat awam cenderung terlena dengan jargon-jargon agama itu sendiri. Jika hal ini dibiarkan berkembang biak, bukan tidak mungkin peradaban NKRI akan mengalami nasib yang sama.
Peran Agama (Islam)
Peran dan kontribusi besar Islam terhadap pembentukan nasionalisme keindonesiaa sudah pasti tak terbantahkan. Michael Francis Laffan, dalam Islamic Nationhood and Colonial Indonesia, the Umma below the Winds, mengungkapkan bahwa nasionalisme dimotori oleh gerakan-gerakan Islam progresif yang mendorong semangat kebangsaan, baik dalam ranah kontra-penjajahan maupun pro-keindonesiaan. (Laffan, 2003, h. 3). Senada dengan itu, Bahtiar Effendy juga menyatakan bahwa Islam Indonesia berfungsi sebagai mata rantai yang menyatukan rasa persatuan nasional dalam menentang kolonialisme. (Bahtiar Effendy, 1998, h. 63).
Berpijak pada pandangan Laffan dan Bahtiar di atas, tak dapat diragukan lagi bahwa Islam menjadi motor penggerak atas pembentukan nasionalisme Indonesia. Islam sejak ratusan tahun lalu—meminjam istilah Lukman Hakim Saifuddin—dipraktekkan dengan pendekatan promotif sebagai alat untuk menjaga kebhinekaan, bukan dengan pendekatan konfrontatif, seperti yang dilakukan oleh kelompok “sumbu pendek” yang “memaksa” Tuhan untuk berpihak pada diri dan kelompoknya.
Pernyataan Presiden Joko Widodo sudah jelas terang benderang bahwa agama dan politik wajib dipisah. Pemisahan ini sudah barang tentu tak ada maksud untuk menolak peran agama dalam politik, apalagi disebut sekularistik. Hemat saya, Presiden itu menginginkan agama sebagai pondasi dasar bagi masyarakat untuk menyemai semangat penegakkan keadilan, kebenaran, persamaan, kebebasan dan keberpihakan terhadap kelompok-kelompok marginal yang tertindas.
Prinsip ini sejalan dengan petunjuk-petunjuk pokok yang termaktub dalam al-Qur’an, seperti prinsip Syura (3:159, 42:38), prinsip Keadilan (5:8), prinsip Kebebasan Bersuara dan Berpendapat (27:64, 16:125), prinsip Persamaan (49:13) dan Pertanggungjawaban pemimpin (3:104). Di samping ratusan hadits yang menjelaskan banyak perkara yang berkaitan dengan politik.
Robert N. Bellah, seorang ahli sosiologi agama terkemuka mengungkapkan bahwa Nabi Muhammad SAW. telah memprakarsai dan berhasil membangun Negara Paripurna, yaitu Negara Madīnah dengan menyebut; “a better model for modern national community building than might be imagined” (suatu contoh bangunan komunitas nasional modern yang lebih baik dari yang dapat dibayangkan). Komunitas itu disebut “modern” karena adanya keterbukaan bagi banyak suku dan agama, mulai dari Islam, Kristen, dan Yahudi dalam satu-kesatuan bangsa atau ummatan al-wahidah. (Nurcholish Madjid, 2000, h. 559).
Dalam konteks Indonesia, para founding fatherskita juga telah berhasil menempatkan nilai-nilai universal dalam setiap agama dan kepercayaan sebagai pondasi dasar dan spirit perjuangan, bukan memposisikan agama sebagai barang dagangan. Cita-cita agama yang terkandung dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi oleh para pendiri negara diinternalisasikan ke dalam ideologi negara,—atau dalam bahasa Bung Hatta dikenal,—politik garam: terasa tapi tak kelihatan, bukan politik gincu: kelihatan tapi tak terasa, yaitu Pancasila sebagaikalimatin sawa—common ground.Wallahu A’lam bi al-Shawab.