Diakui atau tidak, ada hubungan erat antara agama dan perilaku umat beragama. Di satu sisi, ajaran agama manapun menjunjung tinggi sikap egalitarianisme dan tidak akan menafikan kemanusiaan. Bahwa semua manusia itu berderajat sama sebagai manusia serta berhak dihargai dan diperlakukan selayaknya sesama manusia (baca: makhluk ciptaan Tuhan) tanpa terkecuali terlepas dari status sosial yang melekat padanya. Yang membedakan hanyalan tingkat ketakwaan kepada Tuhan. Akan tetapi, di sisi lain, kontekstualisasi agama dalam laku sehari-hari adalah sejauh umat beragama memahami agama yang dipeluknya. Artinya, terdapat celah besar antara agama dan umat pemeluk agama, sehingga bias disalahgunakan.
Mengenai ini, tak ayal J Mayer mengingatkan kita, betapa mudah agama dipolitisasi oleh kepentingan politik kekuasaan semata-mata dengan mereduksi makna terdalam nilai-nilai agama, membebaskan manusia dari kekerasan, ketamakan, dan kerakusaan. Tak ayal, hari-hari ini semenjak riuh politisisasi agama mewarnai jagad nusantara, spirit agama kehilangan tajinya. Egalitarianisme agama pun hilang. Semua dibeda-bedakan. Spirit toleransi pun lambat laun luntur dari diri umat beragama.
Akibat perilaku umat beragama, agama hari ini bukan lagi menawarkan aroma-aroma surga, justru hanya ada siksa yang pedih bagi para pemeluk agama yang memiliki keyakinan mereka sendiri. Agama menimbulkan realitas yang timpang. Tak heran, Karl Max sampai pada kesimpulan bahwa agama adalah candu (religion is opium). Yang tentu saja, apa yang diungkapkan Karl Max ini akan menyakiti hati setiap umat beragama. Akan tetapi, itulah yang benar-benar terjadi. Agama menjadi penyebab dari seluruh ketidakmampuan manusia menghadapi kehidupannya. Agama hanya akan menjadi bentuk wajah suram peradaban manusia modern.
Kenyataan ini merupakan bentuk refleksi atas kegagalan peran agama dalam memberikan jawaban terhadap persoalan kemanusiaan yang seringkali terlalu bersifat dogmatis, kurang mencerminkan pemecahan masalah (problem solving) sebagaimana diharapkan oleh masyarakat. Sebut saja, spirit toleransi. Di satu sisi, agama memberikan ruang seluas-luasnya untuk menerapkan sikap toleran, akan tetapi ada dogma lain yang menyatakan bahwa toleransi tidak diperbolehkan. Misalnya, memerangi orang-orang kafir dalam doktrin agama Islam. Ironinya, kaum radikalis dan orang-orang yang berkepentingan memecah-belah bangsa lebih masif menggaungkan doktrin ini dibandingkan dontrin toleransi yang sebenarnya lebih relevan dalam konteks NKRI yang binneka.
Baca Juga :Islamisme dan Paradigma Kemanusiaan Ali bin Abi Thalib
Karenanya, R. Scott Appleby dalam The Ambivalence of the Sacred, Religion, Violence, and Reconciliation (2000), mencatat adanya ambiguitas fungsi agama. Agama, pada satu sisi bisa menghasilkan nilai-nilai humanistis, toleran, inklusif, keadilan, keselamatan, kesejahteraan, cinta kasih, dan perdamaian. Namun di sisi yang lain, agama terlihat arogansi yang membuahkan otoritarianisme, kekerasan, penindasan, konflik, bahkan peperangan, seakan telah melekat pada citra agama.
Lahirnya islamofobia dan tindakan radikal-terorisme yang mengancam kebhinnekaan NKRI akhir-akhir ini adalah bukti konkret dari wajah arogansi agama. Agama seakan-akan mengandung unsur kebencian, sumber konflik, peperangan, bahkan pembantaian atas komunitas lain (the others). Bahkan tidak jarang, agama justru menjadi penghalang bagi kemajuan peradaban umat manusia.
Dari narasi-narasi tersebut, jelas bahwa yang hilang dari cara beragama kita adalah spirit egalitarianisme. Padahal, Nabi Muhammad SAW telah bertitah, agama berfungsi sebagai pembina sekaligus penyempurna akhlak dan moral manusia. Yang ujungnya adalah, terbentuknya masyarakat yang toleran, saling menghargai dan memanusiakan, serta terwujudnya masyarakat beradab sebagaimana yang pernah diciptakan Rasulullah di Kota Madinah.
Maka itu, agama jangan hanya dimengerti sebagai ritus belaka dan berorientasi pada dogma an sich. Yang pada akhirnya, pemeluk agama hanya akan sekadar beragama secara formal dan fanatis. Ini membuat pemeluk agama menjadi picik dan mudah disulut konflik karena perbedaan.
Selama ini cara kita beragama masih terlalu fokus menjalankan kewajiban persembahan tanpa menuniakan penghargaan hak-hak manusia lainnya. Padahal, sejatinya penghayatan ritualistik ini melahirkan nilai keimanan yang kurang terwujud. Karena itulah perubahan orientasi keagamaan seharusnya pula menitikberatkan pada nilai-nilai kemanusiaan. Bukan hanya ritual vertikal kepada Tuhan, tapi tidak ramah kepada sesama.
Dialog kemanusiaan ini akan membantu umat beragama memiliki kesadaran religiusitas yang berkualitas. Kualitas religiusitas inilah yang membawa nilai-nilai kemanusiaan semakin adil dan beradab. Tidak ada ketimpangan. Solidaritas sosial yang universal dapat terwujud sehingga melampaui identitas agama, etnis, ras dan suku bangsa.
Hanya saja, kondisi ini hanya akan terwujud bila umat beragama tidak terkurung dalam polemik yang hanya mempersoalkan perbedaan ajaran saja. Karenanya, umat beragama harus berani meninggalkan egoisme dengan cara membangun komitmen prinsip kesetaraan dalam kemanusiaan. Yakni, beragama dengan menjunjung tinggi rasa belas kasih yang tidak memandang agama, suku, ras, maupun golongan. Wallahu a’lam.