Politik Identitas; Ancaman Kebinekaan Indonesia

Politik Identitas; Ancaman Kebinekaan Indonesia

- in Narasi
1172
0
Politik Identitas; Ancaman Kebinekaan Indonesia

Selain kaya akan sumber daya alam, Indonesia juga dikenal memiliki kekayaan sosial, berupa keanekaragaman suku, bahasa, budaya dan tentunya agama. Bayangkan, negeri sebesar Indonesia yang luas wilayahnya membentang dari ujung pulau Sumatera hingga Papua. Di dalamnya terdapat 714 suku bangsa dan 1. 001 bahasa daerah. Juga ragam budaya dan agama yang berbeda satu sama lain. Berpuluh tahun lamanya kita hidup dalam satu tenda besar bernama Indonesia yang ditopang oleh ideologi Pancasila dan semboyan Bineka Tunggal Ika; berbeda-beda tetapi tetap satu.

Namun, multikulturalisme dan pluralitas agama itu belakangan mulai terancam oleh maraknya gerakan yang mengarah pada kecenderungan eksklusivisme. Pasca Orde Baru, ruang publik kita diwarnai oleh munculnya gagasan dan gerakan yang secara prinsipil dan ideologis bertentangan dengan spirit kebinekaan Indonesia. Dimulai dari munculnya gerakan-gerakan separatisme yang muncul sesaat setelah Orde Baru berakhir.

Lalu disusul oleh munculnya gerakan islamisme yang menuntut diberlakukannya syariah Islam di Indonesia. Fenomena islamisme ini membuahkan hasil pada munculnya berbagai peraturan daerah berbasis hukum Islam atau dikenal dengan sebutan “Perda Syariah”. Terakhir, selama lima tahun belakangan ini, kita juga dihadapkan pada maraknya praktik politik identitas, baik di level politik daerah maupun pusat.

Kecenderungan membawa sentimen suku, agama dan ras (SARA) ke dalam pertarungan politik kian menguat akhir-akhir ini. Sejumlah pihak, terutama elite politik yang berambisi pada kekuasaan tidak segan membawa isu SARA untuk menarik simpati pemilih sekaligus menjatuhkan lawan politiknya.

Politik identitas, dalam perkembangannya telah melahirkan berbagai macam persoalan mulai dari munculnya polarisasi politik, hingga yang paling parah ialah hilangnya sense of plurality di tengah masyarakat. Publik seolah lupa bahwa Indonesia terdiri atas entitas yang beragam. Fanatisme politik yang berkait-kelindan dengan sentimen identitas membuat sebagian besar masyarakat berperilaku intoleran pada kelompok yang tidak sehaluan politik.

Politik (yang) Memecah-Belah

Jika dilacak dari perspektif sejarah, lema politik identitas sebenarnya tidak selalu berkonotasi negatif. Istilah ini dikenal pertama kali ketika dipakai oleh L. A. Kauffman untuk menyebut gerakan the Student Non-violent Coordinating Committee (SNCC). Yakni sebuah gerakan menuntut hak-hak sipil di Amerika Serikat yang dimotori mahasiswa di era 1970-an. Secara subtantif, politik identitas ialah perjuangan kelompok yang merasa tersingkir dan tertindas oleh dominasi kelompok besar (arus-utama) dalam sebuah negara.

Baca Juga :Meminimalisir Politik Identitas untuk Keutuhan NKRI

Di Amerika Serikat tahun 1970-an, politik identitas menjadi semacam alat perjuangan kelompok minoritas untuk menentang dominasi kelompok mayoritas. Isu yang diangkat kala itu ialah isu perbedaan etnis yang memang tengah menjadi sumber ketidakadilan di AS. Politik pembedaan warna kulit yang diskriminatif memaksa kaum kulit hitam melakukan perlawanan. Dalam perkembangannya, politik identitas mengalami perluasan makna. Isu yang diangkat pun tidak melulu soal perbedaan etnis, namun juga agama.

Membincangkan politik identitas dalam konteks Indonesia sekarang tentu berbeda dengan politik identitas yang pertama kali muncul di AS. Di Indonesia, khususnya selama lima tahun belakangan ini, politik identitas lebih diposisikan sebagai strategi politik untuk meraih kekuasaan dengan cara mengkapitalisasi sentimen perbedaan agama, suku dan ras. Contoh paling nyata dari politik identitas dapat kita lihat pada momen Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta tahun 2017 lalu.

Sejak awal, isu identitas agama dan ras kental mewarnai persaingan memperebutkan kursi gubernur paling prestitisius di Indonesia itu. Puncaknya, ketika salah satu kandidat tersandung kasus penistaan agama yang berujung ke pengadilan. Gelombang protes massa pun tidak dapat dihindarkan. Seruan-seruan untuk tidak memilih salah satu kandidat karena latar belakang ras dan agama santer digaungkan oleh pihak-pihak tertentu.

Narasi keagamaan yang dibalut nuansa politik pun membanjiri ruang publik. Mimbar-mimbar khutbah di rumah ibadah dibajak untuk kampanye politik. Ujaran kebencian, fitnah dan berita palsu yang berkaitan dengan SARA lalu lalang setiap hari di ruang publik kita. Alhasil, kontestasi Pilkada lima tahunan yang seharusnya menjadi bagian dari ritus demokrasi seolah-olah telah menjadi medan peperangan yang berurusan dengan hidup dan mati. Ironisnya, jika diamati lebih seksama, praktik politik identitas ternyata tidak hanya terjadi di Jakarta atau di level pusat saja. Nyaris di setiap penyelenggaraan Pemilu, Pilkada, Pilpres bahkan Pilkades, politik identitas dapat dipastikan tidak pernah absen.

Masifnya politik identitas itu lantas berdampak pada merenggangnya jalinan relasi sosial dan kebangsaan. Relasi sosial yang sebelumnya cenderung cair mulai membeku. Masyarakat berkelompok sesuai dengan afiliasi dan pilihan politiknya. Cilakanya, individu atau kelompok yang memiliki afiliasi dan pilihan politik yang berbeda dianggap sebagai musuh. Pola pikir yang demikian ini jelas mengacam kebinekaan Indonesia.

Menciptakan “Common Domain”

Melihat apa yang terjadi belakangan ini, tidak diragukan lagi bahwa politik identitas telah berdampak negatif dan destruktif bagi kebinekaan Indonesia. Kultur kekerasan demi memaksakan kehendak yang dipertontonkan sejumlah organisasi kemasyarakatan-keagamaan adalah ancaman nyata bagi persatuan dan kesatuan bangsa. Kondisi ini jelas tidak dapat ditoleransi. Mengingat keanekargamaan atau kebinekaan ialah kekayaan bangsa sekaligus modal sosial yang harus senantiasa dijaga.

Ke depannya kita jelas membutuhkan sebuah strategi sosial-politik untuk membendung dampak destruktif dari politik identitas. Pada titik inilah, relevan dan tepat kiranya untuk mengembangkan gagasan Christian Drake tentang common domain. Secara definitif, common domain dapat diartikan sebagai satu ruang bersama di mana masing-masing entitas dapat mengartikulasikan gagasan dan kepentingannya tanpa mengganggu entitas lain juga tidak mengancam pluralitas di dalam masyarakat itu sendiri.

Konsep common domain ala Drake ini relevan diterapkan dalam konteks bangsa atau negara yang multikultural dan multireliji seperti Indonesia. Untuk mewujudkan common domain itu, Drake menyebut setidaknya dua langkah. Pertama, membangun interaksi sosial antar entitas yang berbeda latar belakang agama dan budayanya. Interaksi ini dapat berupa dialog atau kerjasama dalam bidang pemberdayaan sosial. Kerjasama antar-entitas yang berbeda itu akan meluruhkan sekat-sekat perbedaan dan memudahkan proses integrasil sosial terjadi. Kedua, membangun kesadaran publik ihwal pentingnya komitmen untuk hidup bersama, berdampingan dalam kerangka kesetaraan meski masing-masing entitas memiliki perbedaan satu sama lain.

Dengan terciptanya common domain sebagaimana digagas oleh Drake tersebut, kebinekaan yang menjadi kekayaan Indonesia memungkinkan untuk terus dirawat. Dengan adanya common domain, publik memiliki mekanisme alamiah untuk menangkal segala macam provokasi yang berpotensi memecah belah, termasuk politik identitas yang belakangan ini marak. Ke depan, proses demokrasi dan politik praktis yang kita jalani idealnya tidak lagi mengobarkan realitas kemajemukan. Sebaliknya, mekanisme demokrasi dan politik idealnya didesain untuk memberikan ruang sekaligus melindungi kebinekaan Indonesia.

Facebook Comments