Corona, Jamu, dan Cinta Tanah Air

Corona, Jamu, dan Cinta Tanah Air

- in Narasi
1867
0

Jagad internasional tengah diguncang virus Corona. Persebaran kasus virus corona terus meluas ke berbagai negara di seluruh dunia, tanpa kecuali negeri Indonesia. Kepanikan pun tak terelakan setelah Presiden Joko Widodo secara resmi mengumumkan ada dua orang WNI positif terkena virus itu. Suasana makin gaduh dengan bersliweran berita sampah dan hoaks di media sosial. Juga tayangan televisi yang mengejar rating tanpa dilambari spirit pencerahan kepada publik.

Berani sumpah, di balik peristiwa virus Corona yang mengegerkan dunia itu, ternyata ada sisi positif menyeruak ke permukaan. Yakni, jutaan mata tertuju pada bakul jamu serta kekayaan alam Indonesia berupa empon-empon. Selama ini, kiprah bakul jamu jarang direken. Empon-empon bersama khasiatnya juga dilupakan meski ia mudah dijumpai di pasar tradisional. Contohnya, kencur, jahe, bangle, laos, kunir, daun katu, temulawak, puyang, dan temugiring. Kini, masyarakat Indonesia kontemporer mulai meliriknya kembali.

Profesi bakul jamu yang kian langka ini diberi “panggung” untuk diriwayatkan. Ingatan saya melayang pada dua dekade silam. Semasa kecil, bola mata saya melihat mereka bergaya bak pragawati. Hanya bedanya, pragawati melenggang memamerkan pakaian atau syal penuh pernak-pernik, tapi ia berjalan membungkuk sementara tangan membawa emper berisi air dan punggung dipenuhi botol-botol air beraneka warna. Dialah penjual jamu gendong. Saban hari, jalan puluhan kilometer disusurinya. Tapi dimana dia sekarang, jarang tampak di lorong-lorong perkotaan.

Periode 1980-an, banyak orang rindu kehadirannya. Selain menjajakan jamu sebagai minuman yang sehat dan menyegarkan badan, mereka tidak pelit membagikan pengetahuan dasar terhadap ibu-ibu perihal mengolah empon-empon guna membentengi kesehatan anggota keluarga dari serbuan penyakit. Berkat mereka, kuping kita tidak asing dengan nama-nama jamu. Ambillah contoh, cabe puyang, kunir asam, sinom, kudu laos, kunci suruh, pahitan, uyup-uyup dan lainnya.

Baca Juga : Lawan Mayoritasisme dengan Egalitarianisme!

Sosoknya digambarkan oleh budayawan Imam Budi Santoso (1999). Bahwa mbakyusi bakul jamu yang memang kebanyakan bertubuh sintal, berwajah lumayan, berkesan kenes, senantiasa berkain kebaya. Pernah pula mereka dituduh alias menjadi buah bibir di kalangan lelaki sebagai wanita yang bisa “dibeli”. Namun, hal itu hanyalah mitos belaka karena sulit dibuktikan.

Lekak-lekuk lorong kehidupan yang ditempuh bakul jamu gendong bukan main panjangnya. Tidak sedikit warga yang tinggal di selatan kampung saya, Kabupaten Sukoharjo, merantau berbekal pengelaman meracik embon-embon dan membuat jamu yang diwariskan lintas generasi. Saking banyaknya penduduk di Kecamatan Nguter yang menggantungkan hidup pada jamu, Kabupaten Sukoharjo dikukuhkan sebagai daerah pelestari jamu tradisional di Indonesia.

Saya teringat pula kisah kehebatan ibu Painem, penjual jamu gendong yang bersuamikan tentara. Ia emoh leha-leha di rumah, tetap ikut memeras keringat supaya asap dapur mengepulkan dan mempertahankan anaknya tetap duduk di bangku sekolah. Walau tak tamat sekolah dasar (SD), Painem menekankan anaknya mengeyam pendidikan setinggi mungkin. Kendati hasil dari jualan jamu tak seberapa, namun cukup membantu meringankan beban keluarga. Meski profesi penjual jamu gendong dipandang rendah dan sering dilecehkan pria yang suka iseng, ia tetap tegar. Dalam keluarga, ia memotivasi buah hatinya agar tidak minder bersekolah. Di matanya, kemiskinan bukan akhir segalanya, bukan kendala untuk meraih pendidikan setinggi-tingginya. Sungguh mengharukan, kini keenam anaknya berhasil menyandang gelar sarjana.

Masih ada Painem-painem di telatah Sukoharjo memaknai hidup dengan konsisten menjajakan jamu demi untuk menyekolahkan anaknya. Dalam perkara semangat, bolehlah mereka disejajarkan dengan perempuan pengusaha jamu berskala besar seperti Martha Tilaar dan Mooryati Soedibyo. Selain penjaga tradisi, para perempuan tersebut merupakan penjaga memori pengetahuan tentang aneka ramuan plus khasiatnya yang semula terekam lewat naskah klasik.

Jamu yang mereka jajakan menjadi bukti konkrit betapa tingginya tingkat kebudayaan Nusantara di masa lampau. Empon-empon yang sanggup mencegah virus Corona merupakan secuil bukti bahwa leluhur kita sudah selesai dengan perkara penyakit. Dalam diri mereka, mencuat pemikiran cerdas menyelesaikan masalah kesehatan dengan mendayagunakan bahan-bahan dari alam raya, tanpa bersusah-payah impor. Selama berabad-abad, kakek moyang menjalin hubungan harmonis dengan alam. Jamu senantiasa memakai bahan empon-empon yang semua tertanam di ladang dan pekarangan rumah. Inilah potret “apotek hidup” sebagai suatu kearifan lokal yang mulai punah belakangan ini. Kasus virus Corona harusnya membenihkan rasa bangga dan cinta terhadap Tanah Air yang menyimpan pengetahuan tentang jamu dan empon-empon. Seraya meredam kegaduhan, mestinya pemerintah getol kampanye jamu sebagai identitas nasional dan melestarikan empon-empon. Jamu asli Indonesia adalah minuman rakyat yang murah dan menyehatkan. Ironis jikalau kita mereken bakul jamu dan empon-empon hanya saat terjadinya gejolak penyakit saja.

Facebook Comments