Diakui atau tidak, kehidupan jurnalistik hari ini jauh berbeda dibanding dengan masa Orde Baru. Dulu, di samping kebebasan dikekang, juga perkembangan teknologi belum terlalu masif, sehingga perkembangan jurnalisme tidak secepat kini. Baru setelah reformasi 1998 pecah, masyarakat Indonesia berlomba-lomba mengekspresikan kebebasannya dengan berbagai bentuk. Media-media yang telah dibredel rezim Orde Baru, muncul tiada kendali bak jamur di musim hujan.
Tidak lama setelah reformasi, teknologi berkembang dengan laju yang amat cepat, sehingga mempengaruhi gaya hidup masyarakat. Kita lebih mengenal kejadian ini sebagai globalisasi, di mana sekat antar negara hilang sama sekali dan akses informasi tak dapat dibendung. Tak ingin terlindas perkembangan zaman, media-media cetak lalu berlomba-lomba untuk melebarkan sayapnya dengan membuat platform situs berita online. Pun dengan media-media baru yang muncul dan mewarnai jagat maya Indonesia. Kesemuanya menawarkan informasi beragam, dengan ‘klaim’ kebenaran yang beragam pula.
Karenanya, masyarakat memiliki akses informasi yang beragam. Kita bisa mencari informasi tentang satu kejadian di berbagai platform media online. Selintas memang terlihat menggembirakan, karena hal itu bisa melebarkan wawasan kita tentang fenomena sekitar dan dunia. Namun di saat yang sama, kita juga terancam dengan informasi-informasi yang tak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Dengan mudah kita saksikan, beberapa situs berita online yang cenderung provokatif. Bukannya membawa kedamaian, konten-konten yang disajikan justru cenderung mengajak pada perpecahan; menyerang seseorang atau suatu kelompok dengan alasan yang emosional.
Celakanya, banyak orang yang belum siap menerima gempuran informasi yang tiada habis-habisnya ini. Sehingga, realitas yang ditampilkan media-media online diterimanya sebagai kebenaran tanpa dikritisi. Padahal, beda antara realitas media dengan realitas di lapangan. Jika kita belajar ilmu komunikasi, kita akan menemukan teori framing, yakni menampilkan berita setelah dipilah fakta-fakta tertentu, dan mengabaikan fakta lain yang tidak sesuai kepentingan media.
Berita atau informasi yang diterima tanpa dikritisi, lalu membentuk karakteristik masyarakat yang reaksioner, sumbu pendek. Ketika telah ada satu platform media online yang dipercaya seseorang, maka besar kemungkinan ia akan menegasikan media lainnya. Akibatnya, mereka akan mudah melakukan vonis salah, sesat, kafir, dan sebagainya, kepada orang atau kelompok yang berbeda dengan mereka. Ekspresi kebencian mereka lalu diluapkan dalam bentuk status atau komentar di berbagai platform media sosial.
Disiplin verifikasi
Andreas Harsono (2010) mengatakan bahwa esensi dari jurnalisme adalah disiplin verifikasi. Disiplin verifikasi mampu membuat wartawan menyaring desas-desus, gosip, ingatan yang keliru, manipulasi, guna mendapatkan informasi yang akurat.
Kovach dan Rosenstiel, dalam Andreas, menawarkan metode konkrit dalam melakukan verifikasi. Pertama, penyuntingan secara skeptis. Penyuntingan harus dilakukan baris demi baris, kalimat demi kalimat, dengan sikap skeptis. Banyak pertanyaan, banyak gugatan.
Kedua, memeriksa akurasi. David Yarnold dari San Jose Mercury News mengembangkan satu daftar pertanyaan yang disebutnya accuracy checklist. Satu di antara daftar pertanyaan itu adalah, apakah laporan itu berpihak atau membuat penghakiman yang mungkin halus terhadap salah satu pihak? Ketiga, jangan berasumsi. Jangan percaya pada sumber-sumber resmi saja, melainkan harus mendekat kepada narasumber di lapangan. Keempat, pengecekan fakta ala Tom French yang disebut Tom French’s Color Pencil. Ia menandai fakta-fakta dalam tulisannya dengan pensil berwarna; atau kini, di era serba digital, kita bisa mewarnai fakta dalam tulisan di ms word.
Memang, Andreas Harsono mejelantrahkan pentingnya disiplin verifikasi dalam konteks kerja jurnalistik oleh wartawan. Bisakah hal tersebut diaplikasikan oleh kita, yang nota bene bukan wartawan media tertentu?
Berpedoman pada disiplin verifikasi, kita setidaknya tidak terlalu terburu-buru untuk menerima sebuah informasi dan berita sebagai kebenaran. Ada sikap kehati-hatian dalam diri kita, yang kemudian membentengi kita agar tidak mudah percaya atas informasi yang beredar.
Aplikasi atas sikap kehati-hatian kita, lalu diejawantahkan dalam metode yang dijabarkan Andreas. Jika wartawan menyunting tulisan untuk dipublikasikan, maka kita sebagai pembaca, ‘menyunting’ tulisan untuk mencari celah yang ada dalam tulisan (berita/informasi) tersebut. Di mana ada celah, di situ ada pertanyaan atau gugatan, yang lalu mendorong kita untuk mencari informasi pendukung di lain platform atau bahkan buku.
Lalu, memeriksa akurasi dengan pertanyaan; apakah berita memihak kepada satu kelompok? Dari pertanyaan ini, sebagai pembaca, kita bisa mengetahui milik siapa dan berjejaring dengan siapa media tersebut. Tentu saja, kelompok yang dibela bisa terindikasi memiliki afiliasi dengan media tersebut.
Jangan mudah percaya dengan sumber-sumber resmi, bisa dimaknai sebagai pesan agar kita bisa lebih mendekat lagi dengan sumber berita. Bahwa belum tentu sumber resmi memiliki fakta yang riil di lapangan. Sebaliknya, di samping kita mempelajari sumber resmi, juga ada baiknya mencari sumber alternatif; bisa media alternatif yang –secara treckrecord– bisa dipercaya maupun pihak yang bersangkutan (narasumber).
Terakhir, adalah pengecekan fakta dengan pensil warna. Metode ini bisa kita gunakan untuk menerka-nerka, fakta-fakta yang ada di dalam berita. Tentu saja, sebagai pembaca, kita mesti juga membandingkan dengan media-media lainnya, untuk menemukan benang merah fakta-fakta tersebut.
Runtuhnya dominasi informasi oleh media massa, membuka celah baru untuk masyarakat ikut andil. Sehingga, selain menjadi pembaca, masyarakat juga sekaligus berkesempatan menjadi produsen informasi. Karenanya, baik bagi media (online) maupun masyarakat, pemahaman terhadap disiplin verifikasi menjadi bekal paling urgen, demi mencipta jurnalisme damai demi menjaga kedamaian Nusantara.