Sontoloyo, Sempalan, dan Gerakan-Gerakan Kutu Rambut

Sontoloyo, Sempalan, dan Gerakan-Gerakan Kutu Rambut

- in Narasi
1838
0

Kemat isarat lebur

Bubar tanpa daya kabarubuh

Paribasan tidhem tandhaning dumadi

Begjane ula daulu

Cangkem silite anyaplok

(Serat Sabdatama)

BUNG Karrno pernah mendedahkan perihal Islam Sontoloyo. Sontoloyo sepadan dengan istilah tolol. Mereka, kalangan sontoloyo itu, adalah apa yang kini disebut sebagai Islam formal—yang lebih mementingkan atribut atau bentuk daripada isi—dan juga Islam politik—karena mengagendakan dipaksakannya syari’ah versi mereka oleh negara.

Tentang pola dan karakteristik Islam Sontoloyo tersebut mendapatkan detailnya dalam catatan Abdurrahman Wahid, Perihal Gerakan Sempalan dalam Islam. Menurut Gus Dur, Islam Sempalan beranjak dari kekalahan atau ketersingkiran atas modernitas. Modernitas—atau lebih tepatnya: perubahan zaman—dipandang sebagai sebab tunggal atas segala keterpurukan yang dialami oleh—seperti yang diklaim mereka—umat “Islam.” Solusi yang mereka ajukan adalah kembali ke akar, ke masa silam yang mereka pandang gemilang. Tentang renik romantisisme masa lalu ala kaum radikal keagamaan ini saya menyebutnya sebagai “rekaman indah-yang-diangankan,” Sapere Aude: Nyala Nyali Kaum Terdidik.

Satu hal penting tentang karakteristik utama Islam Sontoloyo adalah, seperti yang telah dicatat Gus Dur, personifikasi kebenaran pada figur tertentu: Imam, Amir, ataupun Khalifah. Dan memang, nalar tak begitu penting bagi gerakan-gerakan Islam Sontoloyo ataupun Islam Sempalan semacam ini. Seandainya menyeksamai catatan Gus Dur, abstraksi adalah karakter lainnya yang lekat dengan gerakan-gerakan Islam Sontoloyo ataupun Islam Sempalan. Bagi mereka, istilah “Islam” sedah beres dengan sendirinya, yang bisa seenaknya dibawa-bawa untuk menyembunyikan syahwat duniawi mereka.

Lantas, apa tawaran Gus Dur untuk menyikapi gerakan-gerakan Islam Sempalan tersebut? Sayangnya, Gus Dur, dalam catatannya itu tak terlalu menggigit dalam menyikapi gerakan-gerakan kutu rambut tersebut. Ia bersiteguh dengan logika bahwa sempalan tak mencerminkan keseluruhan, dan karenanya, mesti dipandang wajar.

Satu hal yang sampai kini tak saya temukan dalam warisan pemikiran Gus Dur adalah perihal batas. Sejauhmana batas pluralisme itu kita pikirkan, sejauh mana batas toleransi itu kita terapkan, dan sejauh mana batas kebebasan yang merupakan ruh demokrasi itu kita jalankan?

Gus Dur, barangkali lupa terhadap peran negara dalam tumbuh-kembangnya masyarakat sipil yang ia idam-idamkan. Tak selamanya intervensi negara mesti disikapi sebagai sebentuk otoritarianisme atau sebuah upaya untuk mengebiri demokrasi.

Barangkali, tentang peran negara dalam mengatur kehidupan beragama warganya, Gus Dur akan menolaknya. Tapi konteks telah berubah. Kondisi sudah sedemikian parah. Prinsip ketiadaaan batas hanya akan berujung seperti ular yang mencaplok ekornya sendiri.

Saya tak akan memandang mewabahnya Islam Sontoloyo ataupun Islam Sempalan kontemporer sebagai domain agama per se. Tapi saya akan memandangnya dari sudut-pandang satu-satunya aturan main yang mesti ada dalam kehidupan civil society di Indonesia: Pancasila dan UUD 1945.

Apa yang telah dilakukan pemerintahan Jokowi-JK terkait merebaknya radikal(isme) bukanlah sebentuk intervensi negara pada kehidupan privat sebagaimana Gus Dur meletakkan kehidupan beragama. Tapi menegakkan hukum, dalam arti, hukum nasional. Dengan kata lain, pemerintahan Jokowi-JK tengah menjaga keutuhan dan kewibawaan NKRI. Dalam hal ini, siapa lagi yang punya wewenang menegakkan hukum selain pemerintah?

Cara pandang semacam ini sudah pernah saya singgung dalam Perda Intoleransi, Perda Radikalisme, dan Nasib RUU Antiterorisme. Pada titik ini, saya berbeda dengan Gus Dur. Bagi cara pandang Gus Dur, penanggulangan radikal(isme) seperti yang tampak dalam apa yang ia sebut sebagai “gerakan sempalan dalam Islam” adalah menyadari bahwa sempalan tak mencerminkan keseluruhan, maka cukuplah memperlakukannya secara wajar.

Tapi bagaimana jika Islam Sempalan itu terus-menerus menggandakan diri, menginfiltrasi sana-sini, sudah bertransformasi sedemikian rupa? Barangkali, Gus Dur tak akan kaget bahwa sejumlah dosen seni pun sampai ada yang kepincut khilafah dan dari sana ikut membabarkan pahamnya (18/06/2016 www.tempo.co). Gus Dur pun, barangkali, tak akan kaget bahwa FPI—yang dulu pernah ia ingin bubarkan—sudah masuk dan melakukan islamisasi (Islam versi FPI) di pedalaman Jambi (29/01/2017 www.sindonews.com). Gus Dur pun, barangkali, juga tak kaget jika ada umatnya sendiri yang memilih menggandrungi ustadz-ustadz non-nahdliyin, dan ini artinya sudah bergeser jauh dari paham keislaman Gus Dur pada khususnya dan nahdliyin pada umumnya (13/01/2018 www.nu.or.id).

Apakah semua ini akibat sikap terlalu memandang wajar dan meyakini bahwa sempalan tak mencerminkan keseluruhan serta sikap melupakan batas? Bukankah sikap berlebihan tak diperbolehkan oleh kanjeng nabi? Barangkali, di sinilah letak pentingnya kearifan lokal yang memiliki pemaknaan tersendiri soal “diri” dan cara mendidiknya.

Satu hal yang saya kira patut dipahami, manusia bukanlah dewa atau malaikat. Ia makhluk terbatas. Untuk itu, pluralisme pun mesti ada batasnya. Secara logis, pluralisme akan pincang seandainya tak mengenal batas. Batasnya jelas, sikap mau mengakui dan menerima semestinya hanya pada paham yang tak akan membahayakan pluralisme itu sendiri. Eksklusivisme, yang merupakan karakter dominan paham-paham radikal, adalah antitesa pluralisme. Logika tumbuh dan kembangnya adalah dengan melawan pluralisme dan sebisa mungkin mengenyahkannya. (Dan logika seperti ini pada akhirnya akan mengenyahkan pula Pancasila dan UUD 1945).

Dalam konteks Indonesia, pluralisme gamblang menjadi sikap hidup bangsa Indonesia. Pancasila, konstitusi, dan sesanti bhinneka tunggal ika, nyata memihak pluralisme. Entah di pelosok Jambi atau Kalimantan, entah orang berpendidikan atau bukan, selama masih menginjakkan kaki di Bumi Indonesia yang telah menyepakati Pancasila sebagai dasar negaranya siapa pun mesti mau mengakui dan menerima pluralitas. Dengan kata lain, pluralisme sebenarnya secara otomatis telah mendapatkan keuntungan historis dan ideologis. Pluralisme dengan sendirinya sudah sesuai dengan aturan main yang ada di Indonesia. Perbedaan konsep civil society di mana pun adalah pada aturan mainnya. Di Indonesia, satu-satunya aturan main yang dilegalkan oleh negara dan para foundhing fathers adalah Pancasila dan konstitusi. Gerakan-gerakan Islam Sontoloyo ataupun Islam Sempalan terang telah melabrak aturan main itu sejak dalam pikirannya—tengok saja AD/ART ormas-ormas keagamaan yang ditengarai radikal.

Kekhilafan akan batas dan sikap terlalu memandang enteng persoalan oleh sebagian pluralis—dengan terlalu meremehkan tataran pemikiran, konsep—adalah sebentuk kepincangan logis yang akan berimbas pada kenyataan. Dengan mau mengakui dan menerima keberadaan paham-paham sektarian sontoloyo—yang oleh Bung Karno dilabeli sebagai sebentuk “egoisme agama”—yang kini semakin menunjukkan gelagatnya untuk menegakkan daulah ataupun khilafah islamiyah, kalangan kebangsaan dan kebhinekaan perlu mencermati metafora Ranggawarsita tentang ular yang mencaplok ekornya sendiri.

Facebook Comments