Runtuhnya rezim Bashar al-Assad di Suriah pada 8 Desember 2024 yang lalu menjadi rentetan dari konflik yang berkepanjangan sejak 2011. Setelah lebih dari satu dekade peperangan, berbagai kelompok yang terlibat terus memperebutkan kekuasaan tanpa solusi yang jelas. Bersatunya oposisi dari berbagai faksi gerakan telah berhasil menuntaskan rezim tirani tersebut.
Perubahan kekuasaan dan kemenangan opsisi ini sering kali dinarasikan oleh pihak tertentu, terutama kelompok radikal sebagai tanda kebangkitan Islam, kebangkitan khilafah atau kemenangan atas sekularisme. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa konflik Suriah jauh lebih kompleks dan tidak bisa disederhanakan sebagai perang agama semata.
Konflik di Suriah telah menjadi salah satu tragedi kemanusiaan paling kompleks di abad ke-21. Dimulai pada 2011 sebagai protes damai terhadap rezim Bashar al-Assad, konflik ini dengan cepat berubah menjadi perang saudara yang melibatkan berbagai kelompok dengan ideologi dan kepentingan berbeda.
Narasi di kalangan sel kelompok radikal di Indonesia menggambarkan konflik ini sebagai perang agama atau perjuangan untuk kebangkitan khilafah. Konflik ini dieksploitasi seolah sebagai kemenangan perjuangan menegakkan negara Islam atau khilafah. Glorifikasi yang berbahaya ini sama yang terjadi pada masa munculnya ISIS pada 2014.
Pada intinya, konflik Suriah adalah perang saudara internal yang melibatkan berbagai faksi: kelompok sekuler, Islamis, etnis Kurdi, dan juga intervensi dari kekuatan internasional seperti Rusia, Iran, Turki, dan Amerika Serikat. Tidak ada pihak tunggal yang dapat mengklaim mewakili seluruh umat Islam, apalagi mendirikan sistem khilafah universal.
Kelompok seperti Hay’at Tahrir al-Sham (HTS), Tentara Nasional Suriah (SNA), dan Pasukan Demokratik Suriah (SDF) memiliki agenda yang berbeda-beda, mulai dari nasionalisme etnis hingga perjuangan berbasis ideologi Islam. Sementara itu, kekuatan asing ikut campur untuk melindungi kepentingan geopolitik mereka, bukan untuk mendukung Islam atau nilai-nilai keagamaan. Maka, melihat konflik ini sebagai “perjuangan Islam melawan sekularisme” adalah penyederhanaan yang berbahaya.
Glorifikasi yang Menyesatkan : Belajar dari Tragedi FTF dan ISIS
Di Indonesia, narasi tentang konflik Suriah sering kali disuarakan oleh kelompok tertentu yang memanipulasi teks agama untuk mendukung agenda mereka. Hadis-hadis tentang “keutamaan negeri Syam” disitir untuk melegitimasi ide bahwa perubahan kekuasaan di Suriah adalah tanda kebangkitan Islam global. Mereka mempromosikan gagasan bahwa pemerintahan baru di Suriah, setelah Assad, akan menjadi representasi khilafah yang sah.
Pandangan ini mencerminkan pola yang serupa dengan kemunculan ISIS pada 2014. Ketika itu, deklarasi khilafah oleh Abu Bakr al-Baghdadi menjadi magnet bagi paraforeign terrorist fighters(FTF) dari berbagai negara, termasuk Indonesia. Ribuan orang terprovokasi untuk “hijrah” ke wilayah yang diklaim sebagai “bumi khilafah.” Namun, janji yang ditawarkan hanyalah ilusi. Wilayah yang dikuasai ISIS bukanlah negara yang menjanjikan kesejahteraan, melainkan medan perang yang brutal dan penuh kekacauan.
Nasib para FTF yang bergabung dengan ISIS adalah pelajaran besar bagi umat Islam. Banyak dari mereka yang akhirnya tewas di medan perang, sementara yang selamat kini terjebak di kamp-kamp pengungsi di wilayah konflik tanpa kepastian. Sebagian besar negara asal mereka enggan menerima mereka kembali karena alasan keamanan.
Propaganda “hijrah” yang dipromosikan oleh ISIS pada masa itu memanfaatkan romantisasi konsep khilafah dan manipulasi teks agama. Banyak umat Islam yang termakan propaganda ini tanpa memahami realitas di lapangan. Fakta menunjukkan bahwa wilayah yang diklaim sebagai “bumi khilafah” adalah zona konflik dengan pelanggaran hak asasi manusia yang sistematis, termasuk terhadap umat Islam sendiri. Kondisi tersebut jauh dari gambaran ideal masyarakat Islam yang damai dan berkeadilan.
Menghindari Jebakan Propaganda Hijrah
Narasi yang menggambarkan konflik Suriah saat ini sebagai kebangkitan Islam atau kemenangan atas sekularisme adalah jebakan baru yang harus diwaspadai. Glorifikasi konflik ini tidak hanya menyesatkan, tetapi juga berpotensi memicu fenomena FTF jilid dua dengan narasi hijrah. Padahal, kenyataan di lapangan sangat jauh dari gambaran ideal tersebut.
Umat Islam harus memahami bahwa konflik Suriah bukanlah perang agama atau jalan menuju kebangkitan khilafah, melainkan perang saudara yang kompleks dengan dampak kemanusiaan yang sangat luas. Sebaliknya, yang dibutuhkan adalah pendekatan yang berfokus pada solusi perdamaian, bantuan kemanusiaan, dan advokasi untuk menghentikan campur tangan asing yang memperburuk situasi.
Menghadapi isu seperti konflik Suriah, umat Islam harus bijak dan kritis dalam menyaring informasi. Penting untuk tidak mudah terprovokasi oleh narasi yang menyederhanakan masalah menjadi “perjuangan Islam melawan sekularisme” atau “kebangkitan khilafah.” Sebaliknya, fokuskan perhatian pada upaya membangun perdamaian, membantu korban konflik, dan melawan propaganda yang menyalahgunakan agama untuk kepentingan politik.
Belajar dari kasus ISIS, umat Islam di Indonesia perlu menyadari bahwa romantisasi konflik hanya membawa kehancuran. Mengglorifikasi konflik Suriah sebagai perjuangan agama tanpa memahami kompleksitasnya hanya akan memperburuk penderitaan umat manusia. Sebagai gantinya, mari membangun kesadaran bahwa Islam adalah agama perdamaian yang seharusnya mengutamakan penyelesaian konflik melalui dialog, kasih sayang, dan keadilan.