Idul Fitri di Tengah Pandemi; Rayakan Kemenangan, Perkuat Solidaritas Kemanusiaan

Idul Fitri di Tengah Pandemi; Rayakan Kemenangan, Perkuat Solidaritas Kemanusiaan

- in Narasi
1211
0
Idul Fitri di Tengah Pandemi; Rayakan Kemenangan, Perkuat Solidaritas Kemanusiaan

Ramadan telah sampai pada ujung penghabisannya. Hanya tinggal menghitung hari kita akan merayakan Idul Fitri, hari dimana umat Islam kembali pada kesucian dan merayakan kemenangan. Tentu tidak semua umat Islam layak dan berhak merayakan hari kemenangan dan menyandang status sebagai manusia yang kembali fitrah tanpa dosa. Hanya umat Islam yang menjalankan puasa secara sungguh-sungguh, sabar, ikhlas dan berorientasi pada Allah lah yang berhak merayakan kemenangan dan kesucian Idul Fitri.

Bagi mereka yang menjalankan ibadah puasa secara sungguh-sungguh, sabar dan ikhlas, Allah mengampuni segala dosanya dan mengembalikannya pada kesucian laksana bayi yang baru lahir. Dari sanalah terminologi Idul Fitri itu berasal. Maka, di hari Idul fitri umat Islam juga dianjurkan untuk saling maaf-memaafkan antarsesama manusia. Dosa kepada Allah bisa dihapus dengan memohon ampun, bertaubat, tidak mengulanginya serta menggantinya denga amal soleh. Sementara dosa pada sesama manusia hanya bisa dihapus jika terjadi islah, perdamaian dengan jalan rekonsiliasi alias maaf-memaafkan. Idul Fitri adalah momen tepat untuk melakukan rekonsiliasi sosial tersebut. Dalam tradisi Islam Nusantara, kita mengenal budaya halal bi halal, yakni aktivitas meminta dan memberi maaf secara kolektif yang dilakukan di momen perayaan Idul Fitri.

Tahun ini, bisa dipastikan perayaan Idul Fitri tidak akan seramai biasanya. Pandemi Corona yang belum berakhir mengharuskan kita menikmati dan merayakan Lebaran dengan normal baru (new normal). Sholat Ied cukup dilakukan di rumah dengan keluarga inti, sebagaimana difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Mudik lebaran yang telah menjadi tradisi wajib tahunan juga harus ditunda sampai pandemi berlalu. Silaturahmi lebaran dan halal bi halal juga harus dilakukan via daring. Semua itu dilakukan demi membatasi mobilitas masyarakat agar penyebaran Corona bisa segera dikendalikan.

Merayakan Kemenangan di Tengah Ujian

Dalam kondisi yang demikian ini, umat Islam harus tetap berpikir positif (khuznudhan) kepada kehendak dan ketentuan Allah. Melalui pandemi Corona ini, Allah mungkin saja tengah menguji sekaligus menyadarkan manusia, terutama dalam konteks merayakan Idul Fitri. Diakui atau tidak, selama ini kita cenderung merayakan Idul Fitri dengan berlebihan, berorientasi pada konsumerisme dan pemenuhan pada kepuasan hasrat diri (self-desire). Hal ini dapat dilihat dari perilaku konsumsi masyarakat yang nyaris tidak terbendung ketika menjelang Idul Fitri. Hari-hari terakhir bulan puasa yang seharusnya diisi dengan memperbanyak amalan kebaikan justru dihabiskan untuk berburu kebutuhan lebaran di pusat-pusat perbelanjaan. Pakaian baru, hidangan lebaran, dan segenap pernak-pernik lebaran seolah telah menjadi barang wajib yang harus ada pada momen Idul Fitri.

Baca Juga : 10 Hari Terakhir Ramadhan, Ayo Bangkit Lawan Covid-19

Tidak hanya itu, mudik yang secara filosofis bermakna kembali ke asal mula, yakni kampung halaman yang merupakan tanah kelahiran leluhur pun belakangan mulai bergeser maknanya ke arah penegasan kelas sosial. Mudik menjadi ajang pamer keberhasilan dan capaian duniawi. Belum sah mudik seseorang jika belum mengendarai kendaraan terbaru, menjinjing oleh-oleh dan simbol kemakmuran ekonomi lainnya. Makna mudik kemudian menadi banal dan artifisial. Dengan adanya pandemi Corona ini, umat Islam kiranya mampu merefleksikan makna Idul Fitri yang sesungguhnya.

Barangkali, justru Idul Fitri yang kita rayakan di tengah suasana keprihatinan dan kesunyian inilah yang benar-benar bermakna bagi umat Islam. Bukan Idul Fitri yang disesaki oleh keriuhan yang sebenarnya tidak penting dan kurang esensial. Idul Fitri bukanlah pesta antiklimaks untuk melepaskan nafsu-nafsu setelah sebulan lamanya dikekang dan dilarang. Sebaliknya, hakikat Idul Fitri ialah semacam wisuda bagi mereka yang telah berhasil mencapai prestasi dala upaya mengembalikan keseimbangan jiwa dengan menempatkan kekuatan nuraninya yang bening untuk memegang kendali hidup (Muhammad Muhibbudin: 2008).

Prestasi penyucian hati, pikiran, ucapan dan perilaku inilah yang juga terkandung dalam konsep lailatul qadar. Peristiwa lailatul qadar merupakan transformasi psiko-spiritual pada diri seseorang, sehingga yang bersangkutan mampu menjadikan hari-harinya yang akan datang menjadi lebih baik. Oleh karenanya, konsep lailatul qadar dan transformasi jiwa ini selalu dikaitkan dengan bulan suci Ramadan dan turunnya al Quran (nuzul al Quran).

Artinya, barang siapa melaksanakan puasa dengan sungguh-sungguh, yang ditandai terutama dengan penyucian diri dan memperbanyak melakukan amal kebajikan serta mendalami ilmu keagamaan, maka spirit keilahian dan nilai al Quran akan mudah turun (nuzul) dan meresap ke dalam jiwanya sehingga buah latihan spiritual selama Ramadan bisa dijadikan sumber kekuatan dan pelita hidup menuju kehidupan yang lebih bermakna ketimbang tahun sebelumnya.

Idul Fitri dan Kesadaran Solidaritas Kemanusiaan

Lantas, apa korelasi Idul Fitri dengan tindakan praksis menggalang solidaritas kemanusiaan? Ali Asghar Engineer dalam bukunya Islam dan Teologi Pembebasan menyebut bahwa Islam adalah agama keadilan sekaligus agama kemanusiaan. Dimensi keadilan dan kemanusiaan menempati kedudukan yang sama vitalnya dalam Islam. Seluruh peribadatan dalam Islam, menurut Engineer selalu memiliki dua dimensi sekaligus, yakni dimensi vertikal-transendental dan dimensi horisontal-sosial. Contohnya, ibadah sholat yang merupakan ibadah paling utama dalam Islam.

Di dalam sholat, dimensi vertikal-transendental dan horisontal-sosial itu disimbolkan dengan ucapan takbir (Allahu Akbar) dan diakhiri oleh ucapan salam sambil menengok ke kanan dan ke kiri. Keduanya menurut Engineer melambangkan bahasa performatif dan deklaratif bahwa setiap muslim yang selalu menegakkan shalat baru akan bermakna shalatnya kalau dilanjuti dengan sikap kepedulian dan solidaritas secara nyata. Hal yang sama juga berlaku bagi ibadah puasa. Meski diniatkan sebagai wujud ketaatan pada Allah, puasa Ramadan harus memberikan efek sosial terhadap sesama. Maka, puncak bulan Ramadan ditutup dengan pembayaran zakat, melaksanakan sholat Ied berjamaah dan saling memaafkan sambil memperbanyak membaca tahmid dan takbir.

Bacaan tahmid dan takbir tidak semata bermakna mengucap syukur dan mengagungkan asma Allah. Lebih dari itu, kalimat tahmid dan takbir dimaksudkan untuk mengajak umat Islam menekan ego pribadinya yang gemar pada kekayaan dan kekuasan. Semua itu tidak ada artinya, lantaran tidak ada kedudukan yang lebih tinggi di dunia ini ketimbang Allah. Maka, segala kekayaan atau kekuasaan sekecil apa pun yang kita miliki idealnya kita jadikan sebagai modal dan sarana untuk mewujudkan solidaritas kemanusiaan. Momen hari Idul Fitri yang berlangsung di tengah pandemi ini seharusnya bisa kian memperkokoh jejaring solidaritas kemanusiaan yang selama ini telah terbangun. Imam al Dumayri sebagaimana dikutip oleh Zuhairi Misrawi (2010) menuturkan bahwa hari Idul Fitri ialah hari kasih sayang. Inilah momentum bagi kelompok kuat mengasihi kelompok lemah, pemerintah mengasihi rakyatnya, si kaya mengasihi si miskin, pemuka agama mengasihi umatnya serta kaum mayoritas mengasihi kaum minoritas. Tanpa praktik kasih sayang dan solidaritas sosial, Idul Fitri akan terjebak pada seremoni nirmakna. Kiranya momentum Idul Fitri menjadi kekuatan untuk mencegah pandemi Corona ini berkembang menjadi krisis multidimensi.

Facebook Comments