Perdebatan atawa polemik antara Pancasila dan khilafah tampaknya hanya berkutat pada tema itu-itu saja. Para pengasong khilafah kadung mengklaim ideologinya sebagai paling benar dan murni berasal dari Tuhan sehingga dijamin bisa mengatasi seluruh persoalan manusia. Di saat yang sama, mereka lupa bahwa klaim-kliam bombastis itu patut diuji secara ilmiah dan akademik.
Ada dua pertanyaan besar yang sampai hari ini belum terjawab oleh para pengusung khilafah. Pertama, apakah khilafah merupakan syariah Islam yang murni berasal dari Tuhan, atau sekadar produk sejarah alias muncul karena pemikiran manusia dan tergolong sebagai tradisi? Kedua, apakah benar khilafah merupakan solusi atas seluruh problem kemanusiaan?
Pertanyaan pertama itu bisa dijawab dengan terlebih dahulu mengetahui posisi khilafah dalam hukum Islam (syariah). Syariah adalah ketentuan atau hukum dari Allah. Menurut Abdullah Ahmed an Naim syariah ini terbagi atas dua kategori. Pertama, syariah yang bersifat tetap dan absolut serta berkelanjutan (al-tsabit). Yang tergolong dalam hal ini adalah seluruh ibadah mahdhah, yakni ibadah yang murni antara manusia dan Allah (Hablum min Allah).
Hukum ibadah mahdhah adalah wajib dan tatacara serta ketentuannya secara garis besar sudah ditentukan di dalam Alquran dan hadist. Tidak ada perbedaan signifikan antara ibadah mahdhah di zaman Rasulullah, Khulafaur Rasyidin, kekhalifahan, sampai saat ini ketika umat Islam hidup di zaman modern. Fiqih ubudiyyah nisbi bersifat absulut dan berkelanjutan serta tidak terpengaruh oleh dinamika zaman.
Kedua, syariah yang bersifat tidak tetap alias berubah-ubah menyesuaikan perkembangan zaman dan dinamika sejarah manusia (al-mutaghayyirah). Yang termasuk dalam syariah al-mutaghayyirah ini adalah segala bentuk praktik sosial atau relasi antar-manusia, ternasuk urusan politik dan sistem pemerintahan.
Khilafah adalah Konsep yang Dinamis
Dalam konteks syariahyang sifatnya al-mutaghayirah ini, Islam kerapkali tidak memberikan dasar referensi yang spesifik dan hanya memberikan penjelasan secara garis besar. Lantas, umat Islamlah yang melakukan improvisasi dengan menciptakan hukum, sistem, atau norma yang disepakati bersama dan hanya berlaku di kurun waktu dan tempat tertentu.
Jika dilihat dari perspektif dikotomi syariah di atas, tampak jelas bahwa konsep khilafah lebih merupakan syariah yang bersifat tidak tetap (al-mutaghayyirah). Konsep khilafah selalu berubah dari masa ke masa dan tidak ada bentuk yang pasti dan ideal yang berlalu untuk seluruh waktu dan tempat dalam sejarah Islam.
Misalnya, di masa Rasulullah, kepemimpinan Nabi Muhanmad lebih merupakan gabungan antara wilayah teologis, sosiologis, dan politis. Sebagai Rasul yang Maksum, segala pikiran, ucapan, dan perilaku Rasulullah dijamin kebenarannya oleh Allah. Konsep khilafah ala Rasulullah itu bergeser di era khulafaurrasyidun.
Dari keempat sahabat mulia penerus Nabi Muhammad itu, semuanya dipilih dengan mekanisme yang berbeda. Dan, kita juga tidak bisa menutup mata pada fakta bahwa tiga di antara Khalifah itu tewas karena perebutan kekuasaan politik. Konsep khilafah kian mengalami modifikasi pasca berakhirnya era khulafaurrasyidun
Pasca berakhirnya kekuasaan Ali bin Abi Thalib, pemerintahan Islam justru berubah ke arah monarki absolut. Pemimpin Islam kala itu ditunjuk berdasar pada keturunan. Mekanisme suksesi kepemimpinan yang seperti ini bertahan hingga era kekhalifahan Turki Usmani yang berakhir pada dekade 1970an.
Khilafah Merupakan Produk Sejarah, bukan Syariah
Tilikan sejarah singkat itu membuktikan bahwa khilafah lebih merupakan produk sejarah atau tradisi ketimbang doktrin syariah. Lantaran hanya merupakan produk tradisi, maka penerapan khilafah tidak bersifat wajib bagi seluruh umat Islam. Dalam konteks Indonesia misalnya, bentuk negara NKRI berdasar Pancasila dan UUD 1945 sudah bisa dikatakan memenuhi syarat sebagai kekhalifahan (kepemimpinan atau pemerintahan).
Jadi, tidak ada alasan untuk meruntuhkan NKRI dan menggantinya dengan bentuk negara yang diklaim lebih islami. Klaim bahwa khilafah adalah solusi bagi seluruh problem kemanusiaan itu pun juga menyalahi kodrat. Semua hasil pemikiran manusia, meski pun itu berangkat dari doktrin agama, pasti bersifat tidak sempurna dan memiliki kekurangan.
Semua hasil pikiran manusia, mulai dari teori sosial, filsafat, sampai sistem politik mustahil bisa mengatasi seluruh problem kemanusiaan. Tidak terkecuali khilafah. Bahkan, jika kita mau berpikir obyektif, kebangkitan isu atau wacana khilafah di era modern ini justru lebih banyak membawa mudarat ketimbang manfaat.
Tengok saja misalnya di kawasan Timur Tengah. Di wilayah tersebut, kebangkitan ideologi dan gerakan keagamaan yang mengusung agenda khilafah justru melahirkan kekerasan, terosisme, dan konflik horisontal yang menghancurkan negara dari dalam.
Hal nyaris serupa juga terjadi di Indonesia. Fenomena intoleransi, radikalisme, dan terosisme yang marak dalam dua dekade belakangan ini tidak lain merupakan residu dari bangkitnya gerakan konservatif-kanan pengusung khilafah.
Dengan fakta-fakta di atas, apakah kita masih akan terbuai oleh janji manis dan utopis para pengasong khilafah. Rasa-rasanya, hanya orang yang buta sejarah yang percaya bahwa khilafah adalah solusi sapujagad bagi seluruh problem kemanusiaan saat ini.