Puasa; Mengontrol Ujaran Kebencian

Puasa; Mengontrol Ujaran Kebencian

- in Narasi
1743
0
Puasa; Mengontrol Ujaran Kebencian

Ramadhan, bulan kebahagiaan bagi mukmin akan datang. Barangkali, kita merindukan momen-momen berpuasa, karena dengannya kita bisa melatih diri, menahan id (keinginan hawa nafsu), untuk kemudian dipresentasikan dengan pola sikap dalam level kemanusiaan yang tinggi. Umumnya, orang akan suka dengan pemenuhan kebutuhan lapar. Akan tetapi, ketika sedang berpuasa, tubuh kita telah ‘berjanji’ bahwa akan menahan lapar dan dahaga, termasuk hal-hal yang membatalkan atau bahkan mengurangi pahala puasa. Kita sudah menyiapkan diri, dan tubuh pun akan damai untuk diajak berkompromi.

Hakikatnya, puasa merupakan olah batin dan olah rasa. Puasa melatih kita bahwa keinginan tidak selalu dipenuhi here and now. Tidak hanya dalam konteks fisiologis semata, level puasa yang setara dengan jihad dimaknai sebagai perjuangan untuk menahan diri dari hal-hal yang mengurangi pahala puasa. Dalam konteks kebangsaan, bahkan juga kekeluargaan, kita perlu untuk puasa dari ujaran kebencian. Ujaran kebencian perlu kita kontrol sebagai bentuk jihad yang utama. Puasa bukan hanya soal ibadah menahan lapar, tetapi juga sebagai sebuah event dan kesempatan untuk kita agar berlatih menggunakan neo korteks dibanding penggunaan otak reptil.

Ujaran kebencian yang berseliweran, hakikatnya merupakan ekspresi dari otak reptil. Orang dengan mudah melakukan verbalisasi negatif dengan maksud menyakiti atau menjatuhkan, karena menggunakan cara-cara primitif untuk melindungi diri dan mendapat rasa aman secara tidak sehat. Sebaliknya, pribadi yang sehat mental akan lebih menggunakan otak neo korteks, yang berisi sikap-sikap dan pengetahuan spiritual. Dengan spiritualitas yang baik, kita tidak akan membalas ujaran buruk dengan hal yang sama. Dengan spiritualitas yang baik, kita tidak akan membalas kejahatan dengan kejahatan. Bahkan, kita masih dapat berbuat baik demi menyemai benih perdamaian dan keharmonisan.

Afdholu al-Jihaadi jihadul al-hawa (jihad melawan hawa nafsu sebagai jihad paling utama) harus kita pahami bahwa jika ada ujaran kebencian yang dialamatkan kepada kita, maka kita harus meresponnya dengan sikap yang tepat. Jangan sampai, kita pun melakukan hal yang sama. Bersikap diam dan hening sesaat jauh lebih bermanfaat dibanding dengan membalas dengan ujaran kebencian, atau bahkan perang tagar (di media sosial).

Ujaran kebencian merupakan kebiasaan yang tidak sehat dalam mengekspresikan perasaan. Dengan berujar kebencian, berarti kita telah melemahkan fungsi spiritual dan lebih membudayakan penggunaan otak reptil. Ujaran kebencian, hakikatnya berkonten energi negatif. Energi itu akan mengalir terus. Selama tidak ada yang mau dan mampu mengubah energi negatif menjadi positif, maka ujaran kebencian dapat memantikkan ‘perang’ dan perpecahan.

Bagi seorang muslim sejati, Ramadhan merupakan bulan pembentukan karakter shiyamul qalb (hati yang berpuasa). Hati yang berpuasa berarti kita berkomitmen untuk membentuk budaya damai dan harmonis, tanpa ujaran negatif dan sikap-sikap yang menyakiti orang lain. pribadi yang berpuasa akan mencoba menahan diri dari hal-hal yang menggangu orang lain.

Jiwa yang berpuasa, secara alami akan mampu menahan diri dan bersabar terhadap keinginan. Sebab, jiwa yang berpuasa tidak menuntut kepuasan hanya saat ini, tetapi mereka telah terlatih untuk menahan dan mengharapkan ridha hanya dari Allah Swt. semata. Ujaran kebencian dapat membangkitkan mood negatif. Dalam kondisi mood negatif, kita mungkin akan mudah marah, benci, kasar, dan lain sebagainya.

Facebook Comments