Para pengusung gerakan khilafah islamiyyah memang tidak pernah lelah memasarkan gagasannya. Mereka seolah tidak mau melewatkan satu momen pun tanpa mendengungkan gerakan khilafah. Bahkan, ketika umat Islam dirundung keprihatinan karena menghadapi pandemi virus Covid-19 yang telah menelan banyak korban meninggal. Para pengusung gagasan khilafah tetap setia menebar propaganda menyesatkan ke tengah masyarakat.
Di awal virus ini menyebar di Indonesia, para pengusung khilafah ada dalam barisan terdepan kelompok yang paling santer menekan pemerintah untuk memberlakuan lockdown. Menurut mereka, strategi lockdown dalam menangani penyebaran wabah merupakan ajaran Islam. Tidak hanya itu, mereka pun gencar menebar propaganda bahwa pemerintahan khilafah ialah sistem yang paling siap menghadapi pandemi.
Argumen para pengusung khilafah itu tidak hanya rancu, namun juga menyesatkan. Klaim bahwa pemerintahan khilafah adalah sistem yang paling siap menghadapi pandemi ialah klaim yang tidak berdasar dan belum ada buktinya sama sekali dalam sejarah. Kenyataan membuktikan bahwa hampir semua negara di dunia, mulai negara Islam seperti Arab Saudi dan Iran, maupun negara-negara sekuler seperti Amerika Serikat dan negara-negara di kawasan Eropa, maupun negara-negara muslim demokratis seperti Indonesia, Turki, dan Malaysia saat ini kewalahan menghadapi pandemi.
Ini artinya, keberhasilan maupun kegagalan sebuah negara dalam menghadapi pandemi tidak ditentukan oleh sistem pemerintahan. Keberhasilan menghadapi pandemi virus Covid-19 ini lebih ditentukan oleh bagaimana sebuah negara mampu mengerahkan seluruh sumber dayanya untuk melawan penyebaran virus. Mulai dari kapasitas tenaga kesehatan, kepemimpinan dan birokari, kapabilitas ilmuwan sampai disiplin dan solidaritas masyarakatnya.
Baca Juga : Tasawuf dan Wabah Covid 19
Setelah gagal mempropagandakan ide khilafahmelalui isu lockdown, kini para pengusungkhilafah memanfaatkan momentum datangnya bulan Ramadhan untuk mempersuasi masyarakat. Dalam beberapa hari belakangan ini, tanda pagar alias tagar #RamadhanTerakhirTanpaKhilafah” viral dan masuk jajaran trending topicdi Twitter. Ribuan cuitan dengan tagar tersebut dinaikkan oleh akun-akun botdan anonim yang selama ini memang menjadi senjata para propagandis khilafah. Seperti diketahui, pasca dilarangnya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), kampanye khilafah lebih banyak dilakukan melalui propaganda di media sosial.
Utopia Khilafah
Viralnya tagar “Ramadhan Terakhir Tanpa Khilafah” tidak diragukan merupakan sebuah bentuk kejemawaan alias kesombongan para pengusung gerakan khilafah. Bagaimana seorang yang mengaku muslim bisa begitu yakin dalam memprediksikan sesuatu dengan mengabaikan kekuasaan Tuhan? Tagar tersebut menggambarkan bagaimana para pengusung khilafah meyakini bahwa tahun ini ialah Ramadhan terakhir di bawah sistem non-khilafah. Dengan kalimat lain, mereka sangat meyakini bahwa tahun depan, umat muslim akan menjalani Ramadhan di bawah sistem khilafah.
Keyakinan ini serupa dengan utopia kaum penganut sosialisme yang meyakini bahwa sistem sosialisme-komunisme akan tegak dengan sendirinya di atas kehancuran kapitalisme-liberalisme. Keyakinan itu sampai sekarang tidak terbukti. Kaum buruh yang diyakini akan mengobarkan revolusi sosialis nyatanya tetap adem-ayem dan menikmati hidup di bawah alam kapitalistik. Demikian pula keyakinan para pengusungkhilafah yang meyakini bahwa kekhilafahan Islam akan tegak pada tahun tertentu nyatanya hanya utopia belaka.
Di titik ini, harus disadari bahwa hastag “Ramadhan Terakhir Tanpa Khilafah” tidak lebih dari sebuah propaganda untuk mengacaukan konsentrasi umat Islam dalam menghadapi pandemi virus Covid-19 dan menyambut bulan suci Ramadhan. Jika dinalar secara obyektif, naiknya tagar tersebut justru mengotori kesucian bulan Ramadhan. Sebagai bulan penuh rahmat dan ampunan, Ramadhan tidak sepatutnya dipolitiasi apalagi ditungangi untuk kepentingan ideologis-pragmatis.
Energi dan pikiran umat Islam saat ini nyaris seluruhnya dicurahkan untuk menghadapi pandemi Covid-19 yang belum ada tanda-tanda akan berakhir. Di satu sisi, umat Islam harus berupaya sekuat tenaga untuk terhindar dari penularan Covid-19. Di sisi lain, umat Islam utamanya kelompok bawah-miskin harus berusaha mempertahankan hidup di tengah himpitan kesulitan finansial akibat pandemi Covid-19.
Apa yang dibutuhkan umat Islam saat ini bukanlah propaganda menyesatkan seperti diusung oleh kaum pengusung khilafah. Umat Islam, yang sebagian besarnya hidup dalam kondisi memprihatinkan selama ini membutuhkan solidaritas nyata dari saudara sesama muslim.
Maka, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa propaganda khilafah di masa pandemi terlebih menjelang datangnya bulan suci Ramadhan ini sebagai satu hal yang absurd, irasional dan ireleven. Propaganda itu sama sekali tidak memberikan sumbangsih apa pun terhadap persaoalan umat Islam saat ini, alih-alih justru menimbulkan kegaduhan yang tidak perlu. Layaknya sebuah propaganda, tagar itu tidak lebih dari sebuah sampah virtual yang tidak layak untuk disebarluaskan di media sosial.
Ibadah Ramadhan di Rumah
Pemerintah sejak jauh hari telah berupaya sekuat tenaga menganggulangi pandemi Covid-19 ini. Salah satunya dengan mengeluarkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Kebijakan ini diambil setelah anjuran sosial/physical distancing serta gerakan tinggal di rumah tidak efektif lantaran belum sepenuhnya dipatuhi oleh masyarakat. Di lapangan, masih banyak masyarakat yang keluar rumah untuk alasan yang sebenarnya tidak mendesak. Begitu pula anjuran ibadah di rumah yang sepaket dengan kebijakan pembatasan sosial juga kerap tidak diindahkan oleh sebagian umat Islam.
Sebagian umat Islam menolak anjuran ibadah di rumah dengan berbagai dalih. Yang paling populer tentunya ialah dalih teologis, bahwa manusia hendaknya tidak takut Corona, melainkan hanya takut pada Allah. Suara-suara sumir itu kian kencang di hari-hari terakhir jelang Ramadhan tiba. Ajakan untuk tetap beribadah di masjid kian santer terdengar, baik di media sosial maupun di dunia nyata. Parahnya, ada sejumlah daerah yang tetap membolehkan umat Islam beribadah di masjid selama bulan Ramadhan. Kebijakan yang demikian ini bukan hanya bertentangan dengan aturan pemerintah pusat, namun juga tidak bijak dan membahayakan keselamatan umat.
Kita sudah menyaksikan sendiri bagaimana buah kengeyelansebagian umat Islam yang abai pada aturan pembatasan sosial dalam kasus Ijtima Jamaah Tabligh di Gowa beberapa waktu lalu. Meski acara tersebut dibatalkan, namun para peserta dari sejumlah daerah di Indonesia bahkan dari luar negeri yang mencapai ribuan orang kadung datang dan berkumpul. Imbasnya, seperti kita lihat dalam beberapa pekan terakhir ini, acara tersebut menjadi kluster baru penyebaran virus Covid-19, tidak hanya di Indonesia namun di sejumlah negara. Keberhasilan manusia menanggulangi pandemi Covid-19 ini sangat ditentukan oleh kedisiplinan kita dalam mentaati aturan pembatasan sosial. Salah satunya dengan menjalani ibadah Ramadhan di rumah masing-masing. Jika umat Islam mau menurunkan ego pribadinya dengan menjalani ibadah Ramadhan di rumah, besar kemungkinan pandemi Covid-19 ini akan bisa kita atasi dalam waktu tidak lama lagi. Sebaliknya, Jika sebagian besar umat Islam masih memaksakan kehendak dan egonya untuk tetap beribadah di masjid, dapat dipastikan kita akan menghadapi gelombang pandemi yang lebih parah. Untuk saat ini, menjalani ibadah Ramadhan di rumah merupakan sumbangsih penting yang bisa diberikan oleh umat Islam.