Agama, Spiritualitas, dan Diplomasi Perdamaian

Agama, Spiritualitas, dan Diplomasi Perdamaian

- in Narasi
7
0

Agama ataupun spiritualitas, pada dasarnya adalah juga sebuah media, dan bahkan jalan, yang dapat diendapi oleh berbagai kepentingan yang memang tak bisa dielakkan dalam sebuah kehidupan. Bahkan pun dalam niatnya yang paling suci dan luhur, ia tetap saja digerakkan oleh sebuah kepentingan: ridha Tuhan.

Kepentingan, yang dalam khazanah kebudayaan Jawa dapat disepadankan dengan “karep,” adalah sebentuk azas dalam dalam sebuah kehidupan. Taruhlah dalam pagelaran wayang purwa Jawa yang disimbolisasikan dengan sebuah wayang yang berbentuk piramida, yang lazim disebut sebagai “gunungan” atau “kayon,” yang bermakna pula sebagai “kajeng” (karep) ataupun “hayyun” (hidup). Karena itulah, dalam sebuah pagelaran wayang purwa, kayon selalu digunakan untuk mengawali kisah-kisah pewayangan yang akan digelarkan oleh sang dalang.

Namun, meskipun kehidupan itu tak dapat dipisahkan dari kepentingan, tetap saja pada akhirnya nilai sebuah kehidupan yang dipandang produktif—untuk tak mengatakannya mulia—dalam agama ataupun spiritualitas, adalah sebuah kepentingan yang dapat merangkum segala kepentingan yang barangkali mengendapi: ridha Tuhan.

Secara sekilas, tentu kepentingan ridha Tuhan itu terkesan terlalu jauh atau muluk di sebuah zaman yang memang sedang mendukung segala keraguan akan klaim kesucian ataupun keluhuran. Namun, dalam logika agama ataupun spiritualitas yang praktis-pragmatis, serendah apapun sebuah kepentingan, tanpa ridha Tuhan atau ketepatan kesempatan itu, tak akan tergapai. Ketika pun segala kepentingan itu mental, karena kepentingan ridha Tuhan, pemulihan kejiwaan atas segala kegagalan yang barangkali dialami akan lebih mudah untuk diterima.

Maka dari itu, persuaan antara orang-orang yang dianggap sebagai para pemuka agama ataupun spiritualitas, yang jelas-jelas menyematkan kepentingan yang dianggap paling luhur itu sebagai batu-pijak dari segala langkah-langkah agamis-spiritualnya, adalah sebuah persuaan diplomatis yang kentara lebih agung daripada bentuk persuaan diplomatis lainnya.

Orang tentu akan lebih melongok tanpa kecurigaan pada kedatangan Sri Paus Fransiskus ke Indonesia, ataupun barangkali Dalai Lama dan segala warisan Rumi di dunia Barat, daripada para pemuka ataupun orang-orang yang memang tak harus menyematkan kepentingan yang dianggap paling luhur itu dalam segenap gerak-geriknya.

Maka di sinilah agama dan spiritualitas, sebuah dunia yang jelas-jelas memang menempatkan pengolahan dan penyaringan kepentingan sebagai dasar dari kehidupannya, secara praktis-pragmatis, mendapatkan nilai lebihnya daripada bentuk-bentuk dunia lainnya: ketika sukses adalah sebuah kepantasan dan ketika gagal bukanlah sebuah persoalan.

Bukankah perdamaian—yang maknanya tersemat pada salam sapa semua agama dan spiritualitas—merupakan lambang kesuksesan atau produktifitas hidup, baik individual maupun sosial, dalam beragama, berspiritualitas, dan otomatis berkehidupan? Dan bukankah banyak orang menganggap bahwa kedamaian, setidaknya kedamaian jiwa, akan kongruen dengan produktifitas hidup?

Facebook Comments