Tragedi Tangerang, Sebuah Propaganda Terorisme

Tragedi Tangerang, Sebuah Propaganda Terorisme

- in Narasi
1249
0

Aneh bin ajaib manakala seorang pemuda berinisial SA “nekat” menyerang polisi hanya karena mempertahankan penempelan sticker. Mestinya, ia tak mau berurusan dengan polisi dengan cara menuruti pelarangan penempelan atau bahkan tidak coba-coba ingin menempelkannya. Namun berbeda kasus manakala seorang pemuda berusia 22 tahun ini mengemban “misi suci” (sesuai keyakinan dari kelompoknya) berjihad menegakkan khilafah dengan cara “mengorbankan diri”.

Secara dzahir, khilafah yang selalu diperjuangkan tidak pernah mendapatkan tempat. Tiada wilayah yang siap dijadikan tempat untuk memperjuangkan sekaligus menegakkan khilafah. Di Indonesia sendiri yang notabene berpenduduk muslim terbesar di dunia tidak pernah memberikan restu kepada kelompok khilafis untuk menegakkan “ajarannya”. Pancasila menjadi dasar negara Indonesia yang sudah final. NKRI menjadi harga mati.

Kendati khilafah selamanya tidak pernah mendapatkan wilayah “jajahan”, namun semangat mendirikan negara khilafah sepertinya tak pernah pudar dari para aktivisnya. Maka, beragam upaya dilakukan dalam rangka memperjuangkan ajaran khilafah yang diyakini paling baik. Propaganda terus dilakukan di seluruh penjuru dunia. Karena wilayah nyata tidak bisa dirambah dengan baik, maka dunia maya menjadi wilayah satu-satunya yang dapat dijadikan lahan untuk bercocok tanam. Mereka “mendirikan” negara khilafah sekaligus menyebarkan propaganda melalui dunia maya.

Serangan yang dilakukan oleh SA terhadap beberapa anggota kepolisian di Cikokol Tangerang Banten, pada Kamis (20/10) lalu merupakan rangkain propaganda melalui dunia maya yang dapat dilakukan kelompok radikalis. Terbukti, setelah kejadian menggemparkan ini terdapat aktivis dunia maya yang mengirimkan pesan “berharga” kepada Peneliti Terorisme dan Intelijen dari Universitas Indonesia Ridwan Habib. Sebagaimana dilansir oleh beberapa media, Ridwan mengatakan, “Satu jam setelah serangan terjadi, saya mendapatkan satu bukti komunikasi atau satu telegram chat dari seorang yang kita yakini dia adalah Bahrunaim yang memuji serangan di Tangerang itu. Dia menyatakan bahwa sebuah serangan seorang lone wolf (pelaku teror tanpa berkelompok) bisa menggentarkan polisi di seluruh Indonesia.”

Selain itu, dunia maya juga dibanjiri dengan beragam berita sekaligus komentar akan tidankan SA terhadap kawanan polisi. Bagi aktivis khilafah, mereka memuji “keberanian” (jika tidak boleh dikata “kenekatan”) SA dalam melakukan penyerangan terhadap 3 (tiga) polisi di Tangerang. Mereka memuji kepada SA bahwa dirinya adalah seorang jihadis yang suci dan menjadi teladan bagi para generasi muda lainnya. Mereka menjadikan tragedi ini sebagai materi untuk meningkatkan “keimanan” terhadap ajaran khilafah.

Bermula dari sinilah, generasi muda kita harus selalu waspada. Jangan sampai terkena “bujuk rayu” para aktivis khilafah. Mereka selalu berusaha menebar virus khilafah kepada masyarakat secara masif. Ketika wilayah kekuasaan secara nyata tidak dapat dikuasai, maka mereka menggunakan dunia maya untuk “menguasai” para generasi muda. Analisis kasar, dengan cara semacam inilah, mereka memiliki program yang rapi. Meski sekarang mereka belum bisa menguasi wilayah nyata, namun dengan menyebarkan ideologi yang mereka usung kepada generasi muda secara besar-besaran, ke depan mereka akan memiliki kekuatan yang hebat. Dengan kekuatan inilah, bukan tidak mungkin mereka nantinya akan “berani” menentang negara secara terang-terangan.

Kenyataan pahit semacam ini jangan sampai terjadi di Indonesia. Karena, jika hal ini yang terjadi, maka pertumpahan darah dipastikan akan terjadi. Meski, aktivis khilafah sudah merasa kuat, namun kekuatan kelompok lain juga tetap besar. Para ulama nasionalis dan tradisionalis yang menjunjung tinggi nilai-nilai kelokalan memiliki landasan kuat dalam beragama. Mereka tidak mungkin akan terpikut dengan ajaran khilafah yang diusung oleh kelompok radikalis. Padahal, para ulama nasionalis-tradisionalis juga memiliki santri (sekaligus) pengikut yang setia. Mereka juga siap “berjihad” manakala mendapat perintah atau bahkan restu dari kiainya. Resolusi jihad merupakan contoh konkrit yang tidak dapat dibantah lagi.

Sehingga, menjadi PR bersama adalah, bagaimana umat Islam Indonesia yang ramah terhadap tradisi lokal mampu membentengi para generasi mudanya. Jangan sampai generasi muda yang ada terkena bujuk rayu kelompok radikalis yang ingin mendirikan negara khilafah. Benteng keluarga, pergaulan, serta pendidikan merupakan 3 (tiga) komponen yang mesti selalu disterilkan dari beragam bentuk propaganda kalompok radikalis. Jika di antara salah satu dari ketiganya ada yang bocor, maka virus-virus kalompok radikalis akan dengan mudah “menyerang” generasi muda kita. Dan, benteng ini harus dijaga secara bersama-sama, baik orang tua, masyarakat, ataupun pemerintah (termasuk lembaga pendidikan).

Wallahu a’lam.

Facebook Comments