Mengerikannya Teror Pemikiran

Mengerikannya Teror Pemikiran

- in Narasi
1257
0

Akhir-akhir ini, energi kaum muslim benar-benar terkuras menghadapi Pilkada DKI Jakarta. Yang terbaru tentu saja hiruk-pikuk kesaksian Kiai Ahmad Ishomuddin (intelektual muda Nahdhatul Ulama asal Lampung), terkait pandangannya atas Qs. al-Maidah: 51 yang dinilai sebagian kalangan telah melawan, melabrak dan bahkan menentang pandangan mainstream para kiai sepuh di lingkungan Nahdhatul Ulama (NU) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI); dua ormas keagamaan besar yang menjadi tempatnya beraktivitas.

Tidak hanya pandangannya yang dinilai bermasalah, bahkan hal-hal pribadinya pun dipersoalkan: gelar hajinya, doktornya dan keturunannya. Kiai yang mumpuni dalam kajian kitab kuning klasik (turats) ini lalu dicap anak setan, PKI, bahkan Dajjal. Cap-cap sangat berlebihan yang disematkan (hanya) karena perbedaan cara pandang dan pilihan tafsir keagamaan yang kebetulan beririsan dengan hiruk-pikuk politik.

Aneka teror psikis dan fisik pun segera menderanya, termasuk juga keluarganya. Bahkan konon sekelompok orang yang tidak terima dengan pilihan bertafsirnya mengumpulkan koin yang disebarkan di depan rumah kontrakannya di Lampung. Ini dilakukan sebagai sindiran bahwa yang dilakukan kiai muda ini tak lebih sekedar upaya mencari materi duniawi; hal yang telah disanggahnya dengan tegas dalam tulisan tabayyun-nya usai kesaksiannya.

Teror yang dialaminya, dari berbagai kalangan, tentu akan menyebabkan orang menjadi enggan, malas dan bahkan takut untuk menyuarakan pandangannya yang berbeda. Orangpun ogah-ogahan untuk berfikir serius. Bagi kalangan yang tidak setuju, pandangan apapun haruslah seragam dan karenanya perbedaan dinilai tabu. Cara pandang ini tentu patut dikoreksi karena akan mengebiri produktivitas pemikiran. Hanya orang yang memiliki keberanian tingkat dewa dan bernyali baja yang berani melakukannya, termasuk Kiai Ishomuddin ini.

Bagi Allah Swt, sesungguhnya sangat mudah menyeragamkan makhluknya, baik dari segi agama, suku, bangsa, warna kulit, hobi dan sebagainya. Firman-Nya: “Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat.” (Qs. Hud: 118). Penyeragaman itu tidak dilakukan, karena untuk dinamisasi pemikiran dan cara pandang, sekaligus memberikan gairah kehidupan di bumi ini.

Sebaliknya, naluri kebanyakan manusia ingin penyeragaman. Jika perlu, tak boleh ada peluang berbeda dengan dirinya. Yang berbeda dimusuhi, dicaci, dimaki, direndahkan, didajjalkan, dikafirkan dan bahkan diancam secara fisik dengan menghalalkan darahnya. Dalam sejarah Islam sendiri, banyak yang mengalami pembunuhan sebagai dampaknya yang mengerikan.

Karena berbeda pandangan dengan penguasa perihal khalq al-Qur’an (kemakhlukan al-Qur’an) misalnya, penguasa Mu’tazilah mengintimidasi dan menyiksa Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) secara fisik hingga memenjarakannya. Imam al-Ghazali, Abu Manshur al-Hallaj yang dinilai kontroversial, dan sangat banyak lagi, juga mengalami aneka tekanan karena pandangan-pandangannya yang berbeda. al-Hallaj bahkan konon dihukum gantung.

Akhir-akhir ini, fenomena teror pemikiran kian menjadi-jadi dan kian meluas eskalasinya. Lebih-lebih jika bersinggungan dengan isu politik. Inilah barangkali yang dimaksud oleh Nashr Hamid Abu Zaid sebagai al-takfir fi zaman al-tafkir (pemikiran di era pengafiran). Berbeda sedikit, cap kafir dan aneka cap mengerikan lainnya langsung menempel. Dan yang hobi mencap kafir biasanya kelompok di sayap kanan pemikiran, yang cenderung kaku, rijid, mau menang sendiri dan gemar mengklaim surga hanya untuk dirinya.

Mengacu pada ajaran luhur alquran, kalaupun harus berbeda dan itu sunnatullah belaka, semestinya tidak perlu hingga melakukan teror baik psikis maupun fisik. Qs. al-Nahl: 125 mengajarkan, untuk mengajak pada kebenaran yang diyakininya, maka umat muslim harus menempuh jalan hikmah, nasihat yang luhur dan duel atau adu argumen secara elegan. Hanya itu saja yang ditekankan Islam, tidak lebih.

Sebab, perbedaan yang mengakibatkan munculnya teror pemikiran ini dampaknya bisa luas. Bagi pelakunya, jika penghargaan pada perbedaan tidak lagi ada, maka selangkah lagi ia akan menjadi pelaku radikalisme in action. Dan ini akan menghancurkan kekayaan kebhinnekaan bangsa ini. Ini harus dibendung oleh semua pihak, karena dampak sosialnya sangat merugikan.

Di sisi lain, pemikiran yang dinilai berbeda-beda itu, sesungguhnya telah terjadi sejak dini dan terus muncul tiada henti. Keragaman tafsiran atas Qs. al-Maidah: 51 seperti disinggung di atas, sesungguhnya tidak hanya terjadi pada hari ini saja, melainkan telah berabad-bada silam. Para ulama telah mafhum perbedaan itu. Dan nyatanya tidak menghadirkan ketegangan antar umat Islam, hingga tafsiran ini hadir dan berkelindan dengan isu politik di Pilkada DKI Jakarta.

Yang jelas, karena sifat pemikiran itu relative, maka bukan hak manusia memutlakannya sebagai yang terbenar. Bisa saja, pemikiran “ganjil” yang di suatu zaman dinilai melawan mainstream, di zaman yang lain justru digandrungi dan menjadi mazhab baru. Saya tertarik dengan kutipan Kiai Husein Muhammad dalam tulisannya yang mengutip ujaran Amin al-Khuli: “Terkadang sebuah pemikiran dianggap sebagai kekafiran, diharamkan dan diperangi. Tetapi seiring dengan gerak zaman, ia menjadi mazhab bahkan ideologi dan gagasan yang maslahat, yang akan menyertai kehidupan yang terus melangkah ke depan”.

Facebook Comments