Merawat Kebhinekaan Lewat Pendidikan Literasi Cinta Damai

Merawat Kebhinekaan Lewat Pendidikan Literasi Cinta Damai

- in Narasi
2371
0

Derasnya arus Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) tak hanya menimbulkan dampak positif, tetapi juga mulai memicu efek negatif. Laju kilat TIK ini membuat informasi tumpah ruah. Tapi di sisi lain, malah justru menebar kesesahan masyarakat dan mengancam perdamaian. Belakangan ini, media sosial (medsos) ataupun konten yang ada di jagat maya banyak berisi ujaran kebencian dan umpatan. Hal ini tentu juga akan dapat merusak kebhinekaan.

Apalagi, saat ini banyak konten hoax yang sengaja dibuat untuk memecah belah umat. Penelitian van der Bilt, Universitas Tennessee membuktikan bahwa berita hoax akan mulai dipercaya apabila kerap dibagikan. Lambat laun berita ini akan mempengaruhi opini publik. Berita hoax juga sangat rentan digunakan oleh oknum yang tak bertanggung jawab untuk sarana mengadu domba, bahkan perang saudara. Belum lagi berbagai konten tak mendidik yang membawa pada degradasi moral generasi bangsa. Banyak pelajar kita ikut-ikutan tawuran dan melakukan kekerasan lantaran meniru informasi sesat di internet atau menonton acara TV.

Berbagai konten tindakan anti-perdamaian ini tentu harus diberantas tyuntas sampai ke akar-akarnya, supaya kebhinekaan tetap terjaga. Masyarakat sebagai konsumen informasi di dunia maya perlu dibina literasi medianya. Sosialisasi atau pembinaan terkait antisipasi permusuhan dan gerakan cinta damai harus selalu digencarkan kepada seluru lapisan masyarakat.

Pendidikan literasi cinta damai penting bagi masyarakat dalam mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan memproteksi diri dari informasi yang dapat mengundang keresahan, bahkan perpecahan suku ataupun golongan. Sudah saatnya masyarakat Indonesia mampu menjadi generasi digital native yang cerdas dalam mengakses informasi di jagad maya. Jangan terlalu gegabah dan tidak asal share informasi yang mengandung konten anti-kebhinekaan.

Berdasarkan permasalahan di atas, sistem pendidikan di Indonesia dewasa ini lebih menitikberatkan pada pendidikan karakter. Di era informasi seperti saat ini tentu harus diimbangi dengan implementasi pendidikan literasi. Hal ini sangat penting agar peserta didik sedari dini mampu menjaring berita anti-kebhinekaan yang beredar di medsos. Pasalnya, tidak dipungkiri bahwa pelajar dan mahasiswa merupakan pengguna terbesar internet serta medsos. Karenanya, sudah saatnya pendidikan karakter harus berbenah dan direvolusi.

Revolusi dalam pendidikan literasi juga dapat dilakukan dengan langkah konkrit seperti membaca kritis dan menulis etis. Sebagaimana diungkapkan Fisher (1993) bahwa literasi merupakan kegiatan membaca-berpikir-menulis. Ini artinya, peserta didik wajib diarahkan dan dilatih untuk membaca dan berpikir secara kritis. Jangan mudah percaya konten yang ada dimedsos. Harus melalui berbagai pertimbangan dan konfirmasi kevalidan kebenarannya. Literasi cinta damai yang perlu dikedepankan dalam membuat dan membagikan informasi.

Begitupun dalam hal menulis harus merujuk sense of peace. Ujaran kebencian harus dihindari. Ini semua tentu harus dikenalkan kepada peserta didik sejak dini. Kalau sekolah menerapkan pola membaca-berpikir-menulis ini, maka akan terbentuk karakter berpikir tingkat tinggi (high order thinking).

Dari paparan tersebut, telah jelas bahwa pendidikan literasi cinta damai memainkan peranan penting agar teknologi informasi tepat sasaran dan minim penyalahgunaan. Beriata hoax yang dapat mengkikis kebinekaan pun bisa diantisipasi dan kita basmi. Pendidikan literasi cinta damai hendaknya dimulai sedari kecil, agar terbentuk generasi digital native yang tak hanya melek media. Namun, juga paham etika dan aturan bermedsos, bijak dalam membaca dan menulis, serta berpikir kritis.

Untuk mewujudkan itu semua tentu memerlukan langkah nyata di dalam praktik pendidikan, mulai dari pendidikan keluarga, sekolah, sampai lingkungan masyarakat. Keluarga sebagai sekolah pertama dengan ibu-bapak sebagai gurunya memegang peranan vital membentuk karakter anak. Orang tua harus bisa menjadi kontrol bagi anak-anaknya dalam penggunaan internet dan medsos. Orang tua juga harus bisa membatasi anaknya untuk tidak kecanduan internet serta meningkatkan pengawasan kepada mereka dalam berinternet atau bermedsos. Beri pemahaman kepada mereka mana konten yang baik dan mana yang jelek.

Sementara pendidikan literasi di sekolah bisa dilakukan menggencarkan budaya literasi cinta damai dan pembelajaran kritis. Masyarakat juga harus bisa menjadi kontrol dan filter informasi yang beredar. Bila ada situs atau oknum yang menebar hoax atau informasi yang dapat merusak kebhinekaan, harus segera dilaporkan. Dengan adannya sinergitas antara pemerintah dengan masyarakat, harapannya perdamaian akan dapat terwujud, kebhinekaan pun dapat terawat.

Facebook Comments