Menjelang hari pencoblosan Pilkada 2024, tepatnya di masa tenang kampanye, muncul salinan fatwa MUI Jawa Tengah tentang Pilkada 2024. Yang mengejutkan, di salah satu poin dalam fatwa tersebut, terdapat penegasan bahwa pemeluk agama Islam wajib memilih calon pemimpin seakidah, serta memperjuangkan kepentingan syiar Islam.
Kemunculan fatwa bernuansa suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) itu bukan bukti pertama munculnya isu SARA di Pilkada tahun ini. Sebelumnya, salah satu politisi pendukung salah satu pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur dalam Pilgub Jakarta, mengeluarkan pernyataan bernuansa SARA. Politisi tersebut menyebut pasangan calon gubernur dan wakil gubernur tertentu bakal ditinggalkan pendukung non-muslim karena didukung tokoh tertentu.
Pilgub Jawa Barat juga tak bersih dari isu SARA. Salah satu calon gubernur dituduh bukan Muslim, bahkan tidak beragama, hanya karena yang bersangkutan kerap memperjuangkan pelestarian kebudayaan sukunya. Isu SARA juga sempat melanda Pilkada Pangkalpinang. Salah satu Calon Wali Kota Pangkalpinang dipertanyakan keislamannya, hanya karena yang bersangkutan pernah menghadiri kegiatan di tempat ibadah agama lain.
Masih munculnya isu SARA dalam Pilkada tahun ini, membuktikan bahwa proses politik di masa transisi demokrasi atau pascs otoritarian, kerap melahirkan kepentingan berbau sektarian di kalangan elit dan kekuatan politik. Sebab, suara yang menentukan terpilihnya suatu kepemimpinan dalam demokrasi adalah suara mayoritas atau golongan tertentu.
Sehingga, kaum elit maupun kekuatan politik yang ingin memenangkan kontestasi elektoral, harus mampu meraup suara mayoritas atau golongan tertentu yang menentukan kemenangan. Di sinilah, isu SARA atau sektarianisme rentan digunakan untuk membangun kekuatan politik guna meraih kemenangan dalam kontestasi. Dan cara-cara elit maupun kekuatan politik tertentu dalam menarik sentimen SARA tersebut, seringkali mengganggu proses pematangan demokrasi.
Jack Snyder, dalam bukunya ‘From Voting to Violence: Democratization and Nationalist Conflict’, mengungkapkan seringkali ada keterkaitan antara demokratisasi dan konflik dengan apa yang dia sebut sebagai ‘nasionalisme SARA’. Dalam demokratisasi, kerap muncul kekuatan politik yang berupaya meraih legitimasi dari publik dengan cara mengobarkan benturan ras, agama, suku maupun golongan.
Itulah cara kerja ‘Nasionalisme SARA’. Nasionalisme macam ini digunakan untuk memasukkan dan mengeluarkan orang dari term nasionalis. Padahal sejatinya cara berpikir ini bersifat rasis, bukan nasionalis. Sehingga, ketika elit atau kekuatan politik yang berbasis Nasionalisme SARA berkuasa, justru kebijakannya sama sekali tak mencerminkan nilai-nilai demokrasi dan bahkan nasionalisme modern yang berbasiskan penghargaan pada kebebasan dan keberagaman identitas. Kajian Snyder pun mengungkapkan sebagian besar negara-negara yang dilanda konflik SARA selama dasawarsa 1990-an adalah negara yang sedang mengalami demokratisasi. Mirip dengan Indonesia sejak 1998 hingga kini.
Riset Snyder juga mengungkapkan bahwa konflik dan pertikaian SARA, umumnya dimulai dengan menyempitnya kebebasan politik atau kebebasan sipil. Situasi ini dilandasi oleh menguatnya rasialisme, yang menjadi penyubur bagi nasionalisme SARA. Isu SARA, yang dilahirkan nasionalisme SARA memang bertentangan dengan prinsip demokrasi dan kebangsaan. Sentimen SARA cenderung mengistimewakan satu tokoh atau kelompok tertentu dalam kontestasi demokrasi. Seakan-akan, kelompok tertentu itulah yang paling berhak mengelola negara.
Hal itu tampak dari fatwa MUI Jawa Tengah, atau pihak manapun yang mempropagandakan ‘pilih pemimpin seiman atau seagama’. Hasilnya, segregasi dan polarisasi dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat pun merebak. Di sisi lain, kebhinekaan serta kebangsaan justru melemah.
Isu SARA juga bertentangan dengan Pancasila. Sebab Pancasila lahir bukan untuk mengembangkan sektarianisme serta primordialisme yang menjadi bahan bakar isu SARA atau Nasionalisme SARA. Pancasila sejatinya lahir untuk menumbuhkan kesetaraan, kemanusiaan, kerakyatan, keadilan serta gotong-royong diantara semua warga negara tanpa memandang latar belakang identitas.
Substansi Pancasila, serupa dengan apa yang dinamakan oleh intelektual Amerika Serikat, Kim Holmes sebagai nasionalisme sipil. Nasionalisme macam ini dibangun dengan berbasiskan persatuan bangsa dan kesetaraan warga negara tanpa melihat jenis suku, ras, warna kulit, keturunan dan agama. Nasionalisme Sipil inilah yang harus kita perkuat. Dengan Nasionalisme Sipil ala Pancasila, nasionalisme SARA berbasis sektarianisme akan memudar.