Ketika Ormas Menyimpang dari Fungsi Idealnya; Bagaimana Menyikapinya?

Ketika Ormas Menyimpang dari Fungsi Idealnya; Bagaimana Menyikapinya?

- in Narasi
7
0
Ketika Ormas Menyimpang dari Fungsi Idealnya; Bagaimana Menyikapinya?

Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memberikan ruang cukup luas bagi kebebasan berserikat dan berkumpul. Hal ini tercermin dari banyaknya organisasi kemasyarakatan (ormas) yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat. Dalam lanskap sosial-politik Indonesia, ormas—terutama yang berbasis keagamaan—menempati posisi yang cukup penting. Tidak hanya sebagai penyambung aspirasi umat, tetapi juga sebagai aktor pembangunan sosial yang menjangkau wilayah yang sering luput dari perhatian negara.

Ormas keagamaan di Indonesia mengalami perkembangan yang pesat, terutama setelah era reformasi. Reformasi seperti membuka kran kebebasan yang sebelumnya terhambat di era Orde Baru. Ruang demokrasi yang terbuka menyebabkan lahirnya ratusan ormas baru, termasuk yang berbasis agama. Hal ini, pada satu sisi, menunjukkan bahwa masyarakat sipil Indonesia cukup aktif dan berpartisipasi dalam kehidupan berbangsa. Akan tetapi, di sisi lain, muncul pula berbagai ormas yang justru menampilkan wajah eksklusif, menolak keberagaman, dan dalam banyak kasus, justru memproduksi konflik horizontal yang memecahbelah.

Sebagian ormas keagamaan yang lahir atau tumbuh pasca-reformasi tidak benar-benar berangkat dari kebutuhan umat yang riil, melainkan dari dorongan ideologis kelompok tertentu yang ingin menguasai ruang publik. Mereka mengklaim sebagai representasi suara umat, namun dalam praktiknya sering kali tidak menyuarakan kepentingan masyarakat secara umum. Ormas seperti ini justru menebarkan narasi yang memecah belah, mengkafirkan kelompok lain, menolak prinsip-prinsip demokrasi, bahkan secara terbuka menyuarakan sistem pemerintahan alternatif seperti khilafah yang bertentangan dengan dasar negara Indonesia.

Yang lebih mengkhawatirkan adalah ketika ormas keagamaan ini mulai merambah dunia pendidikan, lembaga keagamaan, dan media sosial untuk menyebarkan ajaran-ajaran radikal. Mereka masuk melalui program pengajian, pelatihan kader, hingga produksi konten dakwah digital yang menyasar generasi muda. Menggunakan simbol agama dan retorika keadilan, mereka menyusup ke tengah masyarakat dengan misi ideologis yang jauh dari semangat toleransi dan kebinekaan. Dalam konteks ini, ormas tidak lagi menjadi saluran aspirasi umat, melainkan alat mobilisasi ideologi yang bertentangan dengan konstitusi.

Sayangnya, dalam banyak kasus, ormas-ormas semacam ini berlindung di balik konstitusi, memanfaatkan kebebasan berserikat untuk menjalankan agenda-agenda eksklusif. Mereka tidak segan menekan pemerintah dengan dalih pelanggaran hak asasi, padahal aktivitas mereka sendiri justru mengancam hak warga negara lain yang berbeda pandangan. Kebebasan berserikat memang dijamin, tetapi bukan berarti kebebasan untuk menyebarkan kebencian dan memecah persatuan bangsa juga diperbolehkan. Menyebarkan kebencian dan permusuhan di antara sesama anak bangsa adalah tindakan terlarang yang dapat merusak demokrasi.

Indonesia adalah negara yang berdiri di atas fondasi keberagaman. Keberagaman itu hanya bisa bertahan jika setiap komponen bangsa—termasuk ormas—memahami batas kebebasan dan tanggung jawabnya. Ormas keagamaan seharusnya menjadi sumber inspirasi, bukan sumber ketakutan dan perpecahan umat. Menyikapi ormas yang menyimpang tidak cukup hanya dengan aturan hukum, tetapi juga dengan kesadaran kolektif untuk menjaga Indonesia sebagai ruang hidup bersama yang aman, harmonis, dan adil bagi semua.

Facebook Comments