Di era digital seperti sekarang ini, anak-anak tidak hanya tumbuh bersama perangkat teknologi, tetapi juga bersama informasi yang mengalir tanpa henti dari berbagai kanal media sosial. Fenomena ini membawa manfaat sekaligus risiko besar. Salah satu risiko yang sangat mengkhawatirkan adalah paparan terhadap narasi kebencian yang menyusup melalui konten-konten viral, video pendek, meme, dan komentar-komentar bernada provokatif. Media sosial telah menjadi ruang tanpa pagar yang memungkinkan siapa pun—termasuk anak-anak—untuk terpapar ujaran kebencian, hoaks, dan propaganda ideologis yang penuh prasangka.
Virus kebencian digital bukanlah sekadar metafora. Ia menyebar layaknya virus biologis, menyerang daya pikir, menggerogoti empati, dan merusak daya nalar anak-anak.
Dalam jangka panjang, kebencian yang terus dipupuk dan dibiarkan tumbuh dapat menciptakan generasi yang mudah marah, intoleran, dan berpandangan sempit. Ketika anak-anak lebih banyak belajar tentang “siapa musuh” ketimbang “bagaimana berdialog dengan yang berbeda,” maka sesungguhnya kita sedang menggali lubang besar untuk masa depan kebangsaan kita.
Ironisnya, narasi kebencian di media sosial sering kali tampil sangat meyakinkan, lengkap dengan bumbu agama, nasionalisme, atau bahkan moralitas palsu. Banyak anak yang belum memiliki ketahanan berpikir kritis dengan mudah mempercayai narasi semacam itu.
Apalagi ketika algoritma media sosial bekerja bak mesin pencetak kebencian dengan hanya menyuguhkan konten-konten sejenis yang sudah pernah ditonton oleh anak-anak sebelumnya. Akibatnya, anak-anak terperangkap dalam efek “echo chamber” tanpa ujung yang membuat anak-anak merasa bahwa dunia benar-benar sesempit dan segelap itu.
Memanfaatkan Eksistensi AI
Dalam konteks ini, kecerdasan buatan (AI) bisa menjadi harapan baru. AI seperti ChatGPT, Deepseek, atau Grok, meskipun tidak sempurna dan tetap memerlukan pendampingan, dapat menjadi teman dialog yang relatif netral. AI tidak memiliki kepentingan ideologis, afiliasi politik, atau hasrat membenci golongan dan kelompok-kelompok tertentu.
Justru sebaliknya, AI dirancang untuk memberikan jawaban yang rasional, seimbang, dan berbasis data. Anak-anak yang mengalami kebingungan atau bahkan diam-diam memendam kebencian karena terpapar konten-konten digital yang beracun, dapat dibimbing untuk berdialog dengan AI guna mencari jawaban yang lebih sehat dan membangun.
Misalnya, ketika seorang anak bertanya kepada AI: “Benarkah semua non-Muslim membenci Islam?”, AI tidak akan menjawab dengan generalisasi berbahaya. Sebaliknya, AI akan menjelaskan bahwa kebencian tidak bisa disematkan pada satu kelompok agama secara keseluruhan, dan bahwa dunia ini dipenuhi oleh insan-insan baik dari berbagai latar belakang.
AI akan mendorong lahirnya pemahaman bahwa keberagaman bukanlah ancaman, tetapi anugerah yang harus dirawat. Di titik ini, AI bisa berfungsi sebagai penjernih pikiran, memberikan ruang kontemplatif yang sering kali tidak anak dapatkan di dunia digital.
Namun tentu saja, AI bukanlah solusi ajaib yang serta-merta menyelesaikan masalah. Pendekatan berbasis AI harus didukung oleh kesadaran orang tua dan pendidik. Mereka perlu menjadi fasilitator yang memperkenalkan AI bukan sebagai alat hiburan semata, tetapi sebagai medium pembelajaran, eksplorasi, dan dialog. Anak-anak perlu dibimbing bagaimana mengajukan pertanyaan dan bagaimana memverifikasi jawaban yang mereka peroleh dari AI. Ini juga menjadi momentum emas untuk menanamkan literasi digital sejak dini.
Pengawasan tetap menjadi elemen penting. AI tetaplah mesin yang dikendalikan oleh manusia di baliknya. Kemungkinan munculnya bias, kesalahan informasi, atau penggunaan AI untuk tujuan manipulatif tetap ada. Maka, membekali anak dengan sikap kritis dalam berinteraksi dengan teknologi adalah bagian tak terpisahkan dari upaya penyelamatan ini. Orang tua harus memastikan bahwa AI bukan pengganti peran mereka dalam mendidik, melainkan mitra strategis untuk membantu anak-anak menghadapi tantangan zaman.
Lebih jauh, penggunaan AI dalam konteks ini juga bisa menjadi jembatan untuk memperbaiki relasi komunikasi antara anak dan orang tua. Alih-alih melarang anak menggunakan media sosial atau teknologi, akan lebih bijak jika orang tua mengajak anak berdiskusi: “Apa yang kamu lihat di TikTok hari ini? Apakah ada hal yang membuatmu bingung atau marah?” Dari percakapan semacam ini, orang tua dapat mengarahkan anak untuk bertanya lebih lanjut kepada AI, lalu mendiskusikan kembali hasilnya bersama. Proses ini membangun ekosistem edukatif yang partisipatif, reflektif, dan saling menguatkan.
Dengan panduan yang tepat, anak-anak bisa tumbuh menjadi pribadi yang berpikiran terbuka, berempati, dan bijaksana dalam menggunakan teknologi. Di tengah ancaman virus kebencian yang mengintai dari layar-layar kecil mereka, mari kita pastikan ada cahaya bimbingan yang tak pernah padam—dan AI, dengan segala keterbatasannya, bisa dimanfaatkan untuk menjadi bagian dari cahaya itu, cahaya yang membawa kesejukan dalam beragama.