Kenalkan Urgensi Perdamaian pada Santri-santri TPA

Kenalkan Urgensi Perdamaian pada Santri-santri TPA

- in Narasi
1314
0

Bagi aktivis masjid, tentu tak asing dengan lagu-lagu Islami bagi anak kecil yang biasa dilantunkan sewaktu pengajaran di TPA. Biasanya, lagu-lagu tersebut digunakan sebagai media untuk menyampaikan materi keagamaan yang asyik dan menyenangkan, serta mudah melekat dalam ingatan anak kecil.

Karena sangat mudah melekat di benak anak-anak yang masih fitrah, maka sudah menjadi tugas aktivis masjid untuk berhati-hati. Jangan sampai lagu-lagu yang diajarkan mengandung muatan yang mengarah pada kekerasan, misalnya dengan kalimat “Islam Islam Yes, Kafir Kafir No!” Kalimat tersebut, disadari atau tidak, menjadi doktrin kepada anak kecil, bahwa ia tidak boleh berteman dengan orang ‘kafir’ dalam artian nonmuslim.

Padahal, tidak ada larangan dalam Islam untuk bergaul dengan nonmuslim. Bahkan, selama itu tidak menyangkut akidah, seorang muslim amat diperbolehkan bergaul dengan nonmuslim, untuk bersama-sama membangun peradaban yang maju. Indonesia juga dibangun di atas pondasi perbedaan, yang disatukan dengan Pancasila.

TPA sebagai basis pendidikan nonformal bisa dimanfaatkan untuk mengenalkan nilai-nilai perdamaian kepada santri-santrinya. Hal ini penting, karena merekalah kelak yang akan meneruskan estafet kepemimpinan Indonesia. Jika sedari dini telah dikenalkan pentingnya hidup rukun melalui lagu-lagu yang asyik dan menyenangkan, niscaya kelak setelah dewasa, anak-anak akan tumbuh menjadi generasi yang cinta damai.

Maka penting kiranya bagi aktivis masjid untuk mengampanyekan perdamaian melalui TPA. Sasaran mereka jelas, yaitu anak kecil yang notabene masih sangat mudah ‘didoktrin’. Berikan pemahaman kepada mereka bahwa perbedaan adalah sunnatullah, yang harus dikelola, bukan diseragamkan. Tentu saja, disampaikan dengan bahasa yang sederhana dan menyenangkan, salah satunya melalui media lagu-lagu Islami.

Kenalkan Islam yang Ramah

Islam itu agama yang ramah, bukan diajarkan dengan marah-marah. Diturunkan dengan membawa rahmat untuk seluruh alam, bukan sekadar rahmat bagi kaum muslimin. Karenanya, tidak dibenarkan jika ada oknum atau kelompok yang mendakwahkan Islam dengan jalan kekerasan. Jika ada, berarti oknum atau kelompok tersebut belum mendalami ajaran Islam sampai ke akar-akarnya.

Sebagaimana diketahui, bahwa Rasulullah Saw. diutus Allah Swt. untuk menyempurnakan akhlak. Artinya, dalam berdakwah, akhlaklah yang diutamakan, kemudian disusul dengan syariat-syariat Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits, serta penafsiran-penafsirannya. Betapa bahaya seseorang yang mendahulukan pemahaman fikihnya di atas akhlak. Orang-orang yang menganggap madzab yang dianutnya paling benar dan menyalahkan yang lain, cenderung sulit beradaptasi dengan lingkungan. Jika demikian, tentu akan menghambat proses dakwah Islam.

Menganggap pemahaman atau madzhab fikihnya paling benar, bisa memicu konflik di masyarakat. Padahal, fikih adalah produk ulama-ulama, sehingga dilihat dari kelahirannya pun diwarnai dengan ikhtilaf, perbedaan (Jalaluddin Rahmat: 2007). Jika kita mau membuka lembaran sejarah juga akan menemukan kebesaran hati para ulama fikih, yang meski berbeda pendapat tetapi tetap bisa hidup rukun.

Betapa indahnya jika apa yang dilakukan ulama terdahulu, juga bisa kita amalkan di masa sekarang. Bolehlah kita berbeda dalam memaknai ayat-ayat al-Qur’an dan al-Hadits, tapi di atas itu semua, kita tetap menjunjung persaudaraan. Satu hal yang mesti diyakini bahwa setiap agama mengajarkan kebaikan kepada pemeluknya. Apalagi agama Islam, yang dalam sejarahnya merupakan penyempurna bagi agama-agama yang datang sebelumnya.

Ada satu kisah menarik yang dikisahkan Ahmad Syafi’i Ma’arif (Haidar Musyafa: 2016) berkaitan dengan toleransi. Ia mengisahkan tentang uniknya toleransi Buya Hamka dan KH. Idham Khalid. Buya Hamka sebagai Muhammadiyah tulen, sedangkan KH. Idham Khalid Ketua PBNU. Mereka berdua menjalin persahabatan.

Jika mereka berdua mendapat tugas dakwah di luar kota bersama, saat tiba waktunya shalat, mereka selalu bergantian menjadi imam. Saat shalat Subuh misalnya, jika Buya Hamka menjadi imam shalat, maka beliau membaca doa qunut. Hal ini untuk menghormati KH. Idham Khalid, yang membaca qunut setiap kali shalat Subuh.

Begitu juga ketika KH. Idham Khalid yang bertugas sebagai imam shalat, ia tidak membaca doa qunut dalam shalat Subuhnya. Hal ini juga sebagai tanda hormat beliau kepada sahabatnya, Buya Hamka, yang tidak memakai qunut saat shalat Subuh.

Toleransi yang dicontohkan tokoh dari dua organisasi Islam terbesar di Indonesia ini patut kita teladani. Bahwa perbedaan pandangan keagamaan tidak membuat mereka saling bermusuhan, justu sebaliknya, bisa bersahabat dengan rukun. Teladan mereka tentu muncul dari pemahaman keislaman yang mendalam, bahwa fikih tidak perlu dipersoalkan. Berbeda madzhab adalah sebuah keniscayaan dan merupakan sesuatu yang telah digariskan Allah Swt.

Kisah-kisah teladan seperti inilah yang mestinya diceritakan kepada anak-anak, khususnya di TPA. Bukan kisah peperangan yang lebih banyak menonjolkan kekerasan. Dengan demikian, anak akan tumbuh menjadi pribadi yang cinta damai.

Facebook Comments