Perbedaan hari raya Idulfitri antara Muhammadiyah dan Pemerintah terus memunculkan polemik. Terbaru, seorang peneliti pada Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Andi Pangerang Hasanuddin mengeluarkan statemen atau pendapat dengan nada mengancam dan penuh kebencian kepada warga Muhammadiyah.
”Perlu saya halalkan gak nih darahnya semua Muhammadiyah? Apalagi Muhammadiyah yang disusupi Hizbut Tahrir melalui agenda kalender Islam global dari Gema Pembebasan? Banyak bacot emang!!! Sini saya bunuh kalian satu-satu. Silakan laporkan komen saya dengan ancaman pasal pembunuhan! Saya siap dipenjara. Saya capek lihat pergaduhan kalian,” tulis Andi pada kolom komentar Facebook.
Statemen atau kritik yang disampaikan Andi Pangerang Hasanuddin itu diketahui merupakan tanggapan atas status Facebook yang ditulis Profesor Riset Astronomi dan Astrofisika BRIN, Thomas Djamaluddin yang mengaku heran dengan warga Muhammadiyah yang tak taat dengan keputusan hari raya idulfitri yang ditetapkan oleh pemerintah.
Padahal, dalam pandangan Thomas Djamaluddin, sebagai Ormas, Muhammadiyah seharusnya taat dan patuh pada keputusan pemerintah sebagai mana disebutkan dalam QS. An-Nisa ayat 59: “Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu” (QS. An-Nisa 59).
Arogan dan Penuh Kebencian
Islam tidak melarang para pemeluknya untuk memberi pendapat (mengkritik) atas apa yang menurutnya salah. Akan tetapi, Islam juga tidak membenarkan apabila kritik dan pendapat itu disampaikan dengan penuh ancaman dan kebencian. Islam mengajarkan umatnya untuk mengkritik secara santun, tidak provokatif, dan tidak penuh dengan kebencian.
Terlebih, pihak terkait adalah seorang peneliti dalam di institusi terkemuka seperti BRIN. Seharusnya, sebagai seorang intelektual, Thomas Djamaluddin dan Andi Pangerang Hasanuddin memberi contoh kepada khalayak perihal bagaimana menyampaikan pendapat atau kritik yang santun, bukan dengan narasi yang penuh kebencian.
Apa pun alasannya, memberi pendapat atau mengkritik sebuah persoalan dengan menggunakan narasi-narasi yang mengancam tetaplah tidak bisa dibenarkan. Sebab, alih-alih menyelesaikan masalah, kritik dengan menggunakan narasi kebencian hanya akan semakin memperkeruh suasana, memantik api permusuhan dan mendorong perpecahan umat.
Singkat kata, pendapat atau kritik yang disampaikan dengan penuh kebencian tidak akan menyelesaikan masalah. Sebaliknya, hal itu hanya akan menimbulkan masalah baru dalam kehidupan sosial-kebangsaan kita. Karena itu, seharusnya dua pihak yang bersangkutan itu berpikir dua kali sebelum mengeluarkan kritik yang bernada ancaman tersebut.
Namun beruntung, kedua pihak yang bersangkutan telah meminta maaf kepada pengurus dan warga Muhammadiyah. Yang artinya mereka segera menyadari kesalahan yang mereka perbuat. Kita berharap, dengan adanya klarifikasi itu, persoalan ini tidak berbuntut panjang yang bisa memecah belah kerukunan umat beragama di Indonesia.
Akan tetapi, terlepas dari klarifikasi dan permintaan maaf itu, apa yang dilakukan dua sosok intelektual itu harus menjadi pelajaran berharga bagi kita semua. Bahwa dalam memberikan pendapat atau kritik, kita tak boleh sembarangan menggunakan narasi-narasi yang mengancam kelompok tertentu. Sebab, hal itu hanya akan memantik api permusuhan.
Pun kita adalah seorang intelektual, akademisi, dan peneliti, yang katakan lah memiliki intelektualitas yang lebih dari masyarakat pada umumnya, namun kita tidak boleh arogan dengan menjustifikasi bahwa kelompok tertentu salah dan dianggap halal darahnya. Hal semacam itu tak akan berdampak positif dan tidak akan memberi sumbangan apa-apa pada kehidupan sosial-kebangsaan kita kecuali perpecahan dan konflik tanpa akhir.