Dilema Demokrasi: Antara Kritik dan Provokasi

Dilema Demokrasi: Antara Kritik dan Provokasi

- in Narasi
1008
0
Dilema Demokrasi: Antara Kritik dan Provokasi

Melihat situasi sosial-politik belakangan ini, harus diakui bahwa demokrasi kita berada dalam situasi dilematis. Dalam isu pembatalan haji tempo hari misalnya. Meski pemerintah Arab Saudi telah memutuskan kuota haji hanya diberikan pada jamaah domestik dan ekspatriat, namun nada sumir masih saja terdengar. Masih saja ada pihak yang menyebut pemerintah Indonesia seharusnya menunggu kebijakan Arab Saudi sebelum membatalkan pemberangkatan haji 2021.

Barangkali inilah konsekuensi demokrasi. Kita dipaksa menerima apa pun opini yang berkembang atas nama kebebasan berpendapat. Filosof Arjun Appaduray mengibaratkan demokrasi seperti lahan subur dimana segala tanaman bisa tumbuh di atasnya, termasuk rumput dan gulma. Demokrasi, menurut Arjun akan selalu menampakkan wajah dilematis.

Di satu sisi, demokrasi membutuhkan kritik sebagai pupuknya. Namun, di sisi lain demokrasi juga harus dijauhkan dari provokasi yang tidak lain merupakan hama. Ironisnya, dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara masih ada pihak yang tidak bisa menarik garis demarkasi antara kritik dan provokasi. Alhasil, ujaran kebencian, provokasi bahkan hoaks kerap dianggap sebagai bagian dari kritik yang wajar dalam negara demokrasi.

Pewajaran ini menimbulkan kondisi dilematis bagi demokrasi kita. Dua puluh tahun lebih kita melakukan membangun demokrasi sebagai salah satu agenda Reformasi 1998. Berakhirnya Orde Baru yang otoriter sempat membuat kita optimis akan konsolidasi demokrasi. Namun, sayangnya konsolidasi demokrasi itu mengalami turbulensi di tengah jalan.

Mobokrasi dan Populisme Islam

Salah satu penyebab turbulensi demokrasi itu ialah kebangkitan populisme Islam. Burhanudin Muhtadi dalam bukunya Populisme, Politik Identitas dan Dinamika Elektoral, menjelaskan bahwa populisme Islam yang berkembang di Indonesia dalam sekira lima tahun terakhir ini merupakan pengejawantahan dari politisasi agama (Islam) yang memang sudah menggejala sejak awal era Reformasi. Di awal era Reformasi, politisasi agama mewujud ke dalam agenda formalisasi syariah yang diusung oleh sejumlah partai politik berhaluan Islam.

Di masa sekarang, manifestasi politisasi agama (Islam) itu tampak dalam gerakan politik yang mengatasnamakan kepentingan umat. Mereka memobilisasi massa dengan jalan membangun sentimen negatif publik terhadap pemerintah. Cara-cara yang lazim dipakai ialah dengan menyebarkan hoaks, ujaran kebencian dan provokasi, utamanya melalui kanal-kanal media sosial. Mereka membajak ruang publik dengan memproduksi narasi-narasi yang bertujuan mendeskreditkan pemerintah.

Populisme Islam bukanlah wujud dari demokrasi yang sesungguhnya, melainkan pengejawantahan dari mobokrasi. Yakni fenomena mobilisasi massa untuk menekan pemerintah agar menuruti agenda mereka. Dalam setiap manuvernya, kaum populis Islam selalu mengatasnamakan umat, padahal sesungguhnya mereka tengah memperjuankan agenda politis-ideologis. Mobokrasi juga kian mengaburkan perbedaan antara kritik dan provokasi.

Edukasi (Politik) Publik

Situasi dilematis ini idealnya direspons dengan memaksimalkan kerja penguatan demokrasi berbasis edukasi (politik) publik. Demokrasi yang kuat dan stabil mensyaratkan adanya pendidikan politik bagi publik yang sistematis dan berkelanjutan. Demokrasi bukanlah benda mati yang statis, melainkan sebuah agenda kerja yang bersifat dinamis. Maka, mengikuti logika Arjun Appaduray, merawat demokrasi idealnya dilakukan layaknya kita merawat lahan; sesekali kita perlu menyiangi rumput atau gulma yang mengganggu.

Kritik yang konstruktif sebagai vitamin demokrasi harus kita rawat bersama. Sebaliknya, provokasi yang merupakan virus demokrasi harus kita basmi. Hoaks, kebencian dan provokasi yang kadung menjadi narasi politik di media sosial saat ini harus dilawan dengan narasi tandingan yang lebih konstruktif. Dalam konteks inilah, masyarakat sipil sebagai kekuatan penyeimbang negara idealnya tampil menjadi lokomotif yang menarik gerbong konsolidasi demokrasi dengan memproduksi wacana kritis yang produktif, konstruktif dan solutif.

Masyarakat sipil mengemban peran ganda; di satu sisi sebagai kekuatan check and balances pemerintah dan di sisi lain sebagai penjaga demokrasi. Dalam perannya sebagai kekuatan penyeimbang pemerintah, masyarakat sipil dituntut mampu mengawasi kinerja pemerintah dengan paradigma kritisisme. Sedangkan dalam perannya sebagai penjaga demokrasi, masyarakat sipil diwajibkan untuk mengahalau setiap ancaman demokrasi, termasuk hoaks, provokasi dan ujaran kebencian.

Maka sudah seharusnya, ruang publik kita diiisi oleh opini yang membangun, bukan provokasi yang memecah-belah. Pemerintah perlu diawasi, bahkan dikritik, namun dengan spirit memperbaiki keadaan, bukan dengan ambisi memperkeruh persoalan. Negara membutuhkan masyarakat sipil berwatak independen yang mengontrolnya agar tidak terjerumus ke dalam otoritarianisme, bukan gerombolan massa bayaran yang menggadaikan dirinya untuk kepentingan pihak tertentu.

Facebook Comments