Di sebagian kelompok masyarakat masih berkembang anggapan bahwa perempuan adalah makhluk lemah, the second class, konco wingking, inferior, dan beragam labelisasi negatif lainnya. Ironisnya, pandangan itu tidak hanya berlaku di kalangan laki-laki, namun juga perempuan.
Masih banyak perempuan yang menganggap dirinya adalah makhluk domestik yang tidak bisa berkiprah di ranah publik. Kondisi ini disebut sebagai false consciousness alias kesadaran yang salah. Yakni kondisi ketika perempuan belum memiliki kesadaran bahwa dirinya setara dengan laki-laki.
Maka, di media sosial muncul kampanye seperti #WomanSupportWoman dan gerakan-gerakan serupa lainnya yang intinya adalah mengajak perempuan untuk berjejaring baik di dunia maya maupun nyata untuk mewujudkan keadilan/kesetaraan gender dan membebaskan perempuan dari penindasan, kekerasan seksual, dan bentuk obyektifikasi negatif lainnya.
Membangun jejaring di kalangan perempuan ini penting di tengah maraknya berbagai tantangan dan ancaman, salah satunya masifnya infiltrasi ideologi radikal. Seturut laporan BNPT tahun 2023, perempuan menjadi salah satu dari tiga kelompok paling rentan terpapar ideologi radikal. Mengapa hal ini bisa terjadi, bisa dijelaskan melalui seisinya tiga analisa.
Mengapa Perempuan Rentan Terpapar Radikalisme?
Pertama, perempuan memang menjadi target propaganda kaum radikal. Kelompok radikal ingin mentransformasikan perempuan sebagai aktor terosisme bukan sekadar pembantu di balik layar. Upaya ini tampaknya cukup berhasil.
Indikasinya kian banyak perempuan menjadi eksekutor lapangan aksi terorisme, mulai dari penembakan terhadap aparat, sampai Akai bom bunuh diri. Perempuan dijadikan sasaran rekrutmen terorisme lantaran mereka nisbi mudah dikendalikan dan memiliki kemampuan untuk mengelabuhi aparat maupun masyarakat.
Kedua, banyak perempuan milenial dan generasi Z yang memiliki antusiasme belajar agama yang tinggi. Sayangnya mereka tidak menempuh pendidikan agama formal, alih-alih belajar agama melalui media digital terutama internet.
Mereka mengakses konten keagamaan di media sosial. Tanpa sadar bahwa konten keagamaan itu sebenernya disusupi pandangan yang menjurus ke konservatisme bahkan radikalisme. Alhasil, mereka mengalami apa yang disebut sebagai swa-radikalisasi (self–radicalization).
Terkahir, banyak perempuan terjebak dalam gerakan radikal karena adanya pasangan bias gender yang mengatakan bahwa perempuan harus tunduk pada kehendak laki-laki. Nalar pikir yang demikian ini lantas membuat perempuan kerap kali tidak berdaya menghadapi infiltrasi paham radikal keagamaan yang disebarkan oleh laki-laki. Apalagi, ayah, saudara laki-laki, atau suami.
Pandangan bias gender juga kerap menempatkan perempuan pada posisi yang sulit. Mereka terpaksa menjadi teroris Karana desakan orang terdekat. Misalnya seorang istri yang rela menjadi teroris dan melakukan aksi bom bunuh diri, lantaran diajak (baca: dipaksa) oleh suaminya.
Atau anak perempuan yang terpaksa harus ikut hijrah ke Suriah bergabung ke ISIS lantaran ajakan sang ayah. Di dalam posisi yang demikian, perempuan adalah pelaku sekaligus korban terorisme itu sendiri.
Labelisasi perempuan sebagai mahluk lemah dan selalu bergantung pada laki-laki membuat posisi tawar mereka cenderung lemah. Istri mana yang bisa menolak jika suaminya mengajaknya melakukan aksi teror bunuh diri? Atau anak perempuan mana yang bisa menolak jika ayahnya mengajaknya bergabung dengan ISIS?
Pentingnya Jejaring Perempuan Mencegah Radikalisme
Maka dari itu, penting kiranya membangun jejaring perempuan baik di dunia maya maupun nyata untuk mencegah infiltrasi rasikalisme dan ekstremisme keagamaan. Gerakan seperti #WomanSupportWomen yang berangkat dari isu pelecehan atau kekerasan seksual kiranya bisa diadaptasi dalam konteks pencegahan rasikalisme dan ekstremisme.
Jejaring perempuan penting untuk memberikan ruang bagi perempuan-perempuan yang tidak pilihan atau posisi tawar yang kuat untuk melawan infiltrasi rasikalisme yang datang dari pihak internal seperti keluarga terdekat maupun pihak eksternal.
Dengan adanya jejaring perempuan yang kuat, dimungkinkan tercipta sebuah ruang komunikasi dan dialog di antara perempuan untuk saling bercerita, memberi solusi, dan saling menguatkan. Jejaring perempuan akan menjadi semacam supporting system bagi perempuan untuk mencegah atau lepas dari jeratan infiltrasi paham radikal. Dengan begitu, mereka bisa memilih posisi tawar yang kuat dalam menghadapi infiltrasi rasikalisme yang datang dari dalam maupun luar.
Di saat yang sama, jejaring perempuan juga bisa menguatkan sistem deteksi dini dan pencegah terhadap infiltrasi rasikalisme. Dengan berjejaring di dunia nyata maupun maya, perempuan dimungkinkan untuk mengetahui sejak awal adanya indikasi atau gejala penyebaran rasikalisme di lingkungan pergaulannya.
Seperti diketahui, perempuan yang terpapar ideologi radikal bahkan menjadi aktor terosisme biasanya dikenal sebagai individu yang anti-sosial. Mereka cenderung menarik atau mengasingkan diri dari lingkungan sosial. Akibatnya, tidak ada yang tahu akan indikasi atau gejala ia terpapar paham radikal.
Peringatan Hari Perempuan Internasional tanggal 8 Maret idealnya menjadi momentum untuk lebih menggaungkan gerakan Woman Support Woman. Tidak hanya dalam konteks pelecehan seksual, dan isu sejenisnya, namun juga dalam konteks pencegahan paham radikal keagamaan. Perempuan harus berjejaring membentuk komunitas dan ekosistem. Hanya dengan begitu, infiltrasi paham radikal keagamaan bisa diidentifikasi dan dicegah sejak dini.