Presiden pertama kita Ir Soekarno pernah mengatakan dalam sebuah pidatonya bahwa “Kalau Jadi Hindu, janganlah jadi orang India. Kalau Jadi Islam, jangan jadi orang Arab. Kalau jadi Kristen, jangan jadi orang Yahudi. Tetaplah jadi orang Nusantara. Dengan adat budaya Nusantara yang kara raya ini”. Tentu pernyataan beliau sejatinya sebagai (pengikat) di dalam membentuk prinsip beragama dengan tetap menjadi orang Indonesia. Karena bagi beliau, musuh terbesar adalah rakyat sendiri. Mereka yang mabuk dengan budaya luar.
Karena mereka yang mabuk dengan budaya luar terombang-ambing dengan paham-paham yang dari luar. Layaknya kelompok radikalisme-terorisme yang berusaha memporak-porandakan bangsa ini. Sehingga, sangat penting untuk membentuk semangat gotong royong di dalam menguatkan kearifan budaya lokal tersebut sebagai strategi deteksi din dari paham dan gerakan radikalisme. Upaya ini dapat dilakukan dengan menguatkan kesadaran budaya hukum etis kultural atau kearifan lokal (local wisdom).
Tentu mekanisme deteksi dini radikalisme dan terorisme di masyarakat bisa dilakukan dengan menguatkan kearifan Budaya lokal. Hal ini bisa dilakukan dengan menguatkan tiga episentrum. Di antaranya adalah: Mengoptimalkan komunitas Pesantren, Komunitas masyarakat adat dan Komunitas masyarakat Budaya. Ketiganya sama-sama diaktifkan sebagai (filter) untuk mempermudah di dalam mendeteksi akar rumput radikalisme dan terorisme di kehidupan masyarakat dengan mengerahkan fungsi-fungsi ketiga episentrum tersebut.
Pertama, Komunitas Pesantren: sebagai lembaga keagamaan sekaligus institusi sosial yang terdiri dari pengasuh (Kiai), Santri dan alumni yang secara generic basis pendidikan keagamaannya yang mengajarkan tentang kearifan lokal. Serta metode keagamaan yang humanistik. Perilaku yang santun, toleran, sabar. Sekaligus mengedepankan nalar di dalam beragama. Merefleksikan kasih sayang dan sering-kali membangun keteladanan beragama ala Nabi Muhammad SAW yang menebarkan rahmat.
Kedua, Komunitas masyarakat adat: Apa yang disebut dengan indigenous people merupakan suatu kelompok masyarakat atau suku bangsa yang memiliki asal-usul leluhur (pewarisan secara turun-temurun) sesuai (kultural masing-masing) di tiap daerah yang masih melekat dan sejatinya pasti memiliki ciri khas tersendiri baik secara nilai etis, prinsip sosial maupun keyakinan yang tidak akan mudah terpengaruh oleh budaya asing.
Ketiga, Komunitas masyarakat budaya, hal ini disebut dengan cultural society yang secara peranan, ini merupakan sebuah komunitas sosial-kultural yang juga memiliki akar identitas dan keyakinan kuat. Tetapi menariknya, kelompok ini mampu memiliki dan bisa menciptakan ikatan identitas yang erat. Sekaligus saling menguatkan rasa memiliki satu sama lain yang begitu sangat solid community ownership and identity. Selain dari itu, masyarakat budaya sejatinya memiliki pemikiran kritis serta pemikiran yang mandiri.
Tentu kita ketahui bersama, ketiganya merupakan struktur kebudayaan lokal yang sebenarnya memiliki fungsi, peranan atau kontribusi yang beragam. Seperti halnya dalam komunitas pesantren yang menggelar nilai-nilai keagamaan yang komprehensif, mencetak generasi bangsa yang memiliki akhlak yang baik. Serta membentuk kesadaran akan semangat bela negara. Karena komunitas ini membentangkan keimanan sebagai jalan pembenar untuk menegakkan perdamaian, kebersamaan dan persatuan dalam kebangsaan.
Begitu juga dalam eksistensi masyarakat adat. Ini adalah kunci dari pranata sosial kebangsaan kita. Mereka di dalam menjalani kehidupan selalu dilandasi oleh moralitas, nilai etis perdamaian serta ketaatan terhadap hukum adat. Bagaimana ini bisa implementasi-kan satu sama lain untuk melakukan sesuatu yang baik, menjaga hubungan yang harmonis. Serta saling menjaga keadilan, kejujuran dan kebenaran sebagai pandoming laku gesang. Di sinilah sangat penting untuk menguatkan relasi-interaksi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara itu sendiri.
Sedangkan dengan masyarakat budaya, mereka memiliki pranata sosial yang mempertahankan dan menjaga kuat warisan kebudayaan. Mereka satu sama lain memiliki kesadaran untuk saling memiliki. Mereka lebih bangsa dengan identitas sendiri. Mereka juga lebih dinamis untuk mencari inisiatif dan inovatif baru serta tampak relevan dalam kehidupan sosial masyarakat. Hal ini diwariskan secara turun-temurun. Maka di sinilah akar rumput Wali Songo membangun interaksi dan akulturasi nilai Islam yang basis-nya kebudayaan. Mengajarkan keislaman tanpa menghancurkan dan merusak tatanan yang ada.
Sehingga dengan menggerakkan kesadaran budaya kultural masyarakat yang begitu kolektif, niscaya radikalisme dan terorisme di negeri ini bisa dengan mudah kita deteksi dan mencegahnya. Karena budaya lokal merupakan semacam jati diri masyarakat yang begitu kental dan akan tidak mudah terpengaruh oleh pemahaman atau budaya dari luar yang hanya akan merusak. Tentu ini sangat penting untuk digerakkan bersama membentuk gotong-royong menguatkan semangat budaya kultural yang ada dengan membentuk semacam cultural reinforcement.
Membentuk strategi deteksi dini serta penanggulangan dengan mengembangkan budaya kultural sebagai network of civic engagements. Artinya, saling menguatkan keadilan, kolaborasi, partisipasi aktif yang berperan untuk menjaga struktur keragaman yang ada agar lebih rukun, bersaudara dan penghormatan terhadap keragaman yang ada. Niscaya masyarakat kita tidak mudah terpengaruh sekaligus mudah mendeteksi sedini mungkin radikalisme dan terorisme di negeri ini. Dengan mengerahkan orientasi budaya kolektif masyarakat yang memiliki akar identitas yang kuat berdasarkan kultur dan tradisinya.