Ironi Masyarakat Paling Religius: Menimbang Ulang Makna Religiusitas di Indonesia

Ironi Masyarakat Paling Religius: Menimbang Ulang Makna Religiusitas di Indonesia

- in Narasi
6
0
Ironi Masyarakat Paling Religius: Menimbang Ulang Makna Religiusitas di Indonesia

Indonesia kembali dinobatkan sebagai negara paling religius di dunia menurut dua lembaga besar seperti CEOWORLD Magazine, 2024 dan Pew Research Center 2023. Religiusitas diukur dengan indikator seperti pengabdian pada keyakinan dan pentingnya agama dalam kehidupan sehari-hari. Hasilnya, Indonesia menempati peringkat teratas dalam daftar negara yang paling religius di dunia, mengungguli negara-negara seperti Malawi, Yaman, dan Sri Lanka.

Namun, sorotan terhadap posisi ini mengundang pertanyaan mendasar: Apakah tingkat religiusitas yang tinggi selalu berbanding lurus dengan kualitas hidup manusianya? Apakah kesadaran pentingnya agama membawa dampak pada pentingnya umat beragama dalam menghargai kemanusiaan?

Berdasarkan data Human Development Index (HDI) 2024 yang dirilis oleh UNDP, Indonesia berada di posisi ke-113 dari 193 negara, dengan skor 0,728. Bandingkan dengan Malaysia (peringkat 67, skor 0,811), Thailand (peringkat 76, skor 0,798), dan Vietnam (peringkat 93, skor 0,766). HDI mengukur kemajuan manusia dalam tiga dimensi penting: umur panjang dan sehat, pengetahuan, dan standar hidup layak.

Ketimpangan ini mengindikasikan bahwa tinggi rendahnya tingkat religiusitas belum tentu menjamin peningkatan kualitas hidup secara nyata. Sebuah bangsa bisa sangat taat secara ritual, namun jika indeks pendidikannya rendah, pelayanan kesehatannya lemah, dan distribusi kesejahteraannya timpang, maka religiusitas itu patut dipertanyakan dari segi kontribusinya terhadap kemanusiaan.

Terjebak dalam Ritualisme : Menguji Dampak Sosial Religiusitas

Lebih jauh, mari kita tengok surveiCorruption Perceptions Index(CPI) 2023 yang dirilis Transparency International. Indonesia menempati peringkat ke-115 dari 180 negara, dengan skor 34/100—jauh dari ideal. Ini artinya, negara dengan tingkat religiusitas tertinggi ini juga termasuk dalam jajaran negara dengan tingkat persepsi korupsi yang masih tinggi.

Di sisi lain, survei World Values Survey dan laporan dari Pew Research menunjukkan bahwa tingkat toleransi sosial di Indonesia masih menghadapi tantangan serius. Tentu saja, ada peningkatan indeks kerukunan di Indonesia seperti yang rutin dilakukan oleh penelitian Kementerian Agama. Namun, masih banyak warga yang tidak nyaman memiliki tetangga berbeda agama, etnis, atau orientasi tertentu. Bahkan, di beberapa daerah, kebebasan beragama masih sering tersandung oleh regulasi diskriminatif dan intoleransi berbasis mayoritarianisme.

Kondisi ini menunjukkan bahwa religiusitas yang tumbuh di Indonesia cenderung bersifat simbolik, ritualistik, dan identitas formal semata—belum sepenuhnya masuk ke dalam tataran etis, moral, dan transformatif yang menyentuh kehidupan sosial secara substantif.

Membongkar Makna Religiusitas

Religiusitas yang bermakna tidak bisa berhenti pada sejauh mana seseorang taat beribadah atau menunjukkan identitas agama dalam ruang publik. Religiusitas sejati justru diukur dari bagaimana nilai-nilai agama itu mendorong keadilan, empati, kejujuran, antikorupsi, toleransi, dan kepedulian sosial.

Dalam konteks ini, beragama harus ditafsirkan sebagai jalan menuju peningkatan kualitas kemanusiaan. Sebagaimana pesan universal agama-agama yang menekankan pada pentingnya akhlak mulia, kejujuran, cinta kasih, dan keadilan, maka ukuran keberagamaan seharusnya dikaitkan dengan kontribusinya terhadap pengentasan kemiskinan, peningkatan literasi, pemberantasan korupsi, dan penciptaan masyarakat yang inklusif.

Sudah saatnya kita berani membongkar persepsi lama bahwa semakin tinggi ekspresi keagamaan seseorang, maka semakin suci atau semakin baik ia sebagai warga negara. Sebaliknya, kita harus mulai menilai religiusitas seseorang atau sebuah bangsa dari dampaknya terhadap lingkungan sosial dan kemanusiaan: apakah ia lebih toleran, apakah ia lebih adil, apakah ia lebih peduli terhadap yang lemah?

Religiusitas yang membebaskan akan melahirkan manusia-manusia transformatif: mereka yang tidak hanya takut kepada Tuhan dalam pengertian ritual, tetapi juga takut menyakiti sesama manusia karena memahami Tuhan sebagai sumber kasih dan keadilan.

Indonesia patut bersyukur menjadi negara yang masyarakatnya masih memandang agama sebagai aspek penting dalam kehidupan. Namun, tantangan ke depan adalah bagaimana mentransformasikan religiusitas tersebut dari simbol menjadi substansi, dari wacana menjadi aksi, dari ibadah ritual ke ibadah sosial.

Menjadi bangsa yang religius seharusnya berarti menjadi bangsa yang adil, jujur, toleran, dan berpihak pada kemanusiaan. Karena pada akhirnya, kualitas beragama bukan diukur dari seberapa sering kita berdoa, tetapi seberapa besar doa itu menjelma menjadi perbuatan baik dalam kehidupan nyata.

Facebook Comments