Agenda formalisasi syariah tampaknya masih menjadi isu seksi yang terus digaungkan oleh kelompok radikal teroris. Isu ini telah dijadikan sebagai senjata untuk mendelegitimasi pemerintahan yang sah. Kaum radikal teroris mending pemerintah dan aparaturnya sebagai thaghut. Pancasila dan UUD 1945 juga dicap sebagai produk kuffar.
Terkahir, muncul tudingan bahwa orang yang menolak formalisasi syariah sebagai anti Islam, kaum munafik, dan label negatif lainnya. Benarkah, menolak formalisasi syariah ala kaum radikal itu berarti anti Islam?
Hal pertama yang perlu dipahami adalah apa itu syariat. Dalam terminologi hukum Islam, syariah adalah ketentuan atau hukum Allah yang diajarkan kepada Rasul-Nya sebagai pedoman kehidupan manusia agar damai, adil, dan aman. Dalam bahasa sederhananya, segala sesuatu baik itu autan atau norma yang tujuannya adalah menciptakan kehidupan manusia yang aman, damai, dan adil, adalah bagian dari syariah.
Dalam leksikon ilmu hukum Islam, pandangan itu dikenal dengan teori maqashid syariah. Yakni prinsip atau tujuan syariah. Dalam teori maqashid syariah, tujuan hukum Islam itu ada lima, yakni menjaga akal, menjaga nyawa, menjaga agama, menjaga keturunan (keluarga), dan menjaga harta.
Artinya, semua aturan atau norma yang berorientasi pada menjaga nyawa, akal, agama, harta, dan keturunan, itu dikategorikan sebagai syariah. Contoh kecilnya, memakai helm saat mengendarai motor atau sepeda juga bisa dikatakan sebagai syariah, karena memenuhi unsur menjaga nyawa.
Di titik ini, kaum radikal kerap masih rancu dalam memahami apa itu hakikat syariah. Dalam pandangan mereka, syariah dipahami sebagai seperangkat hukum yang diterapkan di zaman kekhalifahan Islam terutama di Abad Pertengahan.
Perbincangan soal isu penerapan syariah Islam di kalangan kelompok radikal cenderung terbatas pada soal hukum qishas, potong tangan bagi pencuri, rajam bagi pezina, dan hukum lain yang sebenarnya adalah khas praktik hukum masyarakat Timur Tengah atau Arab di masa Klasik dingga Abad Pertengahan.
Hal ini berbeda dengan tafsiran syariah Islam sebagaimana dipahami oleh kaum moderat yang meyakini bahwa hukum Islam adalah sesuatu yang dinamis, alias tidak absolut. Hukum Islam dalam pandangan kaum moderat adalah seperangkat aturan yang disusun dengan mempertimbangkan realitas sosial, politik, dan budaya di zaman tertentu.
Maka, hukum Islam itu sifatnya dinamis, tidak absolut, dan kontekstual dengan realitas zaman. Penerapan hukum potong tangan, rajam, atau hukum cambuk, bisa jadi efektif diterapkan di masa lalu, namun akan bertentangan dengan spirit penegakan hak asasi manusia di zaman sekarang.
Poin kedua yang juga perut diperhatikan adalah kaum moderat tidak bisa dikatakan menolak penerapan syariah Islam secara keseluruhan. Bagaimana pun juga, kaum moderat tetap rajin beribadah, menjalankan solat, puasa, umroh, bahkan haji. Bukankah itu semua juga syariah Islam?
Kaum moderat tidak menolak syariah Islam. Yang ditolak oleh kaum moderat adalah cara-cara vandalistik dan kekerasan yang dilakukan kaum radikal teroris untuk memaksakan kehendaknya dalam mengimplementasikan ajaran Islam.
Selama ini, agenda formalisasi syariah oleh kelompok radikal teroris selalu dilakukan dengan cara-cara destruktif. Seperti aksi teror dan kekerasan. Sasarannya adalah aparatur pemerintah terutama kepolisian dan kelompok agama minoritas.
Dua kelompok ini menjadi sasaran utama teror karena dianggap menghalangi terwujudnya agenda formalisasi syariah Islam. Padahal, teror dan kekerasan adalah praktik pelanggaran terhadap syariah. Teror dan kekerasan jelas membahayakan nyawa, akal, agama, keturunan, dan harta. Padahal, kelima hal itulah yang dilindungi oleh syariah Islam.
Artinya, yang ditolak kaum moderat adalah syariah Islam dalam tafsiran kaum radikal teroris. Yakni syariah Islam yang bertendensi merobohkan bangsa dan negara, memberangus eksistensi kaum minoritas agama dan mendelegitimasi pemerintahan yang sah. Dengan begitu, tudingan bahwa menolak formalisasi syariah berarti anti Islam adalah tudingan absurd dan ngawur.
Arkian, yang dibutuhkan umat Islam hari ini adalah kesadaran untuk memahami perbedaan antara relasi vertikal dengan Allah atau ibadah mahdhah dan relasi sosial horisontal atau muamalah. Dalam konteks ibadah mahdhah, tentu hukum yang berlaku sifatnya absolut.
Hukum solat, terkait tata cara, bacaan inti, waktu, dan jumlah raka’at tentu merupakan ketentuan yang absolut dan tidak dapat diubah. Dalam bahasa fiqih istilahnya Al tswabit. Sedangkan dalam konteks muamalah, termasuk relasi sosial, transaksi ekonomi, termasuk sistem politik, hukum yang berlaku akan selalu bersifat dinamis menyediakan dengan kehidupan umat Islam dan manusia itu sendiri.
Maka, tidak ada sistem politik dan sosial yang baku dalam sejarah perjalanan Islam. Setiap sistem politik atau model pemerintahan dalam sejarah Islam itu adalah produk ijtihad yang niscaya selalu berubah-ubah. Dalam bahasa fiqih disebut sebagai Al mutaghayyiroh.
Pembedaan yang jelas antara aspek al tswabit dan al mutaghayyiroh ini penting agar umat Islam tidak mudah disesatkan oleh propaganda kaum radikal. Terutama propaganda terkait foemalisai syariah yang dalam banyak hal salah kaprah.