Setiap manusia dalam lingkaran kehidupannya pasti selalu dikelilingi dengan aturan-aturan syariat. Karena di dalam syariat ada norma-norma agama yang mengatur seluruh sistem dan hukum keagamaan dan sosial kemasyarakatan.
Yang perlu untuk digaris bawahi oleh masyarakat bahwa syariat yang diberlakukan di dalam agama Islam sangat berbeda antara umat Nabi Muhammad dengan Umat Nabi yang lainnya. Sebab, menurut M.Quraisy Shihab kata Syir’ah atau syari’ah dapat dipahami dalam arti ciri khas dan kekhususan yang melekat pada sesuatu yang berbeda dengan ciri khas pihak lain.
Agama Islam memiliki syariat yang berbeda dengan agama Yahudi dan Nasrani. Syariat dengan kata lain adalah jalan menuju sumber air yang dipersiapkan Allah untuk para penganut agama Islam. Syariat sekaligus menjadi ciri utamanya yang berbeda dengan jalan dan sumber air yang lain. Syariat itu disesuaikan dengan masyarakat yang dibimbing-Nya.
M. Quraish Syihab menyebut, syariat berasal dari kata syara’a yang terdapat di dalam Q.S As-Syura ayat 13, syara’u (Q.S As-Syura ayat 21), syari’ah (Q.S Al-Jasiyah ayat 18), Syir’atan (Q.S Al-Maidah ayat 48) dan kata Syurra’an (Q.S Al-A’raf ayat 163). Setidaknya ada dua syariat yang perlu dipahami oleh masyarakat modern hari ini.
Pertama, syariat dalam arti agama harus diyakini oleh pemeluknya sebagai pasti benar karena sumbernya adalah Allah. Kedua, syariat dalam arti fiqih semua ulama mengakui bahwa pemahaman mereka yaitu fiqih yang mereka sampaikan dapat mengandung kemungkinan benar atau salah. Penerapan Syariat setidaknya harus ada nilai-nilai moderasi beragama di dalamnya. Karena ciri dari ajaran Islam adalah rahmat.
Dengan begitu, penerapan syariat tidak bisa tanpa mempertimbangkan aspek rahmat yang ada di dalamnya sebab beresiko terhadap dilaksanakannnya ketetapan hukum yang tertulis melampaui batas yang diizinkan Allah. Sekian banyak sangsi yang dijatuhkan oleh orang-orang yang tidak paham pada hakikatnya bertentangan dengan subtansi agama. Walau dalil yang mereka gunakan adalah teks syariat seperti Al-Quran dan Hadits.
Maka dari itu, menghadapi era modernitas hari ini, diperlukan Fiqh al-Waqi’ yakni pemahaman agama yang sejalan dengan perkembangan dan kenyataan masyarakat yang tentu saja tidak bertentangan dengan substansi kandungan teks Al-Quran dan sunnah. Karenanya, penerapan syariat dalam segala aspeknya apalagi sanksi-sanksi hukum hendaknya didahului dengan upaya mewujudkan masyarakat bersih. Yakni saat anggota-anggotanya telah siap untuk menerapkan secara baik dan benar tuntunan Islam secara menyeluruh sebagaimana syariat tidak boleh dilepaskan dari akhlak dan sopan santun.
Tujuan dari syariat, sebagaimana yang diungkapkan oleh As-Syatibi adalah kemaslahatan manusia di dunia dan akhiratnya. Dari tujuan utama ini lahir tujuan lain yang dirinci oleh As-Syatibi di antaranya: pertama, memberi pemahaman kepada manusia tentang syariat sehingga dapat diterima dan diamalkan dengan legawa. Kedua, menjadikan taklif (tugas-tugas keagamaan) sesuatu yang tidak memberatkan manusia normal. Ketiga, menjadikan syariat dipatuhi. Maka kehadiran syariat atau penetapan hukum agama adalah menciptakan kemaslahatan dan keadilan serta mengantarkan manusia melakukan yang baik bagi diri pribadinya sekaligus untuk masyarakat (umat manusia). Meraih semua ini adalah sesuatu yang disepakati dalam konteks manusia.
Penetapan syariat juga menggunakan potensi akal. Sebab, imam Ghazali beserta ulama-ulama yang moderat menghendaki agar dalam bidang ta’lili yakni tuntutan syariat yang berpotensi terjangkau oleh akal, jangan terpaku pada teks dan dalam saat yang sama tidak mengabaikan akal. Cara mewujudkan hal tersebut dengan menggunakan perangkat akal yang sehat.
Oleh sebab itu, mengartikan syariat dalam pengertian agama, cakupannya menjadi sangat luas dan substansinya amat dalam sehingga ia sangat berbeda apabila dipahami arti hukum-hukum keagamaan saja (fiqih).