Meski sudah resmi dibubarkan dan dilarang beberapa tahun lalu, Hizbut Tahrir Indonesia alias HTI tampaknya tidak pernah benar-benar musnah. Dalam sebuah podcast bersama Guru Gembul beberapa waktu lalu, tokoh HTI paling populer, yaitu Felix Shiaw dengan percaya diri mengatakan bahwa HTI masih berdakwah.
Ia menyebut bahwa pembubaran organisasi tidak lantas membuat para anggota dan simpatisannya berhenti menyebarkan pemikiran dan ideologinya. Bahkan, ia mengakui bahwa HTI kini lebih bebas berdakwah.
Omongan itu bukan isapan jempol belaka. Berkali-kali para eksponen HTI menggelar acara meski tidak secara eksplisit menonjolkan simbol mereka. Tempo hari, kita dibuat heboh oleh acara “Metamorfoshow; It is Time to One Ummah”.
Acara yang menggabungkan antara kegiatan dakwah, musik, dan stand up comedy itu adalah bagian dari dakwah HTI yang menyasar kalangan muda mudi gen Z kelas menengah perkotaan. Acara berbayar itu berhasil mendatangkan ratusan pengunjung. Mayoritas adalah anak muda gen Z yang tengah gandrung dengan gaya hidup islami atau kerap disebut hijrah.
Kini, event serupa kembali hadir. Kali ini bertajuk, Ittiba’ Disconnect, yang diadakan oleh komunitas Yuk Ngaji Bandung. Yuk Ngaji adalah komunitas bentukan Felix Shiaw. Pentolan HTI itu pun kini aktif mengisi konten di kanal YouTube yang juga diberi nama Yuk Ngaji.
Mirip dengan Metamorfoshow, Ittba’ Disconected menampilkan pertunjukan teatrikal, musik, dan dakwah atau kajian keagamaan. Di laman Instagram Yuk Ngaji, dijelaskan bahwa acara tersebut akan digelar di enam kota, yakni Bogor, Bandung, Solo, Makassar, Jakarta, dan Medan.
Nama Ittiba’ Disconnected dipilih sebagai tajuk event untuk menggambarkan situasi umat Islam sekarang yang terputus dari syariah Islam yang dipraktikkan Nabi. Ittiba’ Disconnected juga menggambarkan betapa umat Islam hari ini mengalami kemunduran atau keterpurukan karena tidak menjakankan syariah Islam sesuai ajaran Rasulullah.
Dari sisi terminologis, ittiba’ sendiri bermakna mengikuti. Dalam kaidah fiqih, yang dimaksud Ittiba’ adalah mengikuti ajaran, ketentuan atau sunnah Rasulullah Muhammad Saw. Istilah ini dipilih sebagai acara yang dimotori oleh para simpatisan HTI tentu bukan tanpa alasan.
Mereka ingin membangun persepsi bahwa umat Islam hari ini terpuruk, kalah, dan terbelakang, karena tidak mengikuti ajaran atau Sunnah Rasulullah. Premis ini akan dipakai untuk membangun keyakinan baru bahwa Islam akan berjaya manakala umatnya mengikuti jejak Rasulullah, terutama dalam politik, yakni membentuk negara Islam seperti Madinah.
Ada sejumlah hal problematik yang bisa dipersoalkan dari konsep ittiba’ rasulullah ala HTI ini. Pertama, logika bahwa umat Islam mengalami kemunduran atau ketertinggalan dibanding umat agama lain karena tidak menerapkan syariah sesuai ajaran Rasulullah itu tampaknya perlu dikoreksi. Analisa yang demikian itu cenderung simplistik, tidak ilmiah, dan tidak menggambarkan realitas yang sesungguhnya.
Jika kita melihat sejarah, kahancuran peradaban Islam justru lebih disebakan oleh umat Islam sendiri yang mulai meninggalkan ilmu pengetahuan dan intelektualitas. Umat Islam sibuk dengan praktik keagamaan yang condong ke mistisisme dan simbolisme.
Di saat yang sama, umat Islam juga disibukkan oleh pertarungan politik berebut kekuasaan. Hal itulah yang membuat Islam mengalami kemerosotan drastis di era kekhalifahan.
Sedangkan di era modern, dunia Islam mengalami kemunduran lantaran sejumlah hal. Antara lain, banyak negara Islam dilanda konflik sosial akibat perebutan kekuasaan politik. Di saat yang sama, korupsi juga menggerogoti birokrasi di sejumlah negara muslim.
Belum lagi, problem klasik umat Islam yang tidak fokus mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi membuat dunia Islam kian tertinggal jauh dengan peradaban lain, terutama Barat dan sekarang China. Kita justru melihat banyak negara Islam yang menerapkan syariah mengalami beragam krisis. Mulai krisis ekonomi, politik, sosial, dan sebagainya.
Kedua, logika yang meyakini bahwa kebangkitan Islam hanya bisa diraih ketika umat Islam hari ini menerapkan syariah sesuai ajaran Nabi dengan mudah dapat dibantah. Logika itu tidak lebih dari propaganda untuk mengampanyekan berdirinya khilafah Islamiyyah. Hanya saja, bentuk propagandanya lebih halus.
Seolah-olah, gagasan khilafah Islamiyyah ala HTI itu sesuai dengan ajaran Rasulullah. Padahal, sepanjang sejarah hidup Rasulullah, ia tidak pernah mendirikan negara berbentuk khilafah.
Madinah yang ia dirikan semasa hidupnya, lebih menyerupai negara bangsa yang mengakomodasi semua golongan suku dan agama. Madinah pun berdiri di atas konstitusi yang disepakati bersama, yakni Piagam Madinah. Bukan qanun syar’i seperti dikonsepkan oleh HTI.
Jargon Ittba’ tidak bisa kita telan mentah-mentah di era sekarang. Kita hidup di zaman yang berbeda dengan Rasulullah. Mengikuti Rasulullah idealnya tidak dilakukan dengan pendekatan harfiah apalagi tekstualistik.
Sebaliknya, ajaran Rasulullah harus senantiasa ditafsirkan ulang agar kontekstual dengan zaman. Apa yang diajarkan oleh Rasulullah di masa lalu tidak lahir dari ruang hampa. Semua ajaran Rasulullah adalah respons atas situasi zaman kala itu. Maka, mengadaptasi mentah-mentah ajaran Rasulullah di era sekarang adalah hal yang riskan untuk juga mengatakan absurd.
Arkian, untuk ke sekian kalinya bisa dikatakan kita telah kecolongan. Pembubaran HTI nyatanya tidak serta merta membuat propaganda khilafah musnah. Justru sebaliknya, propaganda khilafah hadir dalam bentuk baru yang lebih fresh, dan diminati oleh kalangan muda mudi gen Z kelas menengah urban.
Perang melawan propaganda khilafah memang melibatkan adu narasi. Pelarangan HTI adalah satu hal. Namun, melawan narasi khilafah adalah hal lain. Saat ini yang wajib kita lakukan adalah membendung setiap narasi propaganda khilafah yang dikemas dalam bentuk budaya populer yang ramah pada gen Z.