Singkawang lagi-lagi didapuk sebagai kota paling toleran di Indonesia berdasarkan Indeks Kota Toleran (IKT) 2023 yang dirilis oleh Setara Institute. Dilansir dari CNN Indonesia, Singkawang berhasil mempertahankan predikat ini tiga tahun berturut-turut sekaligus menjadi pencapaian yang keempat (2023, 2022, 2021, dan 2018) dari total tujuh IKT yang telah dirilis oleh Setara Institute.
Kota Singkawang berhasil meraih skor 6,500, lebih rendah dari skor yang diraih pada tahun 2022 (6,583) pada IKT 2023. Kota ini telah bertransformasi menjadi kota yang kokoh dalam tata kelola kebhinnekaan Indonesia. Toleransi di sana bukan hanya membuat kagum masyarakat Indonesia, melainkan juga komunitas internasional.
Pada tahun 2022, perwakilan dari UNDP (United Nations Development Programme) dan Uni Eropa mengunjungi langsung kota Singkawang. Lalu, pada tahun 2023, kota ini didaulat sebagai tuan rumah Festival Hak Asasi Manusia (HAM). Tidak hanya itu, Penjabat Walikota Singkawang, Sumastro, diundang secara khusus untuk berbicara pada 13thWorld Human Right Cities Forum di Gwangju, Korea Selatan, pada Oktober silam.
Visi toleransi menjadi ruh dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) kota Singkawang. Visi ini bukan hanya diterjemahkan oleh pemerintah kota melalui berbagai regulasi dan masyarakat secara umum, melainkan juga ditanamkan pada generasi muda di lingkungan pendidikan. Di antaranya adalah melalui gerakan “Satu Sekolah, Satu Kearifan Lokal” dan aksi nyata Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) di sekolah-sekolah.
Dua agenda tersebut selain sebagai indikator utama visi toleransi, juga sebagai anti-tesis dari paham radikal terorisme yang mengancam kultur toleran di tengah masyarakat. Kearifan lokal, misalnya, adalah praktik yang banyak digugat oleh kelompok radikal terorisme. Diseminasi nilai-nilai kearifan lokal sekaligus penguatan kesadaran Pancasila pada pelajar dapat menjadi investasi jangka panjang mempertahankan kultur toleran yang sudah berjalan.
Dalam Indeks Kota Toleran tahun 2023, tidak ada nama-nama baru yang berada di deretan peringkat 10 besar. Seluruhnya adalah kota-kota yang berada di daftar yang sama pada edisi tahun 2022. Kota Bekasi menempati peringkat ke-2 dan menggeser kota Salatiga setelah berhasil meraup skor 6,460. Peringkat ke-3 diduduki Salatiga, kemudian Manado di posisi ke-4, Semarang di posisi ke-5, Magelang di peringkat ke-6, Kediri di posisi ke-7, Sukabumi di peringkat ke-8, Kupang di posisi ke-9, dan Surakarta di posisi ke-10.
Indeks Kota Toleran 2023 yang dirilis oleh Setara Institute merupakan hasil studi di 94 kota dari seluruh penjuru Indonesia. Studi Indeks disusun dengan mencatat dan menilai praktek toleransi pada kota-kota di Indonesia. Penyusunan dilakukan dengan memeriksa bagaimana toleransi, kebebasan beragama dan berkeyakinan, dan kebhinekaan dipraktikkan dan dipromosikan secara serentak oleh elemen-elemen kota.
Kediri menjadi satu-satunya perwakilan dari Jawa Timur mengingat Jawa Timur masuk dalam provinsi paling intoleran di Indonesia di rentang periode 2022-2023. Status tersebut tidak lepas dari empat tren pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan yang terjadi sepanjang tahun 2022 di Jawa Timur; yaitu penolakan ceramah (8 peristiwa), penolakan pendirian tempat ibadah (6 peristiwa), kebijakan diskriminatif (4 peristiwa), dan pelaporan penodaan agama (3 peristiwa). Seperti yang telah disebutkan, temuan tersebut membuat Jawa Timur menggeser posisi Jawa Barat yang sebelumnya selalu menjadi provinsi dengan jumlah pelanggaran KBB terbanyak sejak 2007.
Adapun dalam Indeks Kota Toleran 2023, Setara Institute juga mencatat 10 kota dengan toleransi terendah. Peringkat ke-1 ditempati oleh Depok, lalu diteruskan oleh Cilegon, Banda Aceh, Padang, Lhokseumawe, Mataram, Pekanbaru, Palembang, Bandar Lampung, Sabang. Menurut Derektur Eksekutif Setara Institute Halili Hasan daerah-daerah tersebut tetap menempati posisi terbawah lantaran memiliki persoalan sangat serius dalam hal kepemimpinan untuk membangun ekosistem toleransi.
“Misalnya di Cilegon sampai saat ini tidak ada satu pun gereja, padahal Cilegon kan bagian dari Indonesia. Kemudian di Depok kepempinan sosialnya relatif tidak ada di tengah situasi yang konservatif,” jelas Halili, dilansir dari BBC.
Jika diakumulasi, data temuan Setara Institute tersebut tidak mengindikasikan suatu hal yang sepenuhnya positif. Halili mengatakan bahwa laporan Indeks Kota Toleran 2023 sejatinya menunjukkan bahwa “toleransi di Indonesia stagnan” dari tahun sebelumnya. Salah satunya adalah berkat masih adanya regulasi atau pasal yang mengkriminalisasi kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Menyambut Pemilu 2024, angka-angka di atas bisa menjadi catatan tersendiri untuk kelangsungan iklim kontestasi yang damai. Namun, mengingat indikator IKT 2023 yang cenderung menilai fenomena secara top-down, stagnasi toleransi di Indonesia tidak menjadi penghalang signifikan untuk menjegal realisasi pemilu damai. Pemerintahan Daerah, meskipun kadang melahirkan kebijakan diskriminatif, relatif menginginkan kontestasi politik yang damai secara umum.
Justru yang menjadi ancaman pemilu damai adalah kelompok radikal terorisme di dunia maya yang barangkali tidak menjadi perhatian utama dari temuan Setara Institute. Karena itu, kampanye pemilu damai melalui tagline “beda pilihan, tetap toleran” tetap harus disuarakan di platform online. Jika ruang-ruang digital ini kondusif, hampir dipastikan Pemilu 2024 juga dapat berjalan dengan damai dan harmonis.