Beberapa waktu yang lalu helicopter milik TNI AU mengalami kecelakaan di Poso, kelompok radikal lalu menyebar propaganda dengan menyebut hal itu bukanlah kecelakaan, melainkan hukuman dari Allah. Kecelakaan yang menewaskan 13 prajurit itu dianggapnya sebagai balasan dari Allah atas keberanian para prajurit menumpas teroris di Poso, ini tentu merupakan penilaian yang sangat subyektif, karena menurut pemahaman umum kita sebagai umat Islam, setiap peristiwa yang menimpa kita adalah sudah menjadi ketentuan tuhan, sehingga tidak bisa menyalahakan atau menilai sebagai sesuatu balasan atas perbuatan-Nya.
Balasan tuhan terhadap setiap tindakan manusia sejatinya kita serahkan kepada Allah SWT saja sebagai yang maha adil, perkasa dan berkuasa atas segala-galanya. Setiap umat Islam seharusnya berduka cita jika melihat atau menyaksikan sesamanya meninggal dengan mengucapkan Innalillahi wainna ilaihi rojiun, karena agama kita mengajarkan agar tidak mencaci maki siapapun yang meninggal di antara kita, bahkan haram hukumnya mencaci orang meninggal.
13 prajurit yang tewas dalam kecelakaan helikoter itu sedang menjalankan tugas mulia ketika Allah memanggilnya, yaitu mengamankan negara dari berbagai ancaman yang sedang dihadapi negara saat ini, khususnya ancaman-ancaman dari paran terroris. Terorisme telah menjadi ancaman kita bersama, paham kekerasan itu mengorbankan ribuan umat manusia, bukan saja korban luka-luka, akan tetapi korban meninggal, anak kecil, orang tua dan kaum wanita yang tak bersalah.
Apa yang dibela oleh 13 prajurit itu bukanlah sesuatu yang sia-sia karena mereka bekerja untuk mengamankan kepentingan umum umat manusia, apalagi bangsa Indonesia umumnya menganut Islam dan menjalankan syariat-syariat Islam secara benar dan baik. Dunia mengakui pelaksanaan Islam di Indonesia mencerminkan Islam yang sesungguhnya, moderat, santun dan mampu mengkombinasikan ajaran Islam dan ilmu pengetahuan serta teknologi.
Islam bukan saja dinilai dari pernyataan sebagai negara Islam, akan tetapi dari implementasinya terhadap moral, etika dan jiwa Islam itu sendiri yang tampak dari kondisi damai, toleransi, maju dan berkembang. Kita semua bangsa Indonesia patut berbangga dan bersyukur atas kemajuan yang telah dicapai oleh bangsa ini, utamanya di bidang pembangunan ekonomi dan pendidikan, karena bila dibanding dengan negara-negara lain yang berpenduduk mayoritas Islam, kita sangat maju.
Negara-negara lain yang mayoritas penduduknya beragama Islam masih sangat terkebelakang, konflik internal mewarnai kehidupan mereka sehingga tidak mampu bangkit dan mensejahterahkan rakyatnya. Oleh karena itu, siapapun yang turut berjuang dan mempertahankan negara ini demi kemakmuran dan keamanan nasionalnya, maka sesungguhnya ia telah berbuat baik dan layak hingga dapat dikatakan sebagai syuhada.
Jika di antara kelompok-kelompok radikal terorisme beranu menilai bahwa kecelakaan itu sebagai balasan atas perbuatannya membunuh umat Islam yang sedang berjihad, maka pertanyaaannya, sejauh mana legalitas klaim kaum jihadis bahwa perjuangannya adalah jihad? apakah para ulama-ulama menilai perjuangannya sebagai jihad atau mereka telah menyelewengkan Islam dan merusak citra Islam?.
Beberapa pendapat yang dengan mudah kita dapatkan di dalam buku-buku yang ditulis oleh para pakar Islam dan tokoh-tokoh agama dengan tegas mengatakan klaim mereka sebagai jihadis sangatlah tidak beralasan dan menilainya sebagai klaim yang keliru, bahkan tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Karena itu tidak sepantasnya kita menilai seseorang sebelum kita meyakini dan mendapat legalistas hukum dari agama kita sendiri, jangan sampai kita termasuk kelompok yang diidentikan dalam Alquran “seperti keledai yang membawa kitab”, artinya mereka memegang kitab tetapi tidak memahaminya. Inilah yang terjadi saat ini, banyak di antara kita yang memiliki kitab dan mengumpulkan kitab tetapi tidak memahaminya dengan baik.
Demikianlah pula umat Islam banyak yang mengklaim dirinya sebagai muslim yang paling baik dan sempurna dibanding yang lain, padahal mereka tidak memahami Islam secara benar dan baik. Wallahu a’lam.