Sebuah hadis populer berbunyi: “Man ra-a minkum munkaran fa al-yughayyir bi al-yadihi, fa in lam yastathi’ bi al-lisanihi, fa in lam yastathi’ bi al-qalbihi, wa dzalika ad’af al-iman”. Artinya: “Barangsiapa melihat suatu kemungkaran, maka cegahlah dengan tanganmu/kekuasaanmu (bi yadihi); Jika tidak bisa, tegurlah dengan ucapan (bi lisanihi); Jika (tetap) tidak bisa, cukup dengan mendoakannya (bi qalbihi); dan yang demikian itulah lemahnya iman seseorang” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam ilmu periwayatan hadis (ulum al-hadis), tidak ada yang meragukan kebenaran status hadis di atas (shahih), namun sebagian kalangan banyak yang salah paham memahami maksud hadis tersebut. Ironisnya lagi, pembacaan yang tekstual bisa menjadi alat legitimasi seseorang atau kelompok tertentu untuk melakukan tindakan kekerasan berkedok amar ma’ruf nahi mungkar. Tindakan ini tentu saja bukan hanya menodai dan mendistorsi visi-misi agama sebagai pembawa pesan perdamaian, namun juga menghancurkan sistem tatanan kehidupan masyarakat yang mengidealkan kerukunan, kedamaian, dan sejenisnya.
Tak terbayangkan, apa jadinya bila setiap orang yang disengaja atau tidak menyaksikan katakanlah sesuatu yang dianggap sebagai maksiat, lantas “digebukin” tanpa ampun, dipukul, hingga bahkan tempat yang oleh mereka dianggap sarang maksiat juga dihancurkan. Inilah yang seringkali dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu, sebagaimana pengalaman di Indonesia.
Secara umum, banyak ahli menyimpulkan beberapa faktor mengapa agama menjadi penyebab kekerasan, yaitu: (1) ekslusivitas dari sementara pemimpin dan penganut agama, (2) sikap tertutup dan saling curiga antaragama, (3) keterkaitan yang berlebihan terhadap simbol-simbol, (4) agama yang merupakan tujuan berubah menjadi alat, realitas menjadi sekadar kebijaksanaan, dan (5) kondisi politik, sosial, dan ekonomi (Assegaf, 2001).
Reinterpretasi Doktrin Dakwah
Pemahaman terhadap hadis di atas sebenarnya masih sangat terbuka untuk dikaji lebih humanis, sehingga Islam tidak dicitarakan oleh sebagian orang, dan termasuk pula kalangan Barat atau sarjana orientalis sebagai “agama kekerasan”. Karenanya, di sinilah pentingnya pemahaman kontekstual, agar jauh dan terhindar dari kesan negatif.
Pertama, makna hadis tersebut tidak menunjukkan suatu urutan tindakan seseorang dalam mencegah kemungkaran; tidak berarti mendahulukan tindakan tangan (yad) terlebih dulu, lalu ucapan, dan doa. Isi maupun makna dari hadis itu sebenarnya mendedahkan pilihan-pilihan alternatif sebagai bentuk tindakan amar ma’ruf nahi mungkar. Kesemuanya memiliki keutamaan tersendiri.
Di samping itu, tidak ada unsur derajat keimanan yang menyertai dari setiap ketiga tindakan tersebut. Orang yang mencegah kemungkaran dengan fisik/tangan, tidak kemudian bisa dikatakan bahwa derajat keimannya meninggi. Sementara orang yang hanya bisa mencegah lewat lisan atau bahkan dengan doa dianggap keimanannya kurang atau dikatakan imannya rendah. Tidak begitu!
Maksud kalimat “dan yang demikian itulah lemahnya iman seseorang” tidak menunjukkan urutan terakhir pada orang yang mencegah kemungkaran hanya lewat doa. Tetapi merujuk pada makna lain dari ketiga yang telah disebutkan, yaitu suatu kepasifan seseorang, yang tidak berbuat apa-apa tatkala menyaksikan kemungkaran.
Kedua, makna bi yadihi yang berarti mencegah kemungkaran dengan yad dalam hadis itu perlu diinterpretasi ulang secara lebih humanis, bukan sebagai legitimasi kekerasan, tetapi dapat pula dengan cara bersilaturahmi mengingatkan kalau memang terdapat kesalahan. Kekerasan tidaklah menyelesaikan masalah—meskipun kita setuju bahwa kemaksiatan (dalam arti luas) harus diminimalisir dari kehidupan sehari-hari.
Jadi hadis itu dapat diterjemahkan lebih luas kurang lebih begini: “Barangsiapa melihat suatu kemungkaran, maka cegahlah dengan tanganmu/kekuasaanmu (bi yadihi); Jika tidak bisa, tegurlah dengan ucapan (bi lisanihi); Jika (tetap) tidak bisa, cukup dengan mendoakannya (bi qalbihi); dan jika tetap tidak mampu berbuat selain dari ketiga perbutan tersebut, maka yang demikian itulah lemahnya iman seseorang”.
Karena itu, jika menyimak tragedi kekerasan terutama di Indonesia, tak ayal lagi, nama Tuhan seringkali “dibajak” untuk melegalkan perbuatannya. Tuhan seolah menjadi boomerang. Padahal, menjadikan Tuhan atau agama semacam “pengkambinghitaman”—meminjam istilah René Girard—akan bermura pada konflik horizontal yang berujung pada pembunuhan antar sesama. Ramalan Girard memang tampaknya mendapat pembenaran dan relevansi yang amat kuat dengan melihat fakat-fakta yang menimpa masyarakat kita dalam setiap menyelesaikan persoalan, terutama yang menyangkut antar etnik, budaya dan agama.
Kekerasan, dengan demikian, meminjam istilah Sindhunata (2006: 122), seperti penyakit atau wabah: keduanya termasuk dalam misteri the sacred yang membahayakan. Penderitaan orang sakit analog dengan penderitaan korban kekerasan. Sama seperti orang sakit selalu diancam oleh kematian, demikian juga orang yang terlibat dalam kekerasan. Karenanya kalau penyakit harus dihindari, demikian juga kekerasan.
Itulah sebabnya, penting mendahulukan kesabaran bagi diri setiap insan. Penyelesaian masalah dengan cara damai jauh lebih baik dan bijak dari pada memilih jalur kekerasan. “Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar” (inna Allah ma’a al-shabirin), begitu firman Tuhan dalam Q.S al-Baqarah: 153. Dengan demikian, merugilah mereka yang melakukan kekerasan, penyerangan, dan bahkan pembunuhan kepada orang lain, hanya lantaran berbeda keyakinan atau berbeda paham keagamaan, sebab hal itu jelas-jelas bertentangan dengan ajaran Islam.