Mulutmu Harimaumu itu Ketika Sebar Berita Negatif

Mulutmu Harimaumu itu Ketika Sebar Berita Negatif

- in Faktual
1558
1
Mulutmu Harimaumu itu Ketika Sebar Berita Negatif

Ungkapan “Jangan takut corona, tapi takulah pada Allah” yang kemudian dipropaganda oleh sejumlah media, baik tertulis maupun video daring, adalah contoh dari peribahasa “Mulutmu Harimaumu”. Artinya, segala perkataan yang terlanjur dikeluarkan oleh seseorang, apabila tidak dipikirkan dahulu akan dapat merugikan diri sendiri dan orang lain.

“Jangan takut corona, tapi takulah pada Allah” telah menjadi narasi oleh sebagian kalangan, yang sebenarnya juga menjadi refleksi pemahaman keagamaan kita. Bahwa apa yang diyakininya tersebut merupakan pemahaman keagamaan, yang dalam teologi Islam lazim dikenal dengan aliran Jabariyah (fatalism).

Aliran Jabariyah meyakini bahwa manusia di hadapan Tuhan, tidak memiliki sedikit pun kuasa atau sikap merdeka untuk berbuat sesuatu, tetapi sepenuhnya digerakkan oleh Sang Pencipta. Singkatnya, dalam pemahaman Jabariyah, manusia ibarat wayang di hadapan dalang, sehingga orang yang berpola pikir demikian, menganggap persebaran wabah covid-19 adalah takdir yang tidak bisa dihindari.

Kita bisa membayangkan, bagaimana jadinya jika banyak orang yang justru mengikuti narasi negatif itu, maka jumlah korban yang positif maupun terindikasi covid-19 akan lebih banyak daripada sekarang. Beruntung dimbangi oleh narasi positif, berupa himbauan yang dilakukan oleh pemerintah dan lembaga-lembaga kegamaan seperti MUI, NU, Muhammadiyah, dan lain-lain, yang justru menyerukan masyarakat agar melakukan tindakan preventif dengan cara physical distancing dan stay at home.

Baca Juga : Media Distancing dan Propaganda Positif Melawan Corona

Seruan physical distancing dan stay at home membawa konsekuensi pada tindakan patuh masyarakat agar tidak berkumpul dalam satu titik, tidak melakukan kerumunan massa, hingga bersedia agar untuk sementara dalam masa wabah covid-19, tidak melaksanakan kegiatan ibadah, seperti sembahyang di gereja, shalat berjamaah dan Jumat di masjid.

Dalam Islam, meski tidak melaksanakan shalat berjamaah dan Jumat di masjid, tidak berarti boleh meninggalkan kewajiban lima waktu. Shalat berjamaah di masjid hukumnya sunnah, artinya boleh dilaksanakan, boleh juga tidak. Sedang shalat Jumat yang semula wajib, tetapi karena kondisi wabah, dan mengancam jiwa, maka diperbolehkan untuk meninggalkannya dengan tetap melakukan shalat dhuhur di rumah masing-masing.

Meniadakan shalat Jumat di masjid memiliki dalil yang kuat, sebagaimana disebutkan oleh lembaga-lembaga keagamaan otoritatif di Indonesia yang mendukung argumen ini. Di sana tampak bahwa selain terdapat sumber-sumber hadis Nabi dan pendapat para ulama, meniadakan shalat Jumat di masjid, apalagi sekadar berkumpul untuk acara-acara sosial, seperti arisan, pernikahan, olahraga, dan lain sebagainya, merupakan bagian dari apa yang disebut dengan maqashid al-syari’ah(sesuai dengan tujuan syariat Islam), yaitu hifd al-din (menjaga agama), hifd al-mal(menjaga harta), hifd al-nasl(menjaga keturunan), hifd al-aql (menjaga akal/pikiran), hifd al-nafs (menjaga jiwa).

Karena itu, sebagai bentuk partisipasi publik, kita, sebagai warga, perlu mempertimbangkan dan sejatinya lebih memilih anjuran atau himbauan dari pemerintah serta lembaga-lembaga yang memiliki otoritas untuk melakukan physical distancingdan stay at home. Kesadaran ini berimplikasi pula pada saduran atau informasi berita yang dikutip oleh media, secara ideal, diambil dari surat edaran yang dikeluarkan oleh pemerintah dan lembaga-lembaga otoritas tersebut. Hal tersebut penting sebagai bagian dari pendidikan kewargaan, agar kita bisa memilih dan memilah, mana berita yang valid dan positif dengan berita negatif, menyebar hokas, dan provakasi. Kita, dengan demikian, perlu juga melakukan media distancing, artinya, menolak berita-berita negatif dan hoaks, dan menerima berita dari sumber yang terpercaya. Semoga.

Facebook Comments