Perang melawan virus Corona membutuhkan peran seluruh elemen bangsa. Perang melawan Corona tidak sepatutnya diletakkan sepenuhnya di pundak pemerintah. Masyarakat umum, kelompok agama dan organisasi sipil juga bertanggung jawab melawan pandemi ini.
Salah satu peran masyarakat umum melawan Corona ialah melaksanakan physical distancing alias jaga jarak fisik ketika berada di ruang publik. Penting pula masyarakat menghindari kerumunan, dan mengurangi interaksi fisik satu sama lain. Pendek kata, hal paling aman yang dapat kita lakukan saat ini ialah tinggal di rumah; bekerja dari rumah, beribadah di rumah dan belajar di rumah.
Namun,physical distancing tidak lantas dimaknai sebagai menarik diri dari lingkungan sosial. Dii tengah pandemi Corona yang tidak hanya mengancam nyawa manusia, namun juga stabilitas ekonomi dan politik ini kita justru perlu meningkatkan ikatan solidaritas sosial. Secara fisik, kita memang diwajibkan untuk mengurangi interaksi, namun solidaritas sosial justru harus kita perkuat.
Ironisnya, ketika masyarakat mengalihkan interaksi fisiknya melalui interaksi online, berbagai kanal media sosial seperti Facebook, Twitter, WhatsAppdan lain sebagainya justru dipenuhi oleh informasi yang meresahkan. Jika diamati secara sederhana, informasi yang meresahkan ihwal Corona yang beredar di media sosial itu dapat diklasifikasikan ke dalam setidaknya dua macam.
Pertama, informasi yang sebenarnya faktual namun dibumbui oleh narasi yang bertujuan membuat masyarakat resah. Tujuan akhirnya ialah menciptakan pesimisme masyarakat sekaligus upaya mendelegitimasi kerja pemerintah menangani virus Corona.
Kedua, berita hoax yang sengaja disebar untuk menciptakan kesimpang-siuran informasi ihwal Corona. Jenis hoax Corona yang kedua ini banyak sekali berbedar di media sosial dengan berbagai sudut pandang, mulai dari kesehatan, ekonomi, politik hingga agama.
Hal yang patut disayangkan ialah masih banyak media massa terutama online yang lebih suka memberitakan fenomena Corona dengan sudut pandang (angle) dan judul yang cenderung heboh, sensasional dan memantik pesimisme. Misalnya, media online cenderung memberikan porsi lebih untuk berita pasien Corona meninggal, ketimbang memberitakan pasien yang sembuh.
Baca Juga : Wabah Corona dan Pentingnya Jurnalisme Empati
Belum lagi kegemaran media massa menyebarkan berita kasus Corona di sejumlah negara Eropa, terutama Itali dan Spanyol yang menelan ratusan jiwa per-harinya. Meski faktual alias bukan hoax, berita-berita tersebut potensial menimbulkan kecemasan dan kepanikan berlebih pada publik. Dalam konteks ini, media massa online seolah abai pada kondisi psikis masyarakat yang dibombardir dengan berita-berita buruk tersebut.
Corona dan Kondisi Psikologis Kita
Adagium klasik bad news is good news mendapat pengejawantahannya dalam hal ini. Berita kematian akibat Corona dieksploitasi oleh media massa demi mengejar traffick. Padahal, tanpa sadar mereka telah menggiring publik ke dalam kondisi kecemasan yang setiap hari terus memuncak. Dalam kondisi peperangan, kondisi kecemasan yang kerap berujung pada pesimisme adalah ancaman paling besar yang bisa menjerumuskan pada kekalahan.
Pandemi Corona di Indonesia bisa dibilang baru saja dimulai. Sulit membayangkan kita akan memenangkan pertempuran ini jika kondisi psikologis kita lemah akibat serbuan berita-berita yang meresahkan. Untuk itu, selain menjalani physical distancing, masyarakat juga perlu mempraktikkan media distancing,yakni menjaga jarak dari berita negatif seputar pandemi Corona. Tujuannya bukan membangun apatisme alias sikap tidak mau tahu. Namun, lebih sebagai upaya menjaga optimisme dan kewarasan dalam menghadapi pandemi Corona ini.
Langkah paling mudah untuk melakukan media distancing ialah dengan menyeleksi informasi yang kita baca dan sebarkan. Proses kurasi berita ini penting agar tidak semua berita mengenai pandemi Corona kita konsumsi. Banjir informasi yang silang sengkarut serta tumpang tindih antara yang benar dan palsu, secara psikologis akan mengacaukan fokus berpikir dan tindakan kita. Penting diingat bahwa fokus kita saat ini ialah melawan pandemi Corona dengan tidak mengorbankan stabilitas sosial.
Proses seleksi dan kurasi berita itu bisa dilakukan dengan memilih berita yang disajikan oleh media massa yang sudah jelas reputasinya. Berita tentang pandemi Corona yang meresahkan selama ini diamplifikasi oleh media massa online “abal-abal” yang abai pada etika jurnalistik. Media ini dicirikan, salah satunya, dengan pemilihan diksi judul yang bombastis dan sensasional. Tujuannya tentu saja menarik perhatian publik untuk mengklik tautan berita tersebut lalu memviralkannya.
Dengan menganulir berita tentang Corona dari media abal-abal yang mendulang untung dari kepanikan publik, kita sebenarnya telah memenangkan satu babak dalam perang melawan pandemi Corona. Langkah selanjutnya yang tidak kalah ialah menyebarkan berita positif tentang Corona.
Masyarakat harus bersama-sama membanjiri lini masa media sosial dengan berita yang melahirkan optimisme, ketimbang pesimisme. Berita tentang pasien Corona yang berhasil sembuh harus lebih banyak dibagikan di media sosial ketimbang berita tentang kematian pasien Corona. Begitu pula, berita tentang solidaritas masyarakat di tengah pandemi Corona harus lebih masif disebar di media sosial ketimbang berita-berita hoax seputar Corona yang potensial menimbulkan mispersepsi bahkan kekacauan sosial.
Agen Propaganda Positif
Ibarat perang, saat ini kita memiliki tiga pasukan inti. Pertama, para tenaga kesehatan yang berperang di garis depan dan bersentuhan langsung dengan pasien Corona. Mereka berjuang mempertaruhkan nyawa demi menyelamatkan manusia dari serangan Corona.
Kedua, pemerintah dan jajarannya yang bertugas menyusun strategi dan mengambil keputusan di masa-masa krisis paling menentukan ini. Terakhir, masyarakat umum yang diharapkan mampu menjadi kekuatan pendukung dalam perang melawan Corona.
Salah satu peran yang bisa dimainkan masyarakat dalam perang melawan Corona ini ialah menjadi agen propaganda positif. Secara definitif, propaganda dapat dipahami sebagai sebuah upaya sistematis yang bertujuan untuk mengubah sikap, pandangan dan perilaku kelompok masyarakat tertentu. Propaganda umumnya dilakukan melalui simbol-simbol verbal, tulisan dan perilaku dengan menggunakan media massa.
Secara garis besar, propaganda dapat dibedakan ke dalam dua jenis, yakni negatif dan positif. Propaganda negatif ialah propaganda yang dilakukan dengan tujuan untuk mengacaukan nilai dan sistem moral dalam masyarakat yang berakibat pada munculnya sikap saling curiga, saling menyalahkan dan lunturnya nilai solidaritas sosial.
Propaganda negatif termanifestasikan ke dalam banyak bentuk seperti fitnah, ujaran kebencian, berita palsu, kampanye hitam dan sejenisnya. Propaganda negatif ini cenderung melemahkan ikatan sosial dari dalam, karena publik dibanjiri dengan berita yang meresahkan sekaligus memecahbelah.
Sedangkan propaganda positif ialah propaganda yang dilakukan dengan tujuan membangun sikap optimis sekaligus mempererat ikatan sosial di tengah masyarakat. Propaganda positif dilakukan secara sistematis, terukur dan terarah serta memakai sumber dan referensi yang dapat diverifikasi kebenarannya. Propaganda positif cenderung menghindari munculnya sentimen kebecian dan kecurigaan antarmasyarakat. Sebaliknya, propaganda positif berusaha memberikan pencerahan pada publik atas sebuah isu tertentu. Dalam konteks pandemi Corona ini, masyarakat umum bisa menjadi agen propaganda positif. Yakni dengan menjadikan kanal-kanal media sosial sebagai ajang untuk menyebarkan konten edukatif mengenai fenomena pendemi Corona. Interaksi masyarakat di media sosial idealnya didominasi oleh konten-konten perbincangan yang mencerahkan, alih-alih menggelisahkan. Saling berbagi kabar gembira atau cerita insipiratif di tengah pandemi Corona ini tentu akan jauh lebih bermanfaat ketimbang berbagi berita hoax yang memperkeruh suasana.