Konsep politik khilafah menjadi topik menarik dalam diskusi publik, terutama di kalangan generasi muda Muslim. Bukan hanya di majelis liqo’, di media sosial khilafah sering kali digambarkan sebagai sistem politik ideal yang menawarkan keadilan, pemerintahan yang bersih, dan kesejahteraan masyarakat di bawah syariat Islam. Narasi ini memang seolah tampak indah, apalagi jika diperkuat ceramah berapi-api yang pada gilirannya membentuk imajinasi kolektif tentang utopia Islam.
Meski begitu, apakah konsep ini benar-benar layak untuk diimplementasikan dalam realitas modern?
Di banyak agenda propaganda lewat ruang media, khilafah sering kali diposisikan sebagai jawaban atas masalah-masalah global: korupsi, ketimpangan, hingga konflik antarbangsa. Referensi yang digunakan pun kerap merujuk pada masa keemasan Islam, seperti era Khalifah Umar bin Khattab atau Harun al-Rashid. Namun, romantisme ini mengabaikan fakta bahwa khilafah sebagai institusi politik tidak lepas dari persoalan internal.
Dalam sejarahnya, khilafah juga diwarnai oleh konflik kekuasaan, intrik politik, pertumpahan darah, hingga diskriminasi terhadap minoritas. Bahkan, kekuasaan absolut yang diberikan kepada khalifah sering kali menjadi celah terjadinya penyalahgunaan wewenang. Sistem ini sulit memberikan ruang bagi mekanisme kontrol atau oposisi yang sehat, sesuatu yang sangat penting dalam menjaga stabilitas kekuasaan.
Sejarah (kelam) masa lalu Islam sebagai realitas sosiologis itu, dengan demikian, mengajarkan kita bahwa mitos khilafah tidaklah seindah yang tampak. Dan, jika dianalisis sebagai mitos modern ala Barthes dalam Mythologies (1957), khilafah tak ubahnya representasi ideologis yang mengemas realitas kompleks dalam simbol-simbol sederhana dan menyentuh emosi. Konten media sosial yang menyebarkan ide khilafah sering kali hanya menampilkan sisi positifnya tanpa menggali persoalan struktural yang inheren dalam sistem tersebut.
Demokrasi & Pancasila: Peluang Kontrol Kekuasaan
Sebagai negara yang plural, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam menyatukan keberagaman suku, agama, dan budaya. Sistem demokrasi dengan dasar Pancasila pada dasarnya menawarkan kerangka yang lebih fleksibel dan realistis untuk menghadapi tantangan ini.
Demokrasi memberikan ruang bagi rakyat untuk mengontrol kekuasaan melalui mekanisme pemilu, kebebasan pers, dan partisipasi masyarakat. Tentu saja, demokrasi di Indonesia tidak sempurna. Kita masih menghadapi persoalan oligarki, politik uang, dan korupsi. Namun, dibandingkan dengan khilafah yang cenderung memberikan kekuasaan absolut kepada satu individu atau kelompok, demokrasi memiliki perangkat yang memungkinkan koreksi dan perbaikan.
Berbekal lima sila Pancasila, kita setidaknya memiliki landasan moral dan filosofis yang relevan bagi masyarakat Indonesia. Ia bukan hanya mencerminkan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan, tetapi juga memberikan ruang bagi semua kelompok untuk hidup berdampingan. Dalam konteks ini, demokrasi yang didasarkan pada Pancasila setidaknya menciptakan peluang lebih besar untuk menjaga harmoni sosial dan mencegah dominasi kelompok tertentu.
Bukan Sekadar Utopia
Ruang digital nyatanya bukan saja memberdayakan nalar kritis, tetapi juga menjadi medan utama bagi penyebaran ide khilafah. Riset tentang hal ini telah banyak ditegakkan oleh para akademisi. Beberapa hasilnya menunjukkan bahwa algoritma platform media sosial memungkinkan konten-konten propaganda ini menjangkau audiens yang luas, terutama generasi muda. Video yang menampilkan bendera berkibar, lagu-lagu heroik, dan janji-janji surga dunia membangun imajinasi tentang khilafah sebagai solusi segala masalah.
Namun, narasi ini perlu diimbangi dengan edukasi kritis. Masyarakat perlu diajak untuk memahami bahwa sistem politik, apa pun bentuknya, memiliki kelebihan dan kekurangan. Dalam demokrasi, misalnya, meski terdapat korupsi dan manipulasi politik, kita masih memiliki ruang untuk memperjuangkan reformasi.
Beberapa media alternatif keislaman seperti Islami.co, IB Times, atau akun-akun dengan tajuk Garis Lucu, misalnya, memainkan peran penting dalam mendekonstruksi mitos-mitos dan utopia khilafah. Dengan menggunakan humor dan kritik yang tajam, mereka membantu masyarakat melihat sisi lain dari narasi utopis yang sering kali beredar.
Jadi, meskipun konsep khilafah tampak ideal di permukaan, ia bukan tanpa cacat. Sejarah menunjukkan bahwa sistem ini sulit mengakomodasi keberagaman dan mekanisme kontrol kekuasaan. Di sisi lain, demokrasi dengan dasar Pancasila memberikan ruang lebih besar untuk partisipasi rakyat, kebebasan berekspresi, dan pengawasan terhadap penyalahgunaan wewenang.
Dan, sebagai bangsa yang hidup di tengah keberagaman, kita perlu memastikan bahwa kita membutuhkan sistem yang mampu menjaga harmoni sosial tanpa mengorbankan hak-hak individu atau kelompok tertentu. Pancasila bukan hanya warisan sejarah, tetapi juga kompas moral untuk membawa Indonesia menuju masa depan yang lebih inklusif dan adil. Jadi bicara mana yang lebih realistis, tentu sistem demokrasi yang berdasar Pancasila memberikan alternatif yang lebih masuk akal untuk menjaga keberagaman dan mengontrol kekuasaan dalam konteks Indonesia.