Sarah Gilbert, Polemik Fatwa dan Kerja Kemanusiaan

Sarah Gilbert, Polemik Fatwa dan Kerja Kemanusiaan

- in Narasi
1488
0
Sarah Gilbert, Polemik Fatwa dan Kerja Kemanusiaan

Hingga saat ini kasus covid-19 di Indonesia semakin hari kian menginflasi. Bahkan puluhan berita lelayu (wafatnya manusia) terdengar saling bersahutan setiap saat. Sejalan dengan itu, program vaksinasi terus digencarkan untuk menekan laju perkembangan virus.

Di tengah polemik program vaksin berbayar yang terjadi beberapa pekan yang lalu, saat ini kita perlu memberikan apresiasi yang tinggi terhadap kontribusi Prof. Sarah Gilbert (selanjutnya Gilbert), sang penemu vaksin Oxford/AstraZeneca dan telah enggan mengambil hak paten atas vaksinnya yang sebenarnya bisa membuatnya menjadi seorang yang kaya raya.

Melalui pelepasan royalti atas penemuan ilmiah tersebut, maka jutaan manusia di dunia akan mendapatkan vaksin AstraZeneca dengan harga yang jauh lebih terjangkau. Sebuah kontribusi kemanusiaan yang luar biasa di tengah banyak kekhawatiran negara akibat pandemi, khususnya negara berpendapatan rendah (low-income countries). Pada Saat hari pertama perhelatan tenis bergengsi di Wimbledon dibuka (18/07), Gilbert yang saat itu tengah menonton mendapatkan standing ovation dari para publik Inggris atas peran kemanusiannya.

Gilbert adalah profesor dalam bidang vaksinologi di Universitas Oxford. Ia bersama timnya, yakni Marco Polo Peralta, Rebecca Makinson dan Indra Rudiansyah (mahasiswa Ph.D asal Indonesia) dengan proses riset yang cukup panjang dan begitu melelahkan di laboratorium vaksin Jenner Institute. Akhirnya mereka berhasil menemukan dan menguji vaksin AstraZeneca hanya dalam kurun waktu 11 bulan saja. Salah satu rekor penemuan vaksin tercepat di dunia.

Namun meskipun masuk dalam rekor penemuan tercepat vaksin, menurut pengakuan Gilbert dalam (NewScientist (10/07), “…I spent a huge amount of time during those increasingly strange weeks attempting to secure funding. We decided we just had to get on with it, spending money we did not yet have…”. Menurutnya pengujian riset vaksin AstraZeneca bisa dilakukan lebih cepat lagi, jika seandainya Gilbert tidak terhambat persoalan funding riset.

Polemik Fatwa Vaksin

Dulu, saat vaksin AstraZeneca mulai digunakan di Indonesia sempat terjadi perdebatan teologis di kalangan agamawan. Hal ini ditandai dengan adanya perbedaan fatwa antara Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat dengan MUI Jawa Timur tentang kehalalan vaksin AstraZeneca. MUI Pusat meragukan kehalalan vaksin AstraZeneca. MUI pusat menyatakan status hukum haram terhadap vaksin AstraZeneca karena bahannya mengandung tripsin babi. Sedangkan MUI Jawa Timur menfatwakan AstraZeneca sebagai vaksin yang halal dengan analogi bahwa vaksin AstraZeneca ibarat seperti tanaman yang diberi pupuk dari kotoran hewan najis. Kemudian, buah yang dihasilkan tanaman tersebut hukumnya suci untuk dimakan.

Meskipun mengharamkan, MUI pusat juga memberikan fatwa mubah (kebolehan) penggunaan vaksin AstraZeneca dalam kondisi darurat. Berdasarkan fatwa Nomor 14 Tahun 2021 tentang penggunaan vaksin AstraZeneca harus memenuhi setidaknya lima syarat. Pertama, ada kondisi kebutuhan yang mendesak (hajah syari’iyyah) yang menduduki kondisi darurat syar’iy (dlarurah syar’iyyah). Kedua, ada keterangan dari ahli kompeten dan tepercaya tentang adanya bahaya (risiko fatal) jika tidak segera dilakukan vaksinasi Covid-19.

Ketiga, ketersediaan vaksin Covid-19 yang halal dan suci tidak mencukupi untuk pelaksanaan vaksinasi Covid-19 guna ikhtiar mewujudkan kekebalan kelompok (herd immunity). Keempat, ada jaminan keamanan penggunaannya oleh pemerintah. Kelima, pemerintah tidak memiliki keleluasaan memilih jenis vaksin Covid-19 mengingat keterbatasan vaksin yang tersedia.

Kerja Kemanusiaan

Di saat sebagian orang banyak yang mengambil kesempatan dalam kondisi kesempitan ini, ternyata ada sosok Gilbert yang dengan sukarela memberikan hasil finanasial hak paten risetnya secara cuma-cuma untuk kerja kemanusiaan. Produk riset Gilbert kedepan akan sangat membantu umat manusia melawan virus Corona.

Dalam konteks riset, umumnya dana riset yang digelontorkan oleh suatu lembaga/negara sangatlah mahal, mengingat kualitas riset suatu negara berbanding lurus dengan kemajuan negara tersebut. Tak ayal berbagai negara berlomba-lomba untuk menggelontorkan dana riset yang besar-besaran. Namun kuatnya budaya kapitalisme global meniscayakan akan adanya harga yang harus dibayar untuk harga suatu karya riset.

Sempat terjadi polemik seputar vaksin berbayar melalui Kimia Farma beberapa waktu yang lalu, namun akhirnya dibatalkan dan dicabut oleh Presiden Jokowi, (16/07). Terkait vaksin berbayar termuat dalam Permenkes nomor 19 tahun 2021, bahwa vaksinasi berbayar yang pendanaannya dibebankan pada badan hukum atau badan usaha diperuntukkan terhadap pekerja, keluarga atau individu lain dalam keluarga. Selain itu, vaksinasi kepada individu biayanya dibebankan kepada diri yang bersangkutan.

Padahal harga pembelian vaksin dalam program tersebut dipatok sebesar Rp 321.660 per dosis. Peserta vaksinasi juga akan dikenakan tarif pelayanan vaksinasi sebesar Rp 117.910 per dosis. Jika dikalkulasikan, setiap satu dosis penyuntikan vaksin, peserta harus mengeluarkan Rp 439.570. Karena dibutuhkan dua dosis vaksin, maka total biaya vaksinasi per individu sebesar Rp 879.140. Harga yang cukup fantastis di tengah paceklik ekonomi seperti saat ini (kompas.com, 16/07).

Di sisi lain, pemerintah sampai saat ini yang sedang memperpanjang penerapan PPKM darurat yang pada gilirannya membuat sebagian kalangan masyarakat mengalami defisit penghasilan. Oleh karenanya, vaksin seharusnya digratiskan dan tetaplah menjadi tanggungan pemerintah mengingat vaksin telah menjadi kebutuhan pokok sebagai penguatan imun (herd immunity) bagi masyarakat.

Maka dari itu, kerja kemanusiaan Gilbert di atas setidaknya kedepan juga akan sedikit membantu finansial pemerintah Indonesia dalam program akselerasi vaksinasi nasional yang hingga detik ini belum usai. Akhirnya, semoga pandemi covid-19 yang sedang melanda ini akan segera berlalu.

Facebook Comments