Siskamling Media Sosial Dengan Berpikir Ideologis dan Berwawasan Politis

Siskamling Media Sosial Dengan Berpikir Ideologis dan Berwawasan Politis

- in Narasi
1480
0

Dewasa ini, strategi monitoring terhadap kejatan media sosial sangat diperlukan. Sebab, tidak sedikit konflik, tindakan radikal, teror, dan lain semacamnya yang disebabkan media sosial. Dan salah satu isu yang paling rawan adalah isu SARA. Diakui, isu SARA yang berhempas di negeri ini bukanlah suatu hal yang faktual. Isu demi isu selalu dimunculkan para oknum yang tak bertanggung jawab dengan tidak memikirkan dampak serta efek yang ditimbulkan. Sejarah telah mencatat bahwa kasus yang bernuansa SARA telah terjadi di nusantara ini dengan frekuensi yang tidak terhitung jumlahnya, baik berupa fisik maupun non-fisik, yang semuanya berakhir dengan tragis nan ironis. Tentu saja banyak jiwa raga yang menjadi korban atas kasus tersebut.

Apakah publik sudah lupa dengan kejadian-kejadian bernuansa SARA yang terjadi di negeri ini? Mulai dari kasus Suku yang dikenal dengan Tragedi Sampit antara suku Dayak dan Madura pada tahun 2001, kasus Agama seperti yang terjadi di Ambon pada 1999, penyerangan kelompok Syi’ah yang terjadi di Sampang pada 2012 silam, dan masih banyak yang lainnya. Wakil Kapolri Komisaris Jenderal Syafrudin mengatakan, selama tahun 2015-2016, kasus SARA yang terjadi di Indonesia mencapai 1.568 kejadian, dan kasus yang melibatkan masyarakat secara berkelompok terdapat 1.060 kejadian.

Selanjutnya isu SARA dalam perhelatan Pilkada, juga menghiasi catatan kejadian pada tahun 2017. Permasalahan isu SARA tersebut menjadi semakin meluas karena media sosial bekerja tiada batas dan arah yang jelas. Atas hal ini, tentu yang pertama kali terkena imbasnya adalah masyarakat bawah; masyarakat pengkonsumsi media, karena mereka berada pada posisi pion. Apalagi masyarakat di akar rumput secara mayoritas masih bersikap labil, hanya sebagai pengikut. Informasi yang diterima mereka telan secara mentah-mentah, dan sayangnya secara tidak sadar mereka juga menjadi partisipan penyebar informasi yang memicu konflik itu.

Permasalahan mendasar yang sudah menjadi rahasia umum adalah bermainnya buzzer penguasa media. Kejahatan internet mereka lakukan tanpa melihat dampak yang ditimbulkan. Mereka menjadi pemain utama dalam menyebarkan isu SARA untuk mencapai tujuan pragmatisnya. Apalagi ini di era media sosial yang sangat mudah aksesnya. Melihat hal ini, siskamling media sosial sangat diperlukan, agar isu-isu yang dapat menyebabkan konflik, tindakan radikal dan teror semakin berkurang.

Dalam hal ini, pencegahan terhadap munculnya isu SARA yang dapat memicu konflik sangat dibutuhkan, yang itu harus dilakukan semua pihak, setidaknya untuk meminimalisir agar isu tersebut tidak nampak di permukaan. Pertanyaan yang muncul di benak semua pihak, bagaimana dan apa yang harus dilakukan? Diakui maupun tidak, penulis katakan, bahwa berkembangnya isu SARA tidak terlepas dari masyarakat yang lugu. Mereka menganggap bahwa segala sesuatu merupakan penting, termasuk posting konten-konten berita dan informasi yang didapatkan, dengan tidak memperhatikan apa isi informasi dan bagaimana dampak yang selanjutnya tampak dan terkuak.

Karena itu, tindakan prefentif terhadap berkembangnya isu SARA yang bisa jadi akan memecah belah bangsa harus digelorakan setiap insan. Pertama, pentingnya berpikir ideologis. Maksudnya, sebagai masyarakat yang memiliki pandangan hidup, yang tentunya mempengaruhi pola perilaku, sikap, akhlak, dan pikir, seharusnya mampu menganalisis segala informasi yang mengandung unsur tidak baik. Termasuk isu SARA yang pada era demokrasi ini yang kian membumi.

Jika setiap elemen bangsa belum mampu berpikir ideologis dalam hal ini, tentu permasalahan kecil yang mengandung unsur SARA bisa akan menjadi besar. Sebab, masyarakat kita adalah masyarakat media, yang apa pun dishare di berbagai media sosial. Mulai facebook, twitter, instagram, whattsapp, bbm, hingga lain sejenisnya yang penuh dengan postingan mereka. Tidak peduli apakah konten itu baik atau buruk. Dan seolah bermain media seperti itu merupakan kebutuhan primer.

Nah, jika seluruh masyarakat diharapkan mampu berpikir ideologis, tentu sangatlah sulit. Karena itu harus ada pihak yang mampu untuk itu, yang selanjutnya memberikan pengetahuannya kepada banyak pihak. Sekalipun itu hal yang sulit, penulis mengajak seluruh elemen masyarakat, agar mampu berpikir secara ideologis. Sebagai masyarakat yang berideologi, tentu sudah memiliki nilai-nilai dan fitrah ideologis itu, tinggal menggalinya secara terus-menerus.

Kedua, masyarakat perlu memiliki wawasan politis. Ini bukan berarti setiap masyarakat harus mengerti dan faham betul bagaimana berpolitik, melainkan setidaknya mampu memahami konsep kerja politik. Diakui maupun tidak, oknum-oknum yang sengaja menggoreng informasi bernuansa SARA memiliki tujuan politis yang jelas, baik untuk dirinya sendiri maupun juga kelompoknya. Karena itu, masyarakat kita perlu menyadarinya. Sehingga jangan langsung percaya terhadap isi muatan dan informasi yang ada di media, sebelum klarifikasi secara lebih lanjut. Apalagi yang berkaitan dengan isu SARA, yang dapat memecah belah persatuan bangsa kita.

Pancasila ke tiga yang berbunyi “Persatuan Indonesia” bukanlah pajangan seperti patung yang tak hidup. Ia selalu hidup di dalam setiap benak masyarakat, yang karena itu harus dimaksimalkan dengan baik. Founding father and mother kita telah dengan sekuat tenaga merumuskan dan kemudian membangun ideologi tersebut dengan penuh pemikiran yang mendalam demi kebaikan bangsa ini. Karena itu jangan pernah membumbui sila tersebut dengan berbagai isu terutama SARA yang dapat merusak tatanan yang ada. Semoga dengan demikian isu SARA yang seringkali membawa petaka bagi bangsa akan sirna. Wallahu a’lam.

Facebook Comments