Jami’ al-Bayan ‘an Tawili Ayi al-Quran atau Ja’mi’ al-Bayan fi Tafsir al-Quran ditulis Al Thabari di penghujung abad ketiga hijriah (sekitar 9 M). Penamaan karya ini dengan Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wili Ayi al-Quran mengisyaratkan tafsir ini memuat kumpulan pendapat tafsir dari generasi sebelumnya. Sementara penggunaan istilah “Ta’wil” dalam judul tafsir ini juga berarti Tafsir.
Kecenderungan keilmuan saat itu belum memiliki definisi yang berbeda antara istilah tafsir dan ta’wil. Di kemudian hari, kedua istilah tersebut dipisahkan dengan definisi yang saling berbeda. Tafsir bermakna penjelasan, penyingkapan, dan pengungkapan makna yang logis berdasarkan petunjuk-petunjuk tertulis. Sementara Ta’wil adalah upaya memahami ayat suci dengan menjadikan teks sebagai teks metaforis.
Ahmad Al Hufi berpendapat bahwa Al Thabari menulis tafsir ini sebelum ia menulis magnum opus dalam bidang sejarah, Tarikh al-Umam wa al-Mulk. Al Thabari mendiktekan karya ini di hadapan murid-muridnya sejak tahun 283 H sampai tahun 290 H. Tafsir ini pertama kali dicetak secara modern pada tahun 1903 di Mesir dalam 30 jilid dan mengalami cetak ulang lebih dari satu kali.
Rosihon Anwar dalam bukunya, Melacak Unsur-unsur Israiliyyat dalam Tafsir Ath-Thabari dan Tafsir Ibnu Katsir, mengungkap bahwa konon awalnya kitab ini berjumlah 30.000 juz dan –sambil menyitir pendapat Ibnu As Subkiy- kitab yang ada sekarang (30 juz) merupakan ringkasan dari kitab aslinya. Sementara Syeikh Kholil Muhyiddin al-Mayyis dalam pengantar karya ini mereproduksi riwayat Khatib Al Baghdadi yang menyebut Al Thabari pernah bertanya pada para muridnya apakah mereka bersedia mempelajari karyanya yang berjumlah 30.000 lembar (bukan juz seperti yang dilansir Rosihon Anwar). Para murid lalu berkomentar bahwa bisa jadi umur telah habis sebelum tafsirnya selesai dipelajari. Atas dasar inilah karya ini kemudian diringkas menjadi 30 juz.
Pendapat kedua rasanya lebih masuk akal dibanding pendapat pertama. Sulit dibayangkan sebuah karya –betapapun hebatnya- mencapai jumlah 30.000 juz. Padahal satu juz dalam tafsir ini mencapai 400-an lembar. Mungkin bisa jadi pendapat pertama lahir sebagai wujud kekaguman luar biasa terhadap karya ini. Bukankah masyarakat Timur Tengah memiliki kebiasaan menggunakan kalimat hiperbola untuk mengekspresikan kekaguman?
Karya ini merupakan satu-satunya karya tafsir paling tua yang dapat diakses secara lengkap hingga saat ini. Hal ini bukan berarti bahwa sebelum Al Thabariy tidak pernah terdapat karya tafsir. Karena sejak masa sahabat kecenderungan mempelajari tafsir sudah ada dan aktifitas penafsiran pun telah dilakukan. Bahkan, di massa ‘Umar bin Abdul Aziz (salah seorang khalifah dinasti Umayyah) penafsiran telah terkodifikasi bersama dengan kitab hadits dan menjadi salah satu bab pembahasan dibawah judul (Kitab al-Tafsir).
Jami’ al-Bayan menempati posisi intelektual terbaik di kalangan umat Islam. Para sarjana Muslim sepakat menyebut karya ini sebagai tafsir agung sepanjang masa, min ajli al-Tafasir wa a’dzamuha. Keistimewaan karya ini terletak pada metodologi yang digunakan Al Thabari. Sistematisasi penulisan dan konsistensi dalam aplikasi metodologis yang dilakukan Al Thabari merupakan hal yang benar-benar baru saat itu. Sekalipun catatan-catatan kritis atas karya ini telah diungkapkan oleh beberapa sarjana Muslim, namun sesungguhnya konsensus mengenai keistimewaan kitab ini tidak pernah tergeser.
Keistimewaan lain karya ini terletak pada kelengkapan penuturan isnad (mata rantai periwayatan). Meski di sisi lain, isnad yang digunakan Al Thabari seringkali dipertanyakan kualitasnya. Seorang sarjana Muslim, Muhammad Hussein Adz Dzahabi, memberi catatan kritis atas jalur periwayatan yang digunakan Al Thabari hingga 15 halaman. Dia menilai Al Thabari kurang berhati-hati saat menerima isnad yang berasal dari tradisi non islam (israiliyyat). Ketidak hati-hatian itu terlihat karena Al Thabari tidak merinci detail kapasitas, kredibilitas, integritas, dan latar belakang kehidupan periwayat yang ia cantumkan. Al Thabari lebih sering “mendiamkan” riwayat-riwayat tersebut tanpa menjelaskan validitasnya.
Bagi orang seperti Al Thabari atau mereka yang memahami seluk-beluk periwayatan hal seperti di atas tidak begitu mengganggu. Dengan kemampuan intelektual mereka dapat melakukan verifikasi dan menguji validitasnya secara mandiri. Namun demikian, bagi pembaca awam hal ini bisa berdampak berbeda. Sikap kehati-hatian dalam membaca riwayat yang berasal dari sumber-sumber selain Islam diperlukan. Namun, kejujuran intelektual Al Thabari pada saat mencantumkan isnad secara apa adanya patut “diacungi jempol”.
Muhammad Quraish Shihab (seorang pakar tafsir dari Indonesia) menyoroti pendekatan kebahasaan yang digunakan para mufassir klasik, termasuk Al Thabari. Menurutnya, pendekatan seperti ini memiliki dua kelemahan. Pertama, pendekatan seperti ini sering “menjeremuskan” mufassir pada uraian bahasa dan sastra yang bertele-tele, sehingga pesan-pesan pokok Alquran seringkali “kabur” di celah uraian itu. Dan kedua, seringkali kronologis turunnya ayat –khususnya ayat-ayat hukum yang berkaitan dengan nasikh-mansukh– terabaikan sama sekali. Sehingga seolah-olah ayat yang turun bukan dalam satu masa atau berada di tengah-tengah masyarakat tanpa budaya.
Sementara disisi yang lain pendekatan kebahasaan seperti ini memiliki beberapa kelebihan. Pertama, penekanan terhadap pentingnya memahami Alquran dari aspek bahasa saat diturunkan. Kedua, pemaparan atas ketelitian redaksi yang digunakan dalam penyampaian pesan-pesannya. Dan ketiga, mengikat mufassir dalam bingkai kebahasaan, sehingga meminimalisir subjektifitas secara berlebihan.
Penggunaan corak tafsir bi al-Ma’tsur dalam Jami’ al-Bayan mendapat pujian yang serius dari kalangan Sarjana Barat. Montgomerry Watt menganggap bahwa tafsir Al Thabari merupakan penafsiran tradisional terbaik. Sementara Noldeke menyebut bahwa seandainya saja ia memiliki tafsir tersebut secara lengkap maka, ia tidak memerlukan tafsir yang lain.
Watt dan Noldeke mewakili pemikiran barat atas karya ini. Menurut mereka Al Thabari dianggap sangat berjasa dalam mengumpulkan penafsiran tradisional yang pernah berkembang di dunia Islam. Upaya metodologis dengan mengkonfrontir berbagai gagasan penafsiran merupakan hal yang sangat cerdas. Al Thabari tidak saja menulis deskripsi penafsiran versi generasi sebelumnya, melainkan turut menganalisa dan menentukan pilihan penafsiran, bahkan pendapatnya sendiri.