Tantangan Pengasuhan Anak di Era Digital; Dari Perundungan Hingga Ekstremisme

Tantangan Pengasuhan Anak di Era Digital; Dari Perundungan Hingga Ekstremisme

- in Narasi
522
0
Tantangan Pengasuhan Anak di Era Digital; Dari Perundungan Hingga Ekstremisme

Belakangan ini ruang publik digital kita diramaikan oleh berbagai kasus perundungan (bullying) -anak. Sebuah video viral di media sosial berisi adegan anak tengah dianiaya kawannya. Peristiwa itu terjadi di Cilacap, Jawa Tengah. Belum reda kasus di Cilacap, muncul lagi video serupa. Kali ini kejadiannya di Balikpapan.

Perundungan di dunia anak sungguh memprihatinkan. Di satu sisi kita patut berempati pada anak-anak yang menjadi korban perundungan dan kekerasan. Di sisi lain, kita patut merasa ironis manakala anak-anak yang cenderung polos dan lugu justru menjadi pelaku perundungan.

Bahkan, Menteri Pendidikan Nadiem Makarim menyebut perundungan sebagai salah satu dosa besar pendidikan kita, selain kekerasan seksual dan intoleransi. Bisa dikatakan, tantangan terberat mengasuh anak di zaman kiwari adalah menghindarkan anak dari kekerasan (baik sebagai pelaku maupun korban).

Selain perundungan, tantangan mengasuh anak zaman sekarang adalah ancaman paparan ideologi ekstrem kanan. Apalagi belakangan, ideologi ekstrem kanan lebih banyak dipropagandakan di media sosial dan internet. Anak-anak yang adaptif pada teknologi digital merupakan kelompok paling rawan terpapar radikalisasi secara daring.

Titik Persamaan Antara Perundungan dan Ekstremisme Kanan

Jika diamati, ada sejumlah kesamaan antara perundungan dan ekstremisme kanan. Pertama, keduanya sama-sama memuja ideologi kekerasan. Baik perundungan maupun ekstremisme kanan, keduanya meyakini bahwa kekerasan adalah jalan menyelesaikan persoalan.

Sedangkan ekatremisme kanan juga muncul karena adanya keyakinan bahwa kekerasan adalah. Kedua, baik perundungan maupun ekstremisme kanan keduanya merupakan problem psikologis manusia. Perundungan merupakan perilaku agresif dan destruktif ketika individu gagal mengelola emosi jiwanya.

Sedangkan ideologi ekstrem merupakan ekspresi dari kekecewaan, amarah, dan keterasingan yang berakumulasi menjadi satu. Individu yang terpapar ideologi ekstrem umumnya juga memiliki problem psikologis. Seperti kesepian, keterasingan, dan depresi.

Di ranah kajian sosiologis, selama ini dikenal dua pandangan tentang perilaku manusia. Pandangan pertama yang bernada pesimis yang menganggap manusia pada dasarnya punya naluri jahat, buas, dan bengis.

Pandangan ini dikemukakan oleh Thomas Hobbes yang meyakini bahwa manusia pada dasarnya memiliki sifat-sifat kebinatangan (Leviathan). Hobbes mengistilahkan manusia sebagai serigala bagi manusia lainnya (homo homini lupus).

Kedua, pandangan yang lebih optimis dengan meyakini bahwa manusia pada dasarnya memiliki kecenderungan alamiah untuk berlaku baik. Pendapat ini dikemukakan oleh J.J. Rosseau yang meyakini manusia seperti kertas kosong yang polos.

Karakter, watak, sifat, dan perilaku manusia ditentukan oleh paparan budaya masyarakat yang dialami sepanjang hidupnya. Konsep Tabula Rasa ala Rosseau yang menempatkan manusia seperti kertas kosong ini kiranya lebih cocok untuk menyoroti perilaku anak-anak.

Ketika lahir, anak pasti dalam kondisi polos. Ia nihil pengetahuan dan pengalaman. Orang tua, keluarga, lingkungan, masyarakat dan lembaga atau institusi sosial lah yang kemudian berperan membentuk karakternya.

Anak yang diasuh dengan kasih sayang, hidup di ekosistem yang membuat dia merasa aman dan percaya diri, akan tumbuh menjadi pribadi yang rasional, bertanggung jawab, dan humanis. Sebaliknya, anak-anak yang diasuh dengan kultur permisif pada kekerasan, akan menjadi pribadi yang agresif, arogan, bahkan destruktif.

Kepengasuhan Anak Berbasis Kecerdasan Agama dan Kecerdasan Sosial

Maka, kepengasuhan anak menjadi krusial dalam hal ini. Satu hal yang harus kita pahami, praktik kepengasuhan anak itu bersifat holistik, alih-alih parsial. Holistik dalam artian bahwa pengasuhan anak adalah tugas orang tua, keluarga besar, masyarakat, pemerintah, institusi pendidikan, dan stakeholder lainnya.

Pengasuhan anak tidak bisa didelegasikan hanya ke salah satu pihak. semisal orang tua atau seolah saja. Seluruh pihak harus berperan aktif dan maksimal dalam membentuk karakter positif anak. Seluruh pihak harus bersinergi untuk membangun karakter anak yang relijius, nasionalis, dan humanis.

Parenting holistik juga bermakna bahwa mendidik anak tidak bisa hanya fokus pada salah satu aspek saja. Contohnya, banyak orang tua hari ini hanya fokus memberikan pendidikan agama pada anaknya.

Asumsinya, anak-anak akan otomatis berkarakter positif jika sudah mendapatkan pelajaran agama. Anggapan ini sebenarnya salah kaprah. Pendidikan agama yang cenderung dipahami secara formalistik, seperti pelajaran tentang ibadah, menghafal Al Quran atau hadist, atau mengenakan pakaian muslim cenderung tidak berkorelasi secara langsung pada pembentukan akhlak anak.

Pelajaran agama yang doktriner cenderung hanya melahirkan kesalehan individual. Padahal, output utama dari agama idealnya bukan hanya ritual ibadah apalagi hafalan, namun juga perilaku yang toleran dan anti-kekerasan.

Ini artinya, pendidikan agama, apalagi yang sifatnya formalistik belum cukup menjadi bekal anak membangun karakter. Di saat yang sama, orang tua atau sekolah perlu menginternalisasikan ilmu-ilmu sosial seperti sejarah, sosiologi, sastra, dan sebagainya.

Ilmu sosial penting untuk membangun sensitivitas anak tentang keragaman manusia. Melalui ilmu sosial, anak-anak akan memahami bahwa dunia ini tidak homogenik, alih-alih heterogenik. Kesadaran itu akan mendorong anak berlaku toleran dan inklusif. Dalam artian mereka mau berbagi ruang dengan kelompok yang berbeda identitas.

Internalisasi ilmu agama dan ilmu sosial ini sangat penting sebagai fondasi kerangka berpikir anak di masa depan. Anak-anak yang dekat dengan keilmuan sosial biasanya tidak bersikap eksklusif apalagi fanatik.

Facebook Comments