Sepanjang sejarah awal Islam masa Nabi dan Sahabat, tidak dikenal istilah mazhab dalam pengertian formal, laiknya mazhab fikih yang kita kenal sekarang. Memang ada Mazhab Shahabi, namun term itu muncul belakangan, tidak pada masa Sahabat. Ini berarti, sebelum kemunculan imam empat (Abu Hanifah, Malik bin Anas, Muhammad bin Idris al-Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal), tradisi bermazhab pada imam belum ada. Karena, ‘kewajiban’ taqlid – sebagai cikal-bakal tradisi bermazhab – baru muncul belakangan.
Timbul pertanyaan, sebelum kemunculan imam empat, kepada siapa umat Islam bermazhab? Tak lain, mereka mengikuti al-Quran dan al-Sunnah. Ini sesuai dengan titah Allah SWT, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (al-Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Qs. al-Nisa’: 59).
Hal itu berlaku dalam praktik, misalnya ketika Nabi Muhammad SAW mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman sebagai qadhi (hakim). Terjadi dialog antara beliau dengan utusannya itu terkait persoalan yang kelak akan dihadapinya. Jawaban Mu’adz, bila dirinya menghadapi persoalan, pertama kali ia akan merujuk pada al-Qur’an. Bila solusinya tidak terdapat di dalam al-Qur’an, ia merujuk pada Sunnah (Hadis). Dila tidak terdapat di dalam Sunnah, barulah ia menggunakan nalar (akal) sendiri.
Bermazhab model ini dibenarkan Nabi Muhammad Saw. Bahkan beliau bangga. Sebab itu pula, Imam al-Syafi’i berujar: “Idza shahha al-hadits fawuha madzhabi/Bila Hadis itu sahih, maka itulah mazhabku.” Guru al-Syafii, Malik bin Anas menegaskan: “Jika pendapatku benar, ikutilah apa yang aku ikuti”. Dan memang, al-Qur’an dan al-Sunnah, seperti ditulis Prof Ali Hasbullah dalam pengantar buku al-Sunnah Qabl al-Tadwin, itu laksana saudara kembar yang tidak boleh diceraikan satu sama lain. Itulah sumber primer dalam Islam.
Kini, timbul persoalan baru, mengapa pada perkembangannya muncul “pembenaran” bahwa sumber ajaran Islam itu ada empat, yaitu : al-Qur’an, al-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas? Ini, tentu saja karena persoalan hidup manusia kian hari kian kompleks dan ruwet. al-Nushush qad intahat wa al-waqai’ la tantahi/teks keagamaan (al-Qur’an dan Sunnah) telah selesai diproduksi, namun persoalan kemasyarakatan terus dan terus tumbuh. Sehingga, bila orang hanya merujuk pada al-Qur’an dan al-Sunnah belaka, maka ada kemungkinan tidak menemukan solusi. Untuk mengantisipasi kemungkinan itu, perlu ada sumber rujukan lain yaitu Ijma’ dan Qiyas sebagai model penggalian baru terhadap dua sumber primer itu. Dua rujukan ini kemudian disebut sumber sekunder.
Yang menjadi persoalan, dua sumber sekunder ini seringkali lebih ditonjolkan ketimbang dua sumber primer. Yang primer seakan terlupakan. Apalagi dengan munculnya fatwa kewajiban ber-taqlid bagi orang awam. Mereka akhirnya hanya mengekor pendapat-pendapat sekunder yang sudah matang dari para imam. Ini yang kemudian disebut bermazhab secara qauli. Padahal, yang lebih penting sejatinya bermazhab secara manhaji (metodologis), yang langsung merujuk pada kedua sumber primer itu. Dan itu yang dilakukan para imam.
Tapi kenyataannya, bermazhab secara qauli itulah yang berkembang, yang pada gilirannya menjadi fikih mayoritas. Akhirnya, mazhab qauli itu pun menjadi fikih yang tiranik, yang menafikan pendapat-pendapat di luar itu. Seakan, pandangan fikih yang ada hanya yang bersumber dari imam empat itu saja (atau plus Ja’fari menjadi lima). Padahal, Imam Abu Hanifah mengatakan; “Mereka (para ulama terdahulu) adalah manusia biasa, dan kita pun manusia. Hum rijal wa nahnu rijal. Kita mesti berterima kasih atas (karya dan pemikiran) mereka, tetapi kita tidak akan mengikuti seluruh pendapat mereka.” Tentu, persoalan ini bukan kesalahan sang imam, melainkan pengikut fanatiknya.
Bahaya Taqlid
Fatwa kewajiban bertaqlid bagi orang awam, tidak seharusnya muncul. Mereka dapat diberi toleransi bertaqlid hanya dengan syarat mereka telah betul-betul berusaha keras mengkaji dan mendalami sumber primer itu, namun tidak mampu. Toleransi ini pun karena kondisi darurat berupa ketidakmampuan itu. Tapi, mereka tetap harus berupaya menggali hukum dari sumber aslinya. Karena, bertaqlid sccara buta seperti didefinisikan oleh Abdul Hamid bin Muhammad Ali Quds dalam Lathaif al-Isyarat: “taqliduna qabul qaul al-qaili min ghair dzikr hujjah li al-saili”, cukup berbahaya bagi perkembangan pemikiran dan masa depan Islam. Bahaya taqlid itu antara lain:
Pertama, bisa memunculkan kejumudan bagi pemikiran keislaman. Sebab, taqlid meniadakan kreativitas atau pembaruan pikiran. Bahkan, sikap kritis terhadap pikiran-pikiran mazhab pun seakan terkebiri. Pada gilirannya, kreativitas berpikir pun menjadi tumpul atau terhenti sama sekali. Ini dapat dibuktikan, misalnya karena fatwa kewajiban taqlid itu, kini pemikiran keislaman mengalami stagnasi. Yang ada hanya pelestarian warisan pemikiran para imam mazhab saja. Padahal, bila pun terpaksa harus bermazhab, umat Islam tetap harus kritis menerima pemikiran-pemikiran mereka. Prof. Dr. Said Aqil Siradj pernah berujar; “Saya Syafi’iyyah, saya Asy’ariyyah, tapi bukan berarti saya tidak boleh kritis terhadap pemikiran mereka.” (Kiai Menggugat; Mengadili Pemikiran Kang Said, 1999, h. 280).
Kedua, masyarakat muslim akan terninabobokkan dalam kebodohan. Hal ini karena orang awam tidak akan berani menabrak fatwa wajib taqlid itu. Menabrak berarti kualat. Padahal, syarat utama untuk mewujudkan perubahan dan kemajuan, seperti dalam teori revolusi, harus berani melawan arus bila terjadi kejumudan. Karenanya, berijtihad (semampunya) menjadi penting dikedapankan. Malah Ibnu Hazm mengatakan; “Seorang mujtahid yang salah jauh lebih baik dari seorang muqallid (yang hanya meniru), walaupun kesimpulan hukumnya benar.”
Ketiga, menyebabkan sumber primer (al-Qur’an dan al-Sunnah) menjadi barang mati, sakral tapi tidak bertuah, Jelas, karena ketatnya syarat berijtihad, orang awam yang diwajibkan bertaqlid, merasa kehilangan nyali untuk berinteraksi dengan al-Quran dan al-Sunnah. Ini tentu lucu. Sebagai rujukan pokok, al-Qur’an dan al-Sunnah malah acapkali ditakuti. Sebagai pelarian dari ketakutannya, pendapat-pendapat (qaul-qaul) para imam itulah yang dipegangi kuat-kuat dan dijadikan tempat berlindung. Seakan pendapat merekalah yang paling benar. Padahal, Imam al-Syafi’i mengatakan; “Ra’yuna shawab yahtamil al-khata’ wa ra’y ghairina khata’ yahtamil al-shawab/Pendapat saya benar, tapi mungkin saja salah. Sebaliknya, pendapat orang lain salah, tapi bisa saja benar.”
Sir Muhammad Iqbal juga pernah dipesani oleh ayahnya; “al-Qur’an itu diturunkan untukmu. Baca dan pahamilah isinya!” Ini artinya, al-Qur’an (dan al-Sunnah) harus kita baca dan pahami sendiri. Kalaupun terpaksa meminjam kacamata para imam, kacamata di sini adalah metodologi (manhaj) nya, bukan natijah atau resultnya yang berbentuk qaul itu. Dan tentu rujuklah imam-imam yang kredibilitas keilmuan dan akhlaknya diakui dunia. Bukan imam yang merusak fungsi kekhalifahannya di dunia.
Dengan demikian, tradisi bermazhab atau ber-taqlid qauli itu sebenarnya tidak lebih dari “tradisi keterjajahan”. Orang yang bermazhab atau bertaqlid buta, “terjajah” oleh pemikiran orang lain. Dan orang yang terjajah, apalagi bangga dalam keterjajahannya, selamanya tidak akan maju.
Selain itu, keterjajahan ini akan menyebabkan pendapat para imam sebagai “tirani fikih”. Padahal, bukan pentaqlidan seperti itu yang diinginkan oleh para imam itu. Mereka hanya menawarkan pemikiran dan kitalah yang menilai secara kritis. Karena, sejatinya “tirani fikih” itu bukan watak fikih itu sendiri. Watak fikih adalah dinamis, toleran, dan progressif.
Dan untuk mencapai kemajuan yang dinginkan, “tirani fikih” itu harus disingkap. Siapa pun yang mentiranikan fikih, berarti telah memutlakkan pendapat para imam. Itu, secara teologis sangat berbahaya. Yang layak dimutlakkan sebagai kebenaran hanyalah Al Haqq. Karenanya, untuk menyingkap tirani itu, umat Islam tidak bisa ber-leha-leha lebih lama lagi.
Karena itu, jika belakangan ini muncul seorang manusia biasa yang konon “tercipta” dari emas, yang didaulat sebagai imam besar umat Islam dengan aneka ketundukan tanpa kritisisme padanya, maka ini menyalahi nalar sehat dan keterbukaan yang diajarkan oleh Islam dan para imam. Apalagi jika sampai diyakini surga-neraka kita tergantung keataatan pada sosok yang satu ini, maka ini lebih naïf lagi. Rasulullah Saw saja tidak bangga dipanggil sayid apalagi dikultuskan padahal ketaatan atasnya jelas-jelas wajib diberikan. “Jangan panggil aku sayid,” harapnya.